December 24, 2013

Asa Baru Pendidikan Indonesia


Melihat geliat pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan anak bangsa membuat kita patut bersuka hati. Kita mendapati beberapa tahun ke belakang ini pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), banyak membuat kebijakan-kebijakan populis yang pro-pendidikan. Kebijakan-kebijakan itu membuat rakyat Indonesia kembali berani berharap akan terwujudunya bangsa yang cerdas.

Satu gebrakan kebijakan yang paling kentara dapat dilihat dari upaya pemerintah menaikkan partisipasi pendidikan rakyat Indonesia di jenjang perguruan tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) yang baru mencapai 27,1% pada jenjang perguruan tinggi, membuat pemerintah, mulai tahun 2010 meluncurkan program Beasiswa Pendidikan Bagi Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi) yang langsung disambut antusias oleh kalangan menengah ke bawah.

Tidak seperti beasiswa lainnya yang cenderung parsial, Bidikmisi merupakan program beasiswa yang komprehensif karena semua kebutuhan mahasiswa tercakup di dalamnya, mulai dari uang kuliah sampai biaya bulanan. Dengan beasiswa tersebut, diharapkan siswa dari kalangan menengah ke bawah bisa mencecap manisnya bangku perguruan tinggi mengingat selama ini biaya sering menjadi kendala bagi siswa miskin untuk melanjutkan pendidikannya. Pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya diharapkan bisa membawa pada peningkatan kesejahteraan sehingga lingkaran setan kemiskinan dapat diputus.

Sejak diberlakukan pada tahun 2010, kuota penerima Bidikmisi ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun pertama, jumlah penerima Bidikmisi tercatat ada 20.000 orang. Jumlah itu meningkat pada tahun 2011 menjadi 30.000 orang, lalu menjadi 42.000 orang pada tahun 2012. Pada tahun 2013 ini jumlah keseluruhan penerima Bidikmisi diperkirakan mencapai 150.000 orang.

Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan anak bangsa terus berlanjut. Setahun setelah program Bidikmisi diluncurkan, pemerintah kembali meluncurkan program serupa untuk tingkat pascasarjana. Terhitung mulai tahun 2011, Kemendikbud meluncurkan program Beasiswa Unggulan (BU) yang kemudian terintegrasi menjadi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPP). Beasiswa ini berlaku untuk dosen, calon dosen, dan tenaga kependidikan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang pascasarjana, magister maupun doktor, baik di dalam maupun luar negeri.

Berbeda dengan Bidikmisi yang hanya diperuntukkan kalangan tidak mampu, BPP ini terbuka untuk semua kalangan, baik yang sudah menjadi dosen maupun yang belum. Harapannya, beasiswa ini dapat meningkatkan sumber daya manusia perguruan tinggi Indonesia yang berkualitas dan berkontribusi dalam peningkatan daya saing bangsa. Selain itu, kualitas pendidikan juga diharapkan merata karena calon dosen yang mengikuti program ini akan mengabdi di berbagai perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sama seperti Bidikmisi yang disambut antusias, program BPP ini juga mampu menyedot perhatian masyarakat. Sampai saat ini, di dalam negeri sendiri sudah ada kurang lebih tujuh ribu mahasiswa pascasarjana yang didanai melalui program BPP-DN untuk calon dosen. Artinya, akan ada tujuh ribu calon dosen yang siap mentransfer ilmu ke segala penjuru nusantara beberapa tahun mendatang.

Terlepas dari segala persoalan yang muncul, misalnya sering telatnya pencairan dana beasiswa, upaya pemerintah ini setidaknya dapat membuat senyum kita mengembang karena optimis dengan masa depan pendidikan bangsa yang cerah.



(Tulisan di atas juga pernah saya ingin kirim ke media, tapi berhubung belum rampung, jadi belum dikirm sampai sekarang. Karena sudah basi, saya post di blog aja deh)

Betawi Butuh Motivasi

 
Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 90-an tentu pernah merasakan bagaimana animo masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Ibukota, dengan sinetron Si Doel Anak Sekolah. Sinetron dengan latar budaya Betawi yang bercerita tentang perjuangan Doel dalam menempuh pendidikan tinggi ini sempat menjadi sinetron yang paling ditunggu kala itu.
 
Bagi penulis, hal yang menarik dari sinetron tersebut sebenarnya bukan terletak pada dramanya, tapi pada semangat yang dibawa oleh sang sutradara, Rano Karno, yang juga merupakan putra Betawi. Rano ternyata sengaja membuat sinetron ini untuk mengangkat citra Betawi yang selama ini buruk. Salah satu citra buruk yang beredar di masyarakat tentang Betawi adalah bahwa masyarakat Betawi kurang berpendidikan.

Meski pahit, citra tersebut memang nyata adanya. Sebagai orang Betawi yang lahir dan besar dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya juga beretnis Betawi, penulis sendiri sulit menemukan orang Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menyelesaikan jenjang pendidikan menengah, bahkan tidak sedikit yang terputus pada jenjang pendidikan dasar.

Hal ini tentu berdampak luas bagi perkembangan kehidupan mereka. Sebagai kelompok yang tinggal di kota metropolitan, rendahnya pendidikan tersebut membuat mereka kesulitan bersaing dengan para pendatang yang lebih terdidik. Bahkan untuk sekedar bertahan hidup pun mereka harus menyiapkan 1001 siasat. Bagi orang Betawi yang masih memiliki kecukupan harta, menjual sebagian harta benda mungkin bisa dijadikan solusi bertahan hidup sementara. Meskipun sebenarnya  solusi ini jauh dari prinsip efektif karena harta benda yang dimiliki juga ada batasnya.

Bagi mereka yang hidup pas-pasan, bergabung dengan organisasi masyarakat kedaerahan tidak jarang dijadikan pilihan. Karena kabar burung mengatakan bahwa ormas-ormas tersebut memperjuangkan kepentingan mereka. Sayangnya, burung hanyalah burung. Mereka terlatih hanya untuk membawa berita. Bukan untuk memvalidasi isi berita tersebut. Ormas yang katanya memperjuangkan kepentingan orang Betawi itu ternyata tidak jarang justru menjatuhkan martabat Betawi dengan aksi premanisme, rebutan lahan parkir, dan kerusuhannya. Ironis!

Membangun Pendidikan Betawi
Fenomena ini tentu sangat merugikan dan harus segera disudahi. Orang Betawi harus di-edukasi agar mereka bisa hidup (survive) di tanah sendiri tanpa mengharap uluran kasih orang lain. Apalagi dengan memaksa! Akan tetapi, merubah persepsi orang Betawi terhadap pendidikan tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Untuk memulai agenda besar tersebut, langkah awal yang perlu ditempuh adalah merumuskan penyebab rendahnya partisipasi pendidikan mereka.

Hal pertama yang terlintas menjadi sebab rendahnya pendidikan mereka adalah biaya. Patut diakui bahwa faktor biaya memang seringkali menjadi batu sandungan bagi kebanyakan orang untuk sekolah atau kuliah. Akan tetapi, dewasa ini menjadikan biaya sebagai kambing hitam sepertinya sudah terlalu usang digunakan. Bagaimana tidak usang jika tawaran beasiswa untuk sekolah dan kuliah, baik dari pemerintah maupun swasta, sudah sangat melimpah? Selain itu, julukan “tuan tanah” dan “raja kontrakan” yang identik pada orang Betawi juga mengindikasikan bahwa secara materi mereka sebenarnya berkecukupan. Maka dengan alasan tersebut, faktor biaya menjadi logis untuk dieliminasi.

Faktor lain yang sangat krusial dan mendasar adalah faktor kemauan. Atau dalam paradigma psikologi disebut motivasi. Kalau biaya dan fasilitas pendidikan di Jakarta sudah sangat lengkap, lalu apalagi yang kurang kalau bukan motivasi dari orang Betawi itu sendiri? Maka agenda besar yang ada dalam benak penulis ke depan adalah memompa motivasi orang-orang Betawi agar mereka antusias dengan pendidikan. Strategi yang paling tepat untuk mencapai tujuan itu tentu bukan dengan beretorika, tapi dengan memberikan bukti berupa contoh kesuksesan buah dari pendidikan. Orang berpendidikan yang sukses memang sudah sangat banyak, tapi rasa-rasanya belum banyak yang datang dari kalangan Betawi. Padahal, contoh dari kalangan sendiri biasanya lebih mengena di hati. Maka, agenda pertama yang penulis garap adalah membuat diri ini sukses dulu. Dengan begitu, semoga mata orang-orang Betawi, khususnya yang ada di lingkungan tempat tinggal penulis, menjadi lebih terbuka sehingga ke depannya membangun pendidikan lebih mereka dahulukan daripada membangun kontrakan.

(Tulisan di atas pernah saya ikutkan lomba karya tulis Alfamart bulan lalu, tapi saya belum tau pengumumannya sampai sekarang. Emang lombanya gak jelas juga sih. Anyway, daripada cuma menuh-menuhin harddisk laptop, mending saya post di blog.)

November 19, 2013

Membumikan Psikologi


Satu hambatan yang paling saya rasakan keberadaannya bagi perkembangan ilmu psikologi di Indonesia adalah kurangnya aplikasi ilmu tersebut di masyarakat. Dari pengamatan pribadi, saya mendapati bahwa ilmu psikologi masih mengawang-awang di mega, belum turun membumi, apalagi menyentuh akar rumput. Psikolog, sebagai representasi dari keilmuan psikologi, masih identik dengan profesi yang melayani golongan menengah ke atas. Bukan mereka yang ada di bawah.

