Alhamdulillah bulan Syawal telah
datang. Saya ucapkan selamat kepada mereka yang telah melalui hari-hari
Ramadhan dengan gemilang dan berhasil mencapai target-target ibadahnya. Saya
sendiri termasuk orang yang gagal menempuh target pribadi saya, padahal sewaktu
di Jogja saya sudah merencanakannya dengan sangat matang dan gairah saya pun
sudah sangat menggebu-gebu untuk segera merealisasikan target itu, tapi apa
daya, semua itu terkalahkan dengan kegiatan lain di rumah.*Ah, bilang aja omdo*
Well, tapi di tulisan ini saya
tidak ingin berbicara tentang target-target tersebut karena ada sesuatu yang
lebih “cetar” yang ingin saya sampaikan. Itu lho, tentang kegundahan saya yang
kemarin, antara memilih kerja atau kuliah. Eng..ing..eng..
Jadi begini bradah dan sistah
sekalian, pada saat itu kan saya sedang mengikuti seleksi Jamsostek dan sudah
memasuki tahapan akhir, yaitu tes kesehatan, tapi saya ragu untuk meneruskan
prosesnya atau tidak karena ada yang bilang bahwa Jamsostek itu lembaga
asuransi konvensional (bukan syar’i) yang mempraktikan riba.
Mengingat perkara tersebut bukan
sekedar perkara dunia, tapi juga akhirat, maka saya pun mengonsultasikan hal
ini ke beberapa ustadz. “Apakah bekerja di Jamsostek itu halal dan afdhol?”,
begitu kira-kira inti pertanyaan saya. Dari tiga ustadz yang saya tanya, dua
orang melarang saya bekerja di Jamsostek dan hanya satu orang yang membolehkan.
Satu ustadz yang membolehkan itu pun bukan ustadz yang berlatar belakang
ekonomi syariah, sedangkan dua ustadz yang melarang tadi bergelar profesor dan
doktor di bidang ekonomi syariah. Nah lho…
Mungkin karena dimabuk
bayang-bayang “kesejahteraan” bekerja di Jamsostek, saya masih merasa belum
puas dengan jawaban dari para ustadz tersebut, padahal jika dipikir dengan akal
sehat, sudah seharusnya saya memilih pendapat dua ustadz yang melarang karena
pendapat mereka lebih kuat. Tapi sekali lagi, karena mabuk dengan bayang
“kesejahteraan”, akhirnya saya memutuskan untuk mencari referensi lain lagi di
internet hingga akhirnya hati saya menjadi berat ke Jamsostek. Kali ini,
Jamsostek benar-benar menjadi prioritas. Eng..ing..eng..
Pilihan sudah dijatuhkan. Harapan
sudah melambung. Angan pun kian membumbung.
Akan tetapi, yang namanya
skenario hidup tentu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Dan begitulah yang terjadi dengan saya
kemarin, di saat angan untuk membetulkan rumah, membelikan Bapak mobil pick-up,
menambah modal warung, menyelesaikan perkara hutang-piutang, dan menikah di
tahun depan sudah terbingkai dengan indah, rupanya Allah memiliki skenario
lain. Sebuah skenario yang belum saya ketahui, tapi sudah pasti lebih baik dari
skenario yang saya susun. Bro &
Sist, saya tidak lolos tahap interview user dan tes kesehatan Jamsostek. Allahu
akbar.
Sejujurnya, pertama kali membaca
pengumuman ini saya agak kecewa karena saya sudah begitu pede lulus tahap
tersebut. Dua user yang mewawancarai saya pun terlihat sangat senang dengan saya,
tapi apa mau dikata, keputusan berkata lain.
Untungnya saya tidak larut dalam
kekecewaan karena sejak awal doa saya begini kepada Allah: “Ya Allah, jika
bekerja di Jamsostek baik untuk dunia dan akhirat saya, maka mudahkan jalan
hamba untuk menjadi pegawai di sana. Akan tetapi, jika Engkau berkehendak lain,
sesungguhnya Engkau yang lebih mengetahui apa yang hamba butuhkan”. Artinya,
dalam pandangan Allah, saat itu bekerja di Jamsostek tidak baik bagi saya. Bagi
mereka yang diterima, sudah pasti ada skenario Allah yang baik bagi mereka.
Lah katanya bekerja di
Jamsostek mengandung riba? Kok malah dibilang baik? Ya siapa tau dengan
begitu mereka jadi membuat terobosan sehingga tidak ada lagi unsur riba di
dalamnya. Kalau begitu, mereka justru akan mendulang pahala yang berlimpah
dengan bekerja di sana.
Well, itulah sekelumit kisah tentang
kegalauan saya yang kemarin. Meski sudah ketahuan ujung pangkalnya, tapi rupanya
saya masih harus menggalau lagi karena pengumuman tentang beasiswa BPP-DN yang
kemarin dikeluarkan Dikti bukan merupakan pengumuman final. Saya masih harus
menunggu pengumuman lagi dari Dikti tentang penetapan penerima beasiswa tersebut.
Meski sangat mengharapkan
beasiswa ini, tapi saya tidak berdoa agar diterima. Doa saya masih serupa
dengan doa Jamsostek kemarin: “Ya Allah, jika menjadi penerima beasiswa BPP-DN
ini baik bagi dunia dan akhirat saya, maka jadikan hamba sebagai salah satu
penerima beasiswanya. Akan tetapi jika Engkau berkehendak lain, sesungguhnya
Engkau yang lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi hamba”.
#pojok Talas III
0 comments:
Post a Comment