Ada dua asumsi yang terlintas dalam benak saya atas hal ini. Pertama, karena golongan menengah ke atas lebih rentan secara psikologis. Asumsi kedua, karena golongan menengah ke bawah memiliki hambatan psikologis tersendiri kepada psikolog.

Asumsi pertama segera saya eliminasi karena tidak didasarkan atas argumen dan teori yang kokoh. Asumsi itu dibangun hanya berdasarkan logika sederhana yang ngawur dan asal-asalan, yang berbunyi:

Orang yang memiliki masalah psikologis akan datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering memiliki masalah psikologis

Golongan menengah ke bawah jarang datang ke psikolog
Golongan menengah ke bawah jarang memiliki masalah psikologis

Faktanya tentu tidak sesederhana itu. Intensitas seseorang datang ke psikolog tidak bisa dijadikan indikator banyak-sedikitnya masalah psikologis yang ia hadapi. Bisa jadi golongan menengah ke bawah jarang datang ke psikolog karena memilliki hambatan-hambatan, yang kemudian membawa kita pada asumsi kedua.

Hambatan-hambatan yang saya maksud sangat beragam jenisnya, misalnya hambatan berupa stereotip yang beredar di masyarakat tentang ilmu psikologi. Bahwa ilmu psikologi adalah ilmu tentang kejiwaan sehingga orang yang datang ke psikolog berarti memiliki masalah kejiwaan. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa pandangan seperti itu adalah pandangan dari orang yang berpikiran sempit. Tetapi tiada guna mengungkapkan hal demikian. Bukankah lebih bijak menyalakan lilin daripada merutuki kegelapan yang menyelimuti? Daripada merutuki orang berpandangan sempit, mengapa tidak kita luaskan saja pandangannya?

Hambatan lainnya adalah hambatan ekonomi. Masyarakat umum masih menilai bahwa psikologi adalah barang yang mewah. Sayangnya meski “terkesan” mewah, barang ini tidak kasat mata sehingga sulit menelusuri manfaatnya bagi manusia. Ketidakmampuan manusia melihat psikologi membuat mereka enggan untuk berinvestasi demi kesejahteraan psikologisnya.

Komersialisasi Psikologi
Ketidakmampuan manusia menelusuri manfaat psikologi yang tak kasat mata itu diperparah dengan perspektif keliru para pelaku psikologi tentang psikologi itu sendiri. Para pelaku psikologi, baik itu psikolog, konselor, tester, maupun para pelaku psikologi lainnya sering menjadikan psikologi sebagai sapi perah dimana mereka bisa memperoleh susu darinya. Psikologi dikomersialisasi dan dijadikan tumpuan hidup mereka. Padahal sejatinya ilmu psikologi merupakan pengabdian. Tugas psikolog sebenarnya serumpun dengan tugas ustadz, yaitu membantu masyarakat mencapai kesejahteraan psikologis. Dan bukankah kesejahteraan psikologis hanya bisa dicapai apabila manusia ingat kepada Allah?

ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d : 28)

Apabila kita siap menjadi pelaku psikologi (terlebih psikolog), berarti kita siap menjadi seorang ustadz. Mengomersialisasi tugas sebagai seorang psikolog berarti mengomersialisasi tugas sebagai seorang ustadz. Apakah sampai hati kita melakukan hal demikian? Lalu apa bedanya kita dengan ustadz selebriti yang sering kita kritik itu?

Pembahasan mengenai psikolog = ustadz ini insyaallah akan saya paparkan di satu tulisan tersendiri. Dalam tulisan ini, saya lebih memaparkan pandangan saya tentang “komersialisasi” (mungkin terdengar agak kasar) psikologi.

Saya sendiri pernah diajak menjadi “agen penjual jasa psikologi”. Tugasnya sederhana, yaitu mencari klien pengguna jasa psikologi. Hanya dengan tugas sampingan itu, saya sudah mendapat pemasukan yang bisa dibilang lumayan. Akan tetapi, batin saya ricuh mengomentari. Ia tidak senang dengan “pekerjaan sampingan” itu karena menurutnya hal itu akan semakin menjauhkan masyarakat dengan psikologi. Citra yang berkembang di masyarakat bahwa psikologi hanya untuk kaum menengah keatas akan semakin menjadi. Dan hal ini tidak baik bagi perkembangan kebermanfaatan keilmuan psikologi di Indonesia.

Ah, saya teringat dengan sabda Rasulullah saw yang mulia: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Kalau setiap jasa psikologi yang kita berikan dipatok harga sekian dan sekian (yang mana jumlahnya tidak sedikit), niscaya akan semakin sedikit manusia yang mengambil manfaatnya. Kalau kebermanfaatan ilmu psikologi bagi umat tidak bisa kita maksimalkan, lalu bagaimana kita meraih kedudukan menjadi sebaik-baik manusia seperti yang Rasulullah saw sabdakan?

# Wisma Pakdhe

November 10, 2013

01 Muharram 1435 H: Sebuah Refleksi #2 (End)

Akademik
Tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan sisi akademik di kehidupan seorang akademisi (aseeek). Dan tahun lalu menjadi tahun paling bergejolak dalam kehidupan saya selama menjadi akademisi (baca: pembelajar). Saking bergejolaknya, saya sampai merasa mual. Sampai-sampai sempat terlintas dalam pikiran saya untuk segera mengakhiri semua ini. Maksudnya, cukuplah saya akhiri pendidikan saya di jenjang S1, tidak usah nambah seperti yang saya citakan.

Bahkan pernah juga terpikir untuk meninggalkan sementara skripsi saya dan beralih ke kerja. Tapi beruntung pikiran-pikiran itu hanya selintas. Dan yang namanya lintasan, kehadirannya tentu hanya sesaat, tidak pernah permanen. Juga tidak mengendap di otak. Dan yang terpenting tidak menyabotase cita-cita saya untuk kuliah lagi :)
Sumber: bloggerntt.com

Well, gejolak akademik itu dimulai bulan Desember. Saat itu saya benar-benar “kehabisan akal” menghadapi Dosen Pembimbing Skripsi (DPS). Buntut habisnya akal itu adalah saya ingin meminta cerai (baca: ingin ganti DPS). Masalahnya, DPS ini rada-rada killer. Bahkan boleh disebut serial killer jika tidak berlebihan. Untuk minta cerai, saya harus punya mental tangguh. Dan mental tangguh itu saya rasa ada dalam diri Si Pitung. Syukurlah Pitung tidak mengecewakan. Saya sukses meminta cerai dan akhirnya diceraikan oleh DPS saya.

Gejolak tidak berhenti di situ. Konsekuensi logis yang harus saya tanggung dari permintaan cerai itu adalah saya harus melakukan penelitian ulang. Beruntung DPS saya yang baru lebih “kooperatif” sehingga walau melakukan penelitian ulang, prosesnya berjalan sangat cepat. Bahkan seorang kawan berujar, “Kalau kamu gak pindah DPS, mungkin saat ini kamu masih melakukan penelitian sama dia”. Hal itu dia sampaikan tepat ketika saya selesai sidang. Ah, pernyataan beliau membuat saya semakin “bersyukur” telah mengganti DPS.

Gejolak paling mengguncang lainnya adalah pilihan karir setelah lulus. Pada dasarnya, saya sangat ingin melanjutkan studi ke jenjang S2, tapi berhubung ekonomi keluarga sedang tidak baik, maka cita-cita tersebut sedikit goyah. Beruntung, di setiap kegoyahan yang dijumpai, Allah memberikan jalan keluar yang mengokohkan.

Kegoyahan pertama dan paling mendasar ditemui dari sisi ekonomi (lagi). Dengan apa saya kuliah? Pilihannya hanya satu, BEASISWA. Saya harus mencari beasiswa yang mencakup semua kebutuhan, baik kebutuhan hidup maupun kebutuhan kuliah. Maka, dari semua pilihan yang ada, beasiswa Dikti (BPP-DN) menjadi pilihan yang paling logis.

Masalahnya, beasiswa tersebut tidak meng-cover biaya pendaftaran. Padahal, biaya pendaftarannya tidak sedikit, 500 ribu bro. Saya putar otak untuk mendapatkan biaya pendaftaran itu. Tapi sudah 360 derajat diputar pun saya belum menemukan jawabannya. “Ah, mungkin saya memang harus bekerja dan melupakan kuliah untuk sementara”, saya membatin.

Keajaiban kemudian muncul ketika saya berjumpa dengan kawan lama saya yang kini sudah bekerja. Di tengah perbincangan kami, dia bertanya “Terus setelah lulus mau apa, Jar?”. “Pinginnya sih kuliah Bang, tapi gak tau nih…”, saya menimpali. “Apa masalahnya?”, tanyanya lagi. “Saya mau ikut beasiswa Dikti Bang, tapi biaya pendaftaran tes-nya kan ditanggung sendiri”, saya menjelaskan. “Berapa emang biayanya?”, lanjutnya. “Lima ratus ribu, Bang”. “Yaudah, nanti bilang Abang aja kalau udah mau daftar, mudah-mudahan bisa bantu”, jawabnya lugas.

Ah, rejeki Allah memang bisa datang dari pintu yang tidak disangka-sangka. Atas kemurahan-Nya, saya bisa mendaftar tes pascasarjana UGM.

Kegoyahan selanjutnya datang dari tawaran pekerjaan. Ini sebenarnya hasil ulah saya sendiri. Jadi dulu, selagi menunggu hasil tes UGM, saya daftar kerja di salah satu perusahaan BUMN. Semula, niatnya hanya untuk langkah preventif. Kalau tidak lolos tes UGM, saya kan tinggal melanjutkan tes di BUMN tersebut (karena rangkaian tesnya sangat banyak dan memakan waktu lama). Kalau tes UGM saya lulus, maka saya akan tinggalkan tes BUMN tersebut.

Ndilalah, seiring tertundanya pengumuman hasil tes UGM, saya selalu lolos rangkaian tes BUMN tersebut hingga tahap akhir. Setelah berada di tahap akhir, saya kembali berpikir, “Apakah takdir saya memang harus bekerja dulu ya?”. Tidak mau terombang-ambing dalam kebimbangan, saya istikhoroh. Dan setelah istikhoroh, pilihan saya membulat ke kerja. “Bismillah, kalau tahap akhir ini lolos, saya akan pilih bekerja”, tekad saya saat itu.

Keajaiban kembali datang. Walaupun tahap akhir itu hanya interview user dan tes kesehatan (dan saya sudah sangat pede dengan “janji” yang disampaikan pewawancara), ternyata saya tidak lolos. Selang beberapa hari setelahnya, pengumuman beasiswa UGM keluar dan saya dinyatakan menjadi salah satu calon penerimanya.

Setelah pengumuman itu, sebenarnya ada banyak tawaran bekerja dengan fasilitas yang tidak kalah menggiurkan dari teman saya. Tapi belajar dari pengalaman kemarin, kali ini saya tidak tergoda. Pengalaman tersebut membuat saya semakin yakin dengan idealisme yang sedang saya perjuangkan, yaitu menjadi pengajar!

Ibadah
Tahun lalu juga menjadi tahun yang sangat berharga selama hidup saya. Pengalaman skripsi membuat sisi spiritualitas saya terasah. Kualitas ibadah saya kepada Allah selama pengerjaan skripsi rasanya menjadi salah satu yang terbaik sepanjang hidup saya selama ini. Rasa-rasanya, baru kali itu isi surat “Al-Ikhlas” benar-benar saya aplikasikan dalam hidup saya.

Selain “ekstase skripsi”, tahun lalu juga saya berhasil mencapai target ibadah saya. Tidak perlu saya sebutkan ibadahnya apa, tapi yang pasti saya senang karena Allah menguatkan saya untuk mencapai target tersebut.
Walau demikian, ada satu target yang belum sempat tercapai sampai saat ini, yaitu i’tikaf full di 10 hari terakhir Ramadhan. Semoga tahun ini mendapat kemudahan.

Jogja, 06 Muharrom 1435 Hijriyah (10 November 2013)

#wisma Pakdhe

November 9, 2013

01 Muharram 1435 H: Sebuah Refleksi #1

Alhamdulillah, sejak Selasa lalu (05/11/2013) kita telah memasuki tahun baru Islam 1435 H. Meski tidak ada perayaan istimewa yang diajarkan oleh Rasulullah, tapi masyarakat Jogja -khususnya yang tradisional banget- merayakan pergantian tahun itu dengan berbagai acara tradisional. Salah satunya mubeng beteng, yaitu ritual mengelilingi keraton di malam hari melalui Pojok Beteng. 

sumber: alobodeya.co.uk

Walaupun bukan kapasitas saya untuk menilai apakah perbuatan itu bid’ah atau bukan, tapi sebagai pengamat (hah?), saya prihatin melihat semua seremonial tersebut. Mengapa untuk perkara yang tidak jelas tuntunannya mereka begitu antusias, sedangkan perkara yang sudah jelas (misalnya sholat) mereka ogah-ogahan?

Salah satu sebabnya tentu karena ada propaganda media. Media sangat aktif dan masif menyerukan ritual-ritual nyeleneh dengan kedok pelestarian budaya. Yang saya tidak habis pikir adalah, bagaimana pertanggungjawaban mereka nanti di akhirat atas semua propaganda iblis yang mereka sebarluaskan? Karena tiap satu orang yang tersesat akibat propaganda mereka, tentu akan ada dosa yang turut dipikul tanpa mengurangi dosa orang yang sesat tadi. Ckckck

P.S: Hati-hati kalau jadi wartawan. Semua berita yang anda sebarluaskan akan ada pertanggungjawabannya!
Ah, daripada sibuk memikirkan kesalahan orang, mending sibuk merefleksi kehidupan sendiri selama satu tahun ke belakang.

Hmm… sebenarnya ada banyak peristiwa penting dalam kehidupan saya selama satu tahun ke belakang. Tapi tidak semua peristiwa itu bisa saya ceritakan di tulisan ini karena keterbatasan waktu dan tempat (alasan sebenarnya adalah karena saya tidak ingat, haha). Agar lebih mudah saya membagi pengalaman tersebut menjadi tiga bagian, yaitu kehidupan sehari-hari (daily life), akademik, dan ibadah.

Daily Life
Boleh dikatakan selama satu tahun ke belakang ini ada banyak kerikil yang memenuhi jalan hidup saya. Tapi untungnya cuma kerikil, jadi saya masih bisa berjalan walau pelan-pelan. Untungnya bukan beling yang harus berdarah-darah untuk melaluinya.

Dan kerikil paling banyak berserakan tahun lalu adalah dalam bentuk “rupiah”. Yah, masalah ekonomi memang permasalahan semua orang, termasuk saya. Di satu sisi, status saya tahun lalu yang masih “mahasiswa (S1)” membuat ketergantungan dengan orangtua (dari sisi ekonomi) terasa wajar. Tetapi di sisi lain, norma sosial yang berlaku di tempat tinggal saya mengatakan bahwa anak seumuran saya seharusnya sudah bisa membantu orangtua. Maka, memutuskan untuk minta uang ke orangtua membutuhkan pertimbangan yang sangat tidak sebentar bagi saya.

Tahun lalu juga saya pernah berada pada posisi sangat terpuruk. Saya merasakan keterpurukan itu mirip sekali dengan keterpurukan saya saat gagal SPMB 2007 yang membuat saya menganggur (jobless) setahun. Sebuah kondisi yang kemudian membuat saya kehilangan gairah hidup.

Hilangnya gairah hidup itu saya rasakan juga tahun lalu ketika permasalahan skripsi tak kunjung usai. Bedanya, kalau saat gagal SPMB dulu saya masih punya Ibu untuk “berbagi” (makna berbagi ini sangat luas). Nah, kalau tahun lalu saya tidak punya partner “berbagi”. Jadi semua permasalahan saya telan seorang diri. Untung perut saya tidak meledak.

#bersambung

November 3, 2013

Menjadi Peminjam yang Baik

Saya meyakini bahwa integritas seseorang dibangun atas dasar tindak-tanduknya kepada orang lain. Kelakuan baik (akhlakul karimah) akan membuatnya disenangi dan dipercaya orang lain. Dan sebaliknya, perilaku buruk akan mengundang kebencian dan doa yang buruk dari orang lain. 

Berbicara tentang akhlak, sepatutnya kita mencukupkan diri menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan. Dan satu kisah Rasulullah saw yang membuat saya semakin mengidolai beliau adalah kisah hijrah beliau dari Mekah menuju Madinah.

Dulu sebelum hijrah, Rasul menitipkan pesan kepada Ali bin Abu Thalib agar mengembalikan harta benda yang dititipkan para kafir Quraisy kepada beliau untuk dijaga. Peristiwa ini seperti tidak masuk logika, bagaimana mungkin kafir Quraisy menitipkan harta mereka kepada Rasulullah yang jelas-jelas dalam kesehariannya selalu dimusuhi? Kalau bukan karena tingkat keterpercayaan Rasulullah yang begitu tinggi, tidak mungkin ada “musuh” yang melakukan hal demikian. Maka, gelar gelar al-Amin sungguh sangat tepat disandang beliau. 

(Lalu mengapa Rasul diperangi padahal akhlak beliau begitu agung? Rasul diperangi bukan karena akhlaknya, tapi karena ajaran yang dibawanya. Ajaran yang Rasul bawa (Islam) membuat bisnis pembesar kafir Quraisy merugi (dan menurut mereka, ajaran itu memecah belah kaum Quraisy) sehingga mereka memerangi Rasul agar menghentikan ajarannya.)

Berkaitan dengan itu, gelar al-Amin yang Rasul terima bukan didapatkan dengan hanya 1-2 kali perbuatan baik, tapi kontinu. Berkelanjutan dari hari ke hari. Kalau cuma 1-2 kali saja, itu namanya cari muka untuk mendapatkan sesuatu. Begitu sesuatu yang diinginkannya itu terwujud, dia akan kembali ke tabiat aslinya.
Sumber: memegenerator.net

Perkara Pinjam-Meminjam
Berbuat baik itu sangat luas spektrumnya, tapi dalam tulisan ini saya akan membahas salah satunya saja, yaitu tentang berbuat baik disaat meminjam.

Hal pertama yang ingin saya ungkapkan adalah, sebisa mungkin kita tidak menyusahkan orang lain dengan meminjam sesuatu jika perkara itu tidak terlalu penting. Kalau kita masih bisa menggunakan sumber daya yang kita miliki, maksimalkan saja sumber daya itu. Misal, kita mau pergi kondangan, lalu tidak punya pakaian yang bagus, maka sebaiknya pakai saja pakaian yang ada. Lebih baik pakaian sederhana tapi milik sendiri daripada pakaian bagus tapi milik orang lain. Ikhtiar kita untuk tidak menyusahkan orang lain tersebut merupakan salah satu bentuk jihad (pernah dengar kajiannya).

Akan tetapi, jika hal itu tidak bisa terelakan, maka tidak apa-apa jika kita meminjam. Yah, kita pasti pernah meminjam sesuatu kepada orang lain. Entah itu uang, barang, atau jasa. Wajar sih, sebagai manusia kita memang memiliki keterbatasan. Akan tetapi, tentu tidak baik juga jika menjadikan keterbatasan itu sebagai “pembenaran” bagi kita untuk selalu menyusahkan orang lain.

Jika memang kita terpaksa meminjam, maka jangan sampai kita membalas perbuatan baik orang yang memberi pinjaman dengan perbuatan khianat. Balaslah perbuatan baik mereka dengan berbuat baik pula. Dan serendah-rendahnya balasan perbuatan baik itu adalah dengan mengembalikan uang atau barang yang kita pinjam. Kalau uang, bayarlah utang kita begitu kita sudah memiliki kecukupan rezeki. Kalau barang, kembalikanlah barang itu dengan utuh seperti kondisi semula begitu selesai memakai. Jangan ditunda-tunda! Penundaan pengembalian barang merupakan salah satu bentuk khianat.

Mungkin ada yang berargumen, “Gak apa-apa ditunda sebentar selama belum ditagih. Kalau yang punya belum nagih, berarti dia juga belum butuh. Kalau butuh, nanti juga dia nagih”. Argumen ini adalah argumen sesat dan menyesatkan, bagaimana anda tau bahwa yang punya belum butuh? Mungkin dia butuh, tapi dia lupa kepada siapa dia meminjamkan. Mungkin dia butuh, tapi dia khawatir anda masih membutuhkan sehingga lebih mendahulukan kepentingan anda daripada kepentingan dia.

Yang lebih penting lagi, perkaranya sebenarnya bukan perkara yang punya sedang butuh atau tidak, tapi perkara kewajiban kita sebagai peminjam untuk segera mengembalikan. Walau yang punya belum meminta, kalau kita sudah selesai menggunakan, ya harus segera dikembalikan. Kalau ditunda-tunda, nanti bisa jadi kelupaan. Lama-lama bisa jadi “hak milik pribadi”. Bukankah ini tidak berbeda dengan mencuri, meski dengan “kadar” yang lebih rendah? Percaya bro, ini pasti ada hitungannya di akhirat.

Selanjutnya, memperlakukan dengan baik barang yang dipinjam merupakan bentuk perilaku anti khianat lainnya. Bayangkan dua kondisi ini. Anda meminjamkan motor kepada teman. Ketika dikembalikan, anda mendapati motor anda dalam keadaan bersih kinclong, tanpa cacat dan gores, serta bensin full. Apa reaksi anda? Mungkin anda berharap agar dia sering-sering meminjam motor anda.

Kondisi kedua, anda mendapati motor anda dikembalikan dalam keadaan kotor, bensin habis, ban kempis, rantai copot, spion hilang, jok robek. Bagaimana reaksi anda? Kedepannya, mungkin anda pura-pura tidur kalau dia datang. Yah, mungkin terlalu dramatis, tapi saya cuma mau menekankan bahwa perilaku buruk kita akan kembali kepada kita. Kalau kita memperlakukan barang pinjaman dengan “biadab”, bagaimana mungkin orang akan percaya kepada kita?

Bentuk khianat lainnya kepada orang yang meminjamkan, dan ini yang paling fatal, adalah dia (dengan penuh kesadaran) tidak mau mengembalikan sama sekali uang atau barang yang dipinjam. Ini menjadi sangat fatal karena perbuatan tersebut akan menghapus tak bersisa integritas kita di mata mereka. Ingat, di awal akad kita hanya meminjam bukan meminta, jadi jangan ada keinginan untuk memiliki barang yang dipinjamkan mereka.

Saya sendiri heran, mengapa ada orang yang tidak mau mengembalikan barang yang dipinjam padahal jelas-jelas itu bukan haknya. Mereka layaknya orang yang tidak takut dengan ancaman Allah tentang para pemakan harta haram. Maksud “para pemakan” di sini bukan hanya pemakan makanan, tapi juga barang. Mengendarai motor curian adalah bentuk perilaku memakan harta haram. Memakai pakaian curian juga bentuk perilaku sejenis. Dan apa ancaman Allah tentang para pemakan harta haram? Banyak, salah satunya adalah doanya tidak terijabah.

Nah, hal ini sepatutnya kita, khususnya saya, tafakuri. Boleh jadi selama ini doa-doa kita tidak terijabah bukan karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik atau menyimpannya di akhirat, tapi karena ada “harta haram” yang melekat pada badan kita. Ya, harta haram, yaitu harta orang lain yang ada pada kita dan kita tidak mau mengembalikannya.

Maka dari itu, segeralah mulai memeriksa. Periksa rak buku kita, adakah buku orang lain di sana. Periksa lemari kita, adakah pakaian orang lain tersimpan. Periksa kamar kita, adakah barang orang lain yang bisa menjadi hijab doa. Periksa lah sebelum terlambat. Periksa lah sebelum Allah yang memeriksanya di akhirat. Dan kalau sudah ketemu, segeralah kembalikan.

#Wisma Pakdhe

October 24, 2013

Sunatan Fahri

Wajah sendu Fahri setelah disunat
Ahad lalu (12/10/2013) adik bungsu saya, Fahri, menjalani prosesi sunatan. Meski baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), tapi dia sudah berani disunat karena hampir semua peer group-nya sudah disunat. Dia sendiri sebenarnya sudah ingin disunat sejak kelas satu, tapi keinginan itu tertunda karena saat itu Umi sedang sakit. Umi ingin Fahri disunat ketika ia sudah sembuh. Alhamdulillah kini Fahri sudah disunat meski Umi tidak bisa menyaksikan.

Saya yang tidak biasa mudik di pertengahan semester akhirnya mudik juga. Selain karena waktunya yang cukup strategis, libur panjang Idul Adha (lima hari), saya juga punya misi pribadi selain misi ingin mendampingi Fahri tentunya.

Pagi-pagi sekali Fahri sudah “dipersiapkan”. Jam 5.30 dia sudah siap dengan baju koko dan sarung, lengkap dengan pecinya. Jam 6.00 Bapak menjemput dokter yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Beberapa menit kemudian dokter datang dengan hanya membawa tas tangan kecil. Saya sedikit kaget, sebegitu simpelnya kah sunat zaman sekarang? Rasanya dulu ketika saya sunat tidak sesimpel itu.

Tanpa basa-basi, dokter langsung meminta agar Bapak merebahkan Fahri di ruang tamu yang sudah dipersiapkan sebagai tempat praktek dokter. Saya benar-benar tidak kuat untuk menyaksikan prosesi ini. Saya memilih masuk ke dapur untuk meminimalisir “ketidak-kuatan” saya. Dari dapur, terdengar suara rintihan tangis Fahri mulai mengalun. Ah, saya benar-benar tidak tega.

Ketidak-tegaan saya semakin mendera ketika mengingat dan membandingkan pengalaman saya dulu ketika disunat. Dulu, menjelang sunat, saya benar-benar diperlakukan seperti raja oleh keluarga saya, terutama oleh Umi. Saya diberi kebebasan untuk membeli apa saja menjelang sunat. Saya ingat, dulu saya meminta dibelikan celana yang sedang trend zaman itu. Tanpa pikir panjang, umi langsung membelikannya. Selain itu, saya juga dibelikan baju koko, peci, dan sarung baru untuk dipakai saat sunatan. Meskipun saya tidak menginginkannya, tapi perlengkapan itu penting keberadaannya karena saya akan “dipamerkan” saat hari H.

Berbeda sekali keadaannya dengan Fahri saat disunat kemarin. Jangankan memanjakan dan membelikan apa yang diinginkannya, perlengkapan sunat seperti baju koko, peci, dan sarung pun tidak dibelikan sehingga Fahri memakai perlengkapan seadanya. Apalagi ketika melihat tidak ada umi yang mendampingi Fahri ketika “dipamerkan” di hari H. Ah, tidak tega rasanya.

Selain kurangnya perlakuan khusus ketika pra dan during sunatan, saya juga kasihan melihat Fahri pasca sunatan karena lagi-lagi dia kurang mendapat “perhatian”. Yah, biar bagaimanapun kasih sayang Bapak dan kakak-kakaknya tidak akan setara dengan kasih sayang Ibunya. Rasa-rasanya, hanya ibu yang tulus dan mampu memberikan pelayanan 24 jam.

Semoga ada hikmah.



#wisma Pakdhe

October 7, 2013

Semua yang Serba Baru

Sebulan sudah saya kuliah di Magister Manajemen Bencana (MMB). Dalam kurun waktu itu, ada banyak penyesuaian yang harus saya jalani. Ya penyesuaian dengan materi kuliahnya, teman-teman baru, aktivitas baru, kampus baru, serta lingkungan dan sistem yang juga baru. Boleh dibilang selama masa itu energi saya banyak habis untuk penyesuaian.

Ngomong-ngomong masalah energi, saya merasa heran dengan diri saya yang sekarang ini. Mengapa sekarang saya mudah sekali lelah? Kini setiap malamnya saya sulit sekali menahan kelopak mata melebihi pukul 10. Baru jam sembilan saja saya sudah ngantuk luar biasa. Sebegitu menghabiskan energinya kah kegiatan kuliah?

Ah, rasa-rasanya tidak. Terlepas dari perjalanan ke kampus yang harus ditempuh selama 30 menit jalan kaki pulang-pergi, kegiatan kuliah menurut saya biasa-biasa saja. Tidak terlalu berlebihan. Semester ini saja saya hanya dijatah 14 SKS oleh kampus. Itu hanya terdiri dari enam matakuliah yang dilaksanakan selama Senin-Kamis. Tugas-tugas yang diberikan pun masih dalam batas normal. Lalu mengapa saya merasa kelelahan dalam menjalani ini? Apakah karena saya sudah tidak muda lagi? Wedew…
Sumber: parksidetraceapartments.com

Semua yang baru
Konsekuensi kuliah di program studi  (prodi) yang berbeda adalah kita harus siap dengan materi-materi kuliah yang serba baru. Tidak terkecuali MMB. Dari enam matakuliah yang saya ikuti semester ini, tidak ada satupun matakuliah yang berbau psikologi. Kebanyakan berbau ilmu bumi (Geografi, Geomorfologi, Geofisika, Geologi, dsb). Wajar! Karena prodi ini di-inisiasi oleh fakultas Geografi.

Alhasil, dua minggu pertama perkuliahan saya benar-benar harus berjuang untuk mengerti istilah-istilah baru yang berseliweran selama proses kuliah. Tidak mengapa sih, karena saya tidak sendirian. Ada banyak anak sosial yang juga kebingungan dengan istilah-istilah baru tersebut, hehe.

Dari enam matakuliah yang saya ikuti tersebut, hanya ada satu matakuliah yang berbau sosial, yaitu Kebijakan dan Kelembagaan dalam Penanggulangan Bencana. Matakuliah itu diampu oleh dua profesor dari fakultas Hukum dan Sospol. Lima matakuliah lainnya, yaitu Ancaman Multibencana, Perencanaan dan Pengembangan Berbasis Risiko Bencana, Dasar-dasar Pengelolaan Multibencana, Dasar-dasar Analisis Risiko Bencana, dan Penginderaan Jauh & Sistem Informasi Manajemen Bencana, semuanya berbasis sains (ilmu eksak).

Alhamdulillah setelah sebulan ini saya sudah tidak terlalu kerepotan mengikuti perkuliahan, kecuali untuk satu matakuliah, yaitu Penginderaan Jauh. Kalau yang itu, sampai saat ini saya benar-benar masih butuh usaha ekstra untuk mengerti materinya. Untunglah saya lagi-lagi tidak sendirian, teman-teman di MMB juga banyak yang tidak mengerti dengan materi kuliahnya, termasuk anak-anak sains, hehe.

Berbicara tentang teman-teman di MMB, saya mendapati mereka datang dari jurusan yang sangat beragam. Yah, namanya juga prodi multidisiplin, wajar lah kalau jurusannya beragam. Ada yang dari Geografi, Meteorologi, Oseanografi, Kesehatan Masyarakat, Teknik, Psikologi, Hukum, Sosiologi, Antropologi, dan lainnya. Mahasiswa yang berlatar belakang Psikologi sendiri ada tiga orang. Saya dan Rido (Psi 07) dari Psikologi UGM, serta Anjarie dari Psikologi Universitas Malang. Kami bertiga sama-sama cengok mengikuti kuliah Penginderaan Jauh, hehe.

Oya, selain dari jurusan yang berbeda-beda, mereka juga datang dari kota dan universitas yang sangat beragam. Bahkan ada yang datang dari BPBD Manokwari, Papua. Wedew! Mahasiswa alumni UGM sendiri sangat sedikit, mungkin hanya sekitar lima orang dari 33 mahasiswa. Yah, kebijakan Dikti memang begitu sih, perguruan tinggi hanya boleh mengambil 20% alumninya.

Selain matakuliah dan teman-teman yang baru, ada banyak kebaruan lain yang saya dapatkan di sini. Yah, kalau direnungi, intinya seperti yang sudah-sudah, setiap proses penyesuaian selalu membutuhkan kesabaran, kesabaran, dan kesabaran. Di awal, perasaan kurang nyaman akan selalu ada, tapi pengalaman membuktikan bahwa jika itu dapat dilalui, insya Allah ke depannya akan ada yang “manis-manis” yang bisa dipetik. Insya Allah.

Dalam kegalauan beasiswa yang belum turun dan hutang yang mulai menimbun. Kuatkan, Ya Rabb!

#wisma Pakdhe, selepas subuh

September 24, 2013

Riset, Oh Riset

Di awal-awal perkuliahan, seorang dosen memberi tahu kami (mahasiswa) bahwa prodi Manajemen Bencana memiliki banyak proyek riset. Mendengar hal itu, saya benar-benar sumringah. Bukan karena kata “proyek” nya (yang biasanya identik dengan uang), tapi karena kata “riset” nya. 
sumber: think360studio.com

Sejak S1 saya memang sudah menyenangi riset, tapi sayangnya saya kesulitan menemukan wadah yang dapat menampung hasrat tersebut sehingga aktivitas riset itu sendiri jarang saya lakukan. Sebenarnya ada lembaga yang mewadahi riset mahasiswa, tapi lembaga itu terkesan sangat eksklusif. Mendekatinya saja saya sungkan, apalagi bergabung di dalamnya.

Di jenjang S1, tercatat ada dua aktivitas riset yang saya lakukan, yaitu riset PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dan skripsi. Di riset PKM, saya menjadi project leader nya. Meski tema PKM yang diusung bukan murni tema saya, tapi karena saya yang mengumpulkan mereka, maka saya lah yang ditunjuk menjadi team leader nya. Sedangkan di riset skripsi, tema yang saya ambil murni dari gagasan saya karena saya memang sangat tertarik dengan tema tersebut. Temanya adalah tentang pendidikan masyarakat Betawi.

Nah, di program pascasarjana ini pintu untuk melakukan riset kembali terbuka. Akan tetapi, seperti gula yang selalu dirubung semut, riset pun demikian. Mahasiswa “berebut” untuk ambil bagian dalam riset. Saya tidak tahu motif di belakangnya apa, yang jelas saya sangat menyayangkan jika motif itu adalah motif ekonomi.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak mahasiswa yang ingin ikut riset dosen karena ingin mendapat pemasukan tambahan. Sehingga orientasi yang diusung bukan pada keilmuan, melainkan pada kesejahteraan pribadi. Menurut saya, hal itu merupakan suatu kecacatan akademis bagi akademisi yang bersangkutan.

Bagi saya, sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap pekerjaan yang kita senangi dan sungguh-sungguh kita lakukan, pasti akan mendatangkan “efek samping”. Efek samping yang dimaksud bisa bermacam-macam bentuknya, bisa uang, jabatan, dan networking. Sehingga orang yang sungguh-sungguh dan mencintai pekerjaannya tidak akan risau dengan efek samping karena hal itu akan turut mengiringi beserta kerja-kerja yang kita lakukan.

Jika seorang akademisi melakukan riset karena motif ekonomi, maka sangat mungkin dia tidak total melakukan risetnya jika motif ekonomi yang dicari itu tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan harapannya. Sehingga hal itu berpengaruh pada hasil riset, yang juga berpengaruh kepada kemasalahatan hidup orang banyak. Kalau sudah begini, bukankah itu adalah bentuk kejahatan?

Saya menyenangi riset bukan karena efek sampingnya yang menggiurkan. Efek samping tetaplah efek samping, bukan efek utama. Saya senang riset karena disitulah passion saya. Di situlah kepuasan hidup saya terbingkai.
*dengan catatan, pekerjaan yang dilakukan adalah halal.

#sepertinya saya sedang on fire. Dalam satu minggu, sudah ada lima artikel yang ditulis. Tiga artikel di blog, dua lainnya artikel “ilmiah” (rock).

#wisma Pakdhe

September 22, 2013

30 Hari Tanpa Kafein

Di setiap pagi saya, hampir selalu ada kopi yang menyertai. Mulut saya tersugesti untuk pahit kalau belum ngopi. Kebiasaan ini sebenarnya belum berlangsung lama. Saya baru mulai “mencandui” kopi pasca lulus SMA. Ketika masih sekolah, rasanya jarang sekali saya minum kopi karena ibu melarang saya. “Nanti otaknya bebal”, begitu kira-kira nasihat beliau saat itu. Sebagai gantinya, susu lah yang biasanya mengisi pagi saya sebelum berangkat sekolah. Belakangan saya tau dari beberapa artikel tentang Food Combining bahwa susu ternyata tidak baik untuk kesehatan. Jadilah saya semakin jauh dengan susu.
Sumber: allcreated.com

Jenis minuman kopi yang saya sukai adalah kopi “anak muda”, seperti Latte, Moccachino, White Coffee, dan kopi-kopi campuran. Campurannya biasanya adalah krimmer, meski ada juga yang dicampur susu. Selain rasanya yang lebih nikmat, kopi jenis itu juga tidak berampas sehingga bisa diminum sampai tetes terakhir. Apalagi jika diminum di tengah udara pagi Jogja, ah… rasanya sangat menggugah.

Saya tidak menyukai kopi hitam, tubruk, pekat, atau apapun namanya, yang tidak dicampur. Meminum kopi murni, selain rasanya yang kurang cocok di lidah, membuat jantung saya berdebar-debar. Bukan karena saya meminumnya di depan calon mertua, tapi karena memang efeknya seperti itu di tubuh saya. Ah, mungkin kopi ini cocok diminum beberapa hari sebelum melamar. Agar tubuh saya bisa terkondisikan :p

Meskipun mencandui kopi, tapi saya tidak muluk-muluk dalam memilih merk, kemasan, dan tempat ngopi. Bagi saya, sebungkus kopi warung yang harganya seribuan sudah sangat memuaskan. Saya bukan tipe orang yang suka hangout, nongkrong, atau apalah namanya, di coffee shop untuk sekedar menikmati segelas kopi. Selain karena harganya yang tidak masuk akal, menurut saya ngopi di coffee shop juga tidak sesuai dengan budaya Timur yang egaliter-kolektifis (Vickinisasi mode: on). Well, mungkin ada kalanya kita membutuhkan coffee shop sebagai tempat kerja sementara yang nyaman dan kondusif, tapi tentu tidak setiap hari.

Puasa Kopi
Berawal dari artikel-artikel kesehatan yang saya baca, saya mulai menimbang ulang kebiasaan saya mencandui kopi. Bahwa meminum kopi dalam kadar yang berlebihan adalah tidak baik untuk tubuh, saya sudah lama mengetahuinya, meski saya sendiri cuek bebek dengan informasi tersebut. Akan tetapi, entah angin apa yang sedang merasuk tubuh saya, belakangan saya semakin ketat dengan perkara kesehatan. Misal, saya mulai mengatur jam makan saya, tidak lagi berani makan malam di atas jam 20.00 (kecuali dalam kondisi terpaksa, ditraktir misalnya) karena dari artikel yang saya baca hal itu tidak baik untuk tubuh. Begitu juga dengan olahraga, saya semakin tergerak untuk berolahraga meski hanya sebentar. Dan terakhir, angin yang ada di dalam tubuh itu membisiki agar saya menjauhi kopi. Nah lho!

Bagi saya pribadi, diminta menjauhi kopi laksana diminta mengetik dengan menggunakan sarung tinju (gak kira-kira analoginya). Susah sekali. Oleh karena itu, sampai saat ini saya belum pernah jauh dari kopi untuk waktu yang lama. Kecuali jika saya sedang berada di tempat yang saya tidak memiliki kuasa di situ, misal menginap di rumah teman, maka saya mampu menahan keinginan untuk tidak ngopi.

Akan tetapi, karena saat ini dorongan untuk menerapkan pola hidup sehat sedang menggelora dalam diri saya, maka saya pun mulai merencanakan agar bisa terbebas dari kopi. Minimal tidak mencandui lah. Nah, untuk mewujudkan hal itu, saya telah membuat action plan, yaitu menghindari kopi selama 30 hari berturut-turut. Eng..ing..eng..

Meski batin saya bilang bahwa hal itu terdengar ambisius dan tidak realistis, tapi logika saya mengatakan bahwa saya mampu. Dan saya pun sudah memulainya. Sampai saat ini, saya sudah dua hari tidak minum kopi, hehe.

Maksimalisasi Air Putih
Tujuan saya berhenti ngopi adalah agar saya bisa memaksimalkan manfaat air putih untuk kesehatan saya. Sebenarnya bukan hanya berhenti ngopi, tetapi juga berhenti meminum minuman lain selain air putih, baik itu teh, susu, sirup, es, dsb. Kata Erikar Lebang (salah satu pegiat Food Combining), meminum air putih dalam 1-2 bulan tanpa minum minuman lain bisa membuat tubuh ter-detoksifikasi.

Selain berusaha menjadikan air putih sebagai minuman utama, saya juga memaksimalkan manfaat air putih untuk menggantikan peran obat. Jika sedang sakit, saya biasanya lebih memilih memperbanyak minum air putih daripada minum obat. Kebiasaan ini sudah saya lakukan selama kurang lebih dua tahun. Dan hasilnya sangat memuaskan, saya lebih cepat sembuh dengan minum air putih daripada minum obat. Dengan izin Allah tentunya.

Yah, semoga manfaat air putih benar-benar terwujud dalam program 30 hari tanpa kafein ini. Dan yang lebih penting lagi, semoga saya istiqomah dengan hanya meminum air putih ini.

#wisma Pakdhe

September 20, 2013

Menangis

Kita mungkin pernah melihat orang berdoa dengan sangat khusyuk. Saking khusyuknya, air matanya berderai membasahi wajah. Hingga membuat kita yang melihat menjadi iba dan membatin, “betapa berat ujian yang (mungkin) sedang ia alami”. Atau di lain waktu, rasa iri yang mungkin hadir lebih mendominasi dalam hati, “kapan saya bisa berdoa se-khusyuk itu?”. 

Sayangnya, walaupun kita menangis tersedu-sedan dalam doa, hingga cairan hidung pun ikut meleleh karenanya, ternyata hal itu belum bisa dijadikan tolok ukur kualitas doa kita. Setidaknya, itu yang guru saya katakan.
Ilustrasi Menangis (sumber: ecr.co.za)

Ya, mungkin kita menangis dalam doa, tapi di saat yang sama kita juga patut bertanya, untuk apa kita menangis? Apakah tangisan itu murni karena takut kepada Allah atau karena hal lain? Di saat menangis itu, mungkin kita justru lebih menikmati tangisan daripada munajat kepada Allah, sehingga rasa ujub datang tak disadari. Merasa bangga sudah berlinangan air mata, padahal tidak ada yang didapat selain nafsu diri yang terpuaskan. Ujung-ujungnya, kita berusaha mengawet-awetkan tangisan agar kita bisa menikmatinya lebih lama.

Masyaallah… Ternyata perkara tangis-menangis tidak sesederhana yang saya kira. Dan saya pun semakin takjub dengan guru saya karena dalamnya ilmu beliau.

Menangis dalam doa, jika ditinjau dari penyebabnya, terbagi atas dua tipe, yaitu menangis karena beratnya masalah dan menangis karena ingat dosa. Kedua tangisan ini akan berpengaruh pada cepat-tidaknya keperihan yang dirasakan dari masalah yang sedang dihadapi. Oke, agar lebih mudah dipahami, saya berikan contohnya saja.

Misal, fulan di-PHK dari kantornya. Kebetulan setelah PHK itu, ia sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan ia mencari dan sudah berpuluh-puluh pekerjaan dilamarnya, tapi belum menemukan jalannya juga. Sehingga semua sumber daya yang ia miliki sedikit demi sedikit habis untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Tabungan, laptop,  dan benda-benda kesayangannya terpaksa ia jual karena sudah tidak memiliki uang lagi.

Ujian ini terasa sangat perih, hingga ia berdoa tersedu sedan, “Ya Allah, mengapa ujian yang Engkau berikan kepada hamba seberat ini? Harta benda yang hamba miliki sudah hampir habis untuk mencukupi kebutuhan hamba. Tolong berikan hamba pekerjaan agar hamba bisa mencukupi kebutuhan hidup hamba tanpa membebani orang lain”.

Selintas doa itu terdengar wajar dilantunkan dan tidak ada kesalahan dengan meminta seperti itu. Toh, ia meminta pekerjaan karena ia tidak mau membebani orang lain. Akan tetapi, doa seperti ini akan membuatnya semakin lama merasakan keperihan karena orientasinya adalah masalah, yaitu PHK dan sulit mendapat kerja. Lain halnya jika orientasinya terpusat pada dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan ketika punya pekerjaan.

Misal doa fulan begini, “Ya Allah, Engkau tau bagaimana hati hamba selama ini. Hamba lebih merasa aman dengan tabungan yang hamba miliki daripada aman dengan jaminan-Mu. Engkau tau bagaimana kotornya mata hamba ketika memiliki laptop. Engkau tau bagaimana sombongnya hamba ketika diberi kelebihan rezeki. Ampuni dosa-dosa hamba Ya Allah. Tuntun hamba untuk kembali ke jalan-Mu”.

Jika sedu sedan fulan disebabkan oleh dosa-dosanya, niscaya perihnya masalah tidak akan berlangsung lama. Mungkin masalahnya masih ada, tapi hatinya dibuat tenang dalam menghadapi masalah tersebut. Tidak gelisah dan mudah mengeluh ke makhluk karena yang dia ingat adalah dosa dan maksiat. Sehingga perhatian fulan terfokus pada upaya pembersihan diri.

Hingga suatu saat nanti, ketika fulan benar-benar sudah lulus ujian ini, Allah akan mengembalikan lagi “harta” fulan. Bedanya, hati fulan sudah tidak terpaut lagi ke “harta” tersebut sehingga hal itu tidak terlalu menarik baginya.

Wallahu a’lam bishawab.

#wisma Pakdhe

September 7, 2013

Fakta Menarik Tentang Masjid Kampus UGM

Jumat yang lalu (06/08/13) saya sempat berbincang-bincang dengan Mas Niko, orang yang sering menjadi MC sholat Jum’at di Masjid Kampus (Maskam) UGM. Saya diajak oleh Imron, teman KKN saya. Dulu Imron pernah nge-kost di tempat beliau, makanya Imron mengenalnya.

Kami sempat membicarakan beberapa hal tentang Maskam dan saya mendapat beberapa fakta menarik tentang salah satu masjid favorit saya tersebut. Berikut fakta-faktanya:
Masjid Kampus UGM (sumber: eksotisjogja.com)

Fakta pertama, bangunan utama Maskam ternyata baru selesai dibangun tahun 1999. Hal ini cukup mengagetkan mengingat UGM sebagai kampus telah berdiri sejak tahun 1949.  Kalau begitu, selama hampir setengah abad berarti UGM tidak memiliki Maskam resmi dong? Ya, meskipun dulu pasti ada masjid sebagai tempat ibadah, tapi bukannya aneh kalau Maskam resmi baru dibangun tahun 1999?

Fakta kedua, meskipun bangungan resmi sudah selesai dibangun tahun 1999, tapi rupanya Maskam sempat terbengkalai sampai tahun 2002 karena belum memiliki takmir masjid. Kemudian pihak kampus meminta anak-anak JS (Jama’ah Sholahudin-Rohis nya UGM) untuk memindahkan sekretariat mereka yang awalnya di Gelanggang Mahasiswa ke Maskam agar sekalian bisa mengurus Maskam. Akhirnya anak-anak JS-lah yang mengurus Maskam sampai akhirnya kepengurusan masjid diambil alih oleh takmir yang terbentuk tahun 2002.

Fakta ketiga sekaligus fakta yang paling cetar dan mencengangkan adalah, Maskam ternyata bukan milik UGM, saudara-saudara!!! Eng..ing..eng..

Jadi begini, Maskam itu dibangun pada masa kepemimpinan Bapak rektor Ichlasul Amal, tapi bukan menggunakan dana dari UGM. Apakah pembangunannya menggunakan dana swadaya atau dari kantong Bapak Ichlasul Amal sendiri, saya masih agak miss di sini. Nah, setelah Maskam berdiri, kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Kampus UGM yang diketuai oleh Bapak Ichlasul Amal sendiri.

Konsekuensi logis dari semua itu, Maskam yang takmirnya berhaluan Muhammadiyah (fakta lainnya), tak bisa di-intervensi untuk mengikuti pemerintah, misalnya dalam hal penentuan awal puasa, karena Maskam memang bukan milik pemerintah (UGM). Oleh karena itu, rektor UGM juga tidak memiliki wewenang untuk meminta Maskam mengikuti pemerintah.

Dengan begitu, tanda tanya yang selama ini berputar di kepala saya tentang masjid yang tiap jum’atannya “berpenghasilan” 13 juta-an ini sudah terjawab. Dulu saya bertanya-tanya, mengapa Maskam sering melakukan puasa lebih dulu dari pemerintah, padahal UGM kan kampus negeri, sudah sewajarnya mengikuti ulil amri. Tapi lain cerita kalau begini faktanya.

Kurang lebih, itulah beberapa informasi yang saya dapati tentang Maskam UGM. Info-info tersebut disampaikan oleh Mas Niko yang sudah tinggal di perumahan dosen (jarak rumahnya kurang lebih 20 m dari Maskam) sejak Maskam baru dibangun. Semoga tidak ada info yang keliru atau salah dengar.
Wallahu a’lam bishawab.

#wisma Pakdhe

September 3, 2013

28 Maret 1988

28 Maret 1988. Hari itu adalah hari bersejarah bagi sepasang muda-mudi. Hari yang melegalkan perkara yang sebelumnya termasuk ke dalam dosa besar. Bukan hanya legal (mubah), tapi perkara itu pun bernilai kebaikan (pahala) bagi mereka. Bahkan dianggap ibadah karena ijab kabul telah membingkainya dengan indah.

28 Maret 1988. Hari itu adalah hari Senin, bertepatan dengan 10 Sya’ban 1408 H. Senin adalah salah satu hari yang istimewa. Rasulullah saw bersabda bahwa hari Senin (dan Kamis) adalah hari dimana malaikat menyetorkan amal manusia ke hadapan Allah swt (oleh karena itu beliau berpuasa sunnah pada kedua hari itu). Dan momen berharga itu juga menjadi hari pernikahan sepasang muda-mudi tersebut. Semoga ada nilai lebih darinya.
Sumber: pinterest.com

28 Maret 1988. Mereka sebenarnya masih sangat muda. Sang mempelai pria baru di pertengahan 24 menuju 25 tahun. Usia yang pada saat ini dianggap belum matang dan jauh dari kemapanan. Alih-alih menikah, pacaran dijadikan pilihan yang lebih logis oleh banyak kalangan. Sebagian lainnya menenggelamkan diri dalam kehedonisan sebagai wujud aji mumpung, “mumpung masih muda”.

Usia mempelai wanita dambaan lebih mencengangkan lagi, baru memasuki akhir 18 tahun. Jangankan menikah, dewasa ini usia segitu justru sedang pol-polnya hura-hura. Menonton konser, pergi ke mall, tenggelam dalam gadget dan socmed, serta genit-genitan dengan lawan jenis sangat lumrah ditemui di kehidupan gadis remaja saat ini.

Akan tetapi, sepasang muda-mudi itu memilih menikah sebagai jalan hidup mereka. Meski mereka belum mapan secara ekonomi, meski gairah pemuda untuk berhura-hura sedang bergejolak, dan meski kematangan mungkin belum hadir dalam ruang berpikir mereka, tapi mereka tidak ambil pusing. Semua itu insyaallah akan menyertai seiring melengkungnya janur kuning di pintu masuk pelaminan.

Dan hal itu benar-benar terwujud 8 bulan 13 hari kemudian. Allah swt mengaruniakan rezeki berupa anak sebagai pelengkap kebahagiaan mereka. Achmad Fery nama buah cinta pertama tersebut. Sekarang usianya sama dengan usia ayahnya ketika menikah dulu, tapi dia belum ingin menikah karena harus konsentrasi menyelesaikan pendidikan masternya yang baru saja dimulai.

Tujuh tahun berselang setelah kelahiran si sulung, lahir buah cinta kedua, yang diikuti buah cinta ketiga sepuluh tahun berikutnya. Ketiga anak mereka semuanya adalah laki-laki, atau “jagoan” dalam bahasa kampung. Itu berarti mempelai wanita menjadi wanita tercantik di keluarga kecil tersebut.

Keluarga kecil itu merintis semuanya dari nol. Mempelai pria, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bukan merupakan pria yang sudah mapan. Dia merintis karir dari bawah sekali hingga kini akhirnya telah memiliki penghidupan yang lebih layak. Mempelai wanita, sang manjaer rumah tangga, mendidik anak-anak dengan pendidikan terbaik, hingga berhasil mengantarkan anaknya melanglang buana sampai ke negeri Eropa.

Sayangnya, ada badai yang harus dihadapi oleh keluarga kecil tersebut. Mempelai wanita diuji oleh penyakit yang sangat berat hingga akhirnya menghadap Sang Khalik satu tahun sebelum usia perak pernikahannya. Meskipun badai itu belum sepenuhnya berlalu dan masih membuat bahtera keluarga kecil itu limbung, tapi mereka selalu percaya bahwa Allah selalu menjaga mereka.

#wisma Pakdhe

August 31, 2013

Final Decision

Setelah beberapa pekan larut dalam kebimbangan, alhamdulillah hari ini saya sudah bisa melangkah lebih pasti untuk merajut masa depan. Pengumuman dari Dikti tentang penerima beasiswa BPP-DN telah keluar dan alhamdulillah saya menjadi salah satu penerimanya. Allahu akbar!

Meski kepastian beasiswa telah didapat, keraguan masih saja muncul dalam pikiran saya saat itu. Apa benar mengambil beasiswa ini adalah pilihan yang tepat? Apakah tidak lebih baik jika saya bekerja saja? Dua pertanyaan tersebut memenuhi pikiran saya beberapa hari lalu.

Well, dulu keraguan ini muncul karena masalah ekonomi. Saat itu, keinginan saya untuk bekerja muncul karena ingin membantu orangtua, terutama dalam hal ekonomi. Belakangan keraguan itu terjawab dengan kepastian besarnya beasiswa yang insyaallah didapat. Meski belum bisa menafkahi satu keluarga, tapi insyaallah dari beasiswa itu saya masih bisa meringankan beban orangtua.
sumber: cartoonstock.com

Setelah keraguan dalam bentuk ekonomi terjawab, datang lagi keraguan dalam bentuk lain yang lebih sulit diselesaikan, yaitu keraguan dalam hal batin. Saya ragu meninggalkan keluarga, terutama adik terkecil saya, Fahri (7 tahun). Keberadaan saya di rumah satu setengah bulan terakhir membuat saya semakin menyadari bahwa Fahri kekurangan asupan psikologis. Oleh karena itu, saya berpikir mungkin lebih baik jika saya bekerja di Jakarta agar saya bisa mendampingi Fahri.

Akan tetapi, saya mencoba untuk berpikir lebih rasional. Kalaupun saya bekerja di Jakarta, lebih banyak mana antara waktu yang dihabiskan di jalanan dan di kantor dengan waktu untuk keluarga? Tentu jalanan dan kantor akan jauh lebih menyita waktu saya. Belum lagi lelah dan penat yang mungkin menumpuk di akhir pekan, sehingga walaupun saya memiliki 2 hari libur dalam sepekan, tapi belum tentu dapat dimanfaatkan untuk keluarga.

“Tapi setidaknya kamu memiliki waktu bersama keluarga”, batin saya memprovokasi. Ya, benar, bekerja di Jakarta, walau sesibuk apapun, setidaknya saya masih punya kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan keluarga sedangkan kuliah tidak bisa sama sekali, kecuali jika libur semester. Ah, benar-benar dua pilihan yang sangat dilematis. Meski berat, tapi saya harus memilih salah satu dan dengan menyebut nama Allah, saya telah memilih kuliah sebagai jalan hidup saya ke depannya.

Ya Allah, kuatkan!

#pojok kamar wisma Pakdhe

August 22, 2013

Intervensi Positif

Alhamdulillah bulan Syawal telah datang. Saya ucapkan selamat kepada mereka yang telah melalui hari-hari Ramadhan dengan gemilang dan berhasil mencapai target-target ibadahnya. Saya sendiri termasuk orang yang gagal menempuh target pribadi saya, padahal sewaktu di Jogja saya sudah merencanakannya dengan sangat matang dan gairah saya pun sudah sangat menggebu-gebu untuk segera merealisasikan target itu, tapi apa daya, semua itu terkalahkan dengan kegiatan lain di rumah.*Ah, bilang aja omdo*

Well, tapi di tulisan ini saya tidak ingin berbicara tentang target-target tersebut karena ada sesuatu yang lebih “cetar” yang ingin saya sampaikan. Itu lho, tentang kegundahan saya yang kemarin, antara memilih kerja atau kuliah. Eng..ing..eng..
sumber: vectorstock.com

Jadi begini bradah dan sistah sekalian, pada saat itu kan saya sedang mengikuti seleksi Jamsostek dan sudah memasuki tahapan akhir, yaitu tes kesehatan, tapi saya ragu untuk meneruskan prosesnya atau tidak karena ada yang bilang bahwa Jamsostek itu lembaga asuransi konvensional (bukan syar’i) yang mempraktikan riba.

Mengingat perkara tersebut bukan sekedar perkara dunia, tapi juga akhirat, maka saya pun mengonsultasikan hal ini ke beberapa ustadz. “Apakah bekerja di Jamsostek itu halal dan afdhol?”, begitu kira-kira inti pertanyaan saya. Dari tiga ustadz yang saya tanya, dua orang melarang saya bekerja di Jamsostek dan hanya satu orang yang membolehkan. Satu ustadz yang membolehkan itu pun bukan ustadz yang berlatar belakang ekonomi syariah, sedangkan dua ustadz yang melarang tadi bergelar profesor dan doktor di bidang ekonomi syariah. Nah lho…

Mungkin karena dimabuk bayang-bayang “kesejahteraan” bekerja di Jamsostek, saya masih merasa belum puas dengan jawaban dari para ustadz tersebut, padahal jika dipikir dengan akal sehat, sudah seharusnya saya memilih pendapat dua ustadz yang melarang karena pendapat mereka lebih kuat. Tapi sekali lagi, karena mabuk dengan bayang “kesejahteraan”, akhirnya saya memutuskan untuk mencari referensi lain lagi di internet hingga akhirnya hati saya menjadi berat ke Jamsostek. Kali ini, Jamsostek benar-benar menjadi prioritas. Eng..ing..eng..

Pilihan sudah dijatuhkan. Harapan sudah melambung. Angan pun kian membumbung.

Akan tetapi, yang namanya skenario hidup tentu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.  Dan begitulah yang terjadi dengan saya kemarin, di saat angan untuk membetulkan rumah, membelikan Bapak mobil pick-up, menambah modal warung, menyelesaikan perkara hutang-piutang, dan menikah di tahun depan sudah terbingkai dengan indah, rupanya Allah memiliki skenario lain. Sebuah skenario yang belum saya ketahui, tapi sudah pasti lebih baik dari skenario yang saya susun.  Bro & Sist, saya tidak lolos tahap interview user dan tes kesehatan Jamsostek. Allahu akbar.

Sejujurnya, pertama kali membaca pengumuman ini saya agak kecewa karena saya sudah begitu pede lulus tahap tersebut. Dua user yang mewawancarai saya pun terlihat sangat senang dengan saya, tapi apa mau dikata, keputusan berkata lain.

Untungnya saya tidak larut dalam kekecewaan karena sejak awal doa saya begini kepada Allah: “Ya Allah, jika bekerja di Jamsostek baik untuk dunia dan akhirat saya, maka mudahkan jalan hamba untuk menjadi pegawai di sana. Akan tetapi, jika Engkau berkehendak lain, sesungguhnya Engkau yang lebih mengetahui apa yang hamba butuhkan”. Artinya, dalam pandangan Allah, saat itu bekerja di Jamsostek tidak baik bagi saya. Bagi mereka yang diterima, sudah pasti ada skenario Allah yang baik bagi mereka.

Lah katanya bekerja di Jamsostek mengandung riba? Kok malah dibilang baik? Ya siapa tau dengan begitu mereka jadi membuat terobosan sehingga tidak ada lagi unsur riba di dalamnya. Kalau begitu, mereka justru akan mendulang pahala yang berlimpah dengan bekerja di sana.

Well, itulah sekelumit kisah tentang kegalauan saya yang kemarin. Meski sudah ketahuan ujung pangkalnya, tapi rupanya saya masih harus menggalau lagi karena pengumuman tentang beasiswa BPP-DN yang kemarin dikeluarkan Dikti bukan merupakan pengumuman final. Saya masih harus menunggu pengumuman lagi dari Dikti tentang penetapan penerima beasiswa tersebut.

Meski sangat mengharapkan beasiswa ini, tapi saya tidak berdoa agar diterima. Doa saya masih serupa dengan doa Jamsostek kemarin: “Ya Allah, jika menjadi penerima beasiswa BPP-DN ini baik bagi dunia dan akhirat saya, maka jadikan hamba sebagai salah satu penerima beasiswanya. Akan tetapi jika Engkau berkehendak lain, sesungguhnya Engkau yang lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi hamba”.

#pojok Talas III

July 15, 2013

Antara Idealisme dan Humanisme

Kemarin malam, sepulang tarawih saya dapat sms dari Wisnu (teman kost) yang isinya berbunyi kurang lebih begini, “Mas ada kabar baik, selamat anda diterima”. Saya mendadak heboh ketika membaca sms tersebut. “Diterima apa? Beasiswa Dikti kah?”, batin saya dalam hati. Dengan gesit, saya langsung ambil laptop dan modem, lalu membuka web UM UGM.

Setelah membuka website UM UGM yang ternyata tidak ada pengumuman apa-apa, saya beralih ke website Beasiswa Dikti. Ah, ternyata benar, pengumumannya penerima beasiswa BPP-DN Dikti sudah keluar dan bisa diunduh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengunduh file tersebut dan mencari nama saya.
Allahu Akbar… nama saya tertera di daftar penerima beasiswa BPP-DN Dikti tahun 2013. Saya senang sekali dengan hasil tersebut. Dengan diterimanya saya menjadi salah satu penerima beasiswa Dikti, saya selangkah lebih dekat menuju impian saya.

Akan tetapi, di sela-sela kesenangan tersebut, timbul satu kegundahan dalam hati saya. Gundah ini berawal dari sesi “buka-bukaan” yang dilakukan oleh Bapak beberapa hari lalu. Dalam sesi “buka-bukaan” itu, Bapak menjelaskan kondisi ekonomi keluarga kami saat ini. Sebenarnya, tanpa dijelaskan pun saya sudah mengerti hal itu, tapi kemarin Bapak menjelaskannya dengan lebih gamblang dan detail, yang kemudian memunculkan kegundahan ini.
sumber: vectorstock.com

Dari hati yang terdalam, saya sungguh menginginkan beasiswa ini karena memang disinilah letak passion saya. Akan tetapi, jika ditinjau dari sisi humanisme, apakah saya sebegitu teganya mencari “sukses” seorang diri padahal di belakang ada Bapak dan adik-adik saya yang butuh perhatian?

Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, melalui beasiswa ini insyaallah kebutuhan pribadi saya telah tercukupi. Tapi bagaimana dengan kebutuhan Bapak, Fahrul yang mau kuliah, dan Fahri yang baru SD? Sebagai anak sulung, tentu saya punya tanggung jawab lebih untuk “mengurus” dan memperjuangkan mereka karena sebelumnya pun saya sudah diurus dan diperjuangkan oleh orangtua saya sehingga kini saya sudah jadi sarjana.

Ah, saya jadi teringat dengan nasihat seorang kawan yang sangat bijak. Dulu, ketika saya bingung apakah harus mencari beasiswa atau bekerja, seorang kawan pernah menasihati begini, “Setelah empat tahun kita berjuang dengan idealime kita*, sekarang bolehlah kita balik dulu ke keluarga untuk memperjuangkan mereka”.

“Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbi alaa diinik”

*Saat lulus SMA, melanjutkan kuliah adalah keinginan tertinggi saya. Sedangkan keluarga ingin agar saya bekerja.

#pojok Pondok Cabe