Saya tersentil. Telinga saya yang
“made in Indonesia” ini tersentil selepas mengikuti kursus Bahasa Belanda tadi malam.
Sentilan itu membuat kegundahan di hati saya dan saya merasa perlu mengatarsiskannya
di tulisan ini.
Di akhir sesi kursus tadi malam, sang
pengajar yang merupakan orang Belanda, menunjukkan kepada para mahasiswa,
negara mana saja, yang jika kita berkunjung kesitu, penduduknya bisa diajak berbahasa
Belanda. Sambil menunjuki negaranya, ia menceritakan latar belakang mengapa
negara tersebut bisa berbahasa Belanda. Kalau tidak salah ingat, negara2 itu
adalah Belgia, Netherlands Anthiles, Aruba, Suriname, Namibia, Afrika Selatan,
Angola, Zambia, dan Indonesia.
Hampir semua negara yang ia
tunjuki itu berlatar belakang bekas jajahan Belanda, kecuali Belgia yang merupakan
negara yang memisahkan diri dari Belanda. Rupanya menurut beliau, latar
belakang bekas jajahan itu membuat membuat negara2 tersebut secara otomatis bisa
berbahasa Belanda. Apalagi rata2 penjajahan dilakukan dalam kurun waktu yang
sangat lama, mencapai ratusan tahun seperti yang dialami Indonesia, sehingga sangat
wajar jika negara2 itu bisa berbahasa Belanda. Begitu kira2 logika yang
disampaikan.
Di sini lah saya mulai tersentil.
Fakta yang disampaikan dosen itu, entah sengaja atau tidak, jelas2 bertentangan
dengan kondisi sebenarnya. Setidaknya bertentangan dengan kondisi Indonesia (karena
saya tidak tahu kondisi negara2 jajahan lain, kecuali Suriname yang penduduknya
memang fasih berbahasa Belanda).
Seperti kita ketahui, rakyat
Indonesia jelas2 tidak bisa berbahasa Belanda. Kalaupun ada, jumlahnya sangat
terbatas dan kemungkinan besar berasal dari kaum terpelajar, bukan rakyat
proletar.
Fakta bahwa Belanda menjajah
Indonesia dalam waktu yang sangat lama memang benar adanya, tapi apakah juga
benar bahwa dalam tempo waktu yang lama itu, 3,5 abad, Belanda juga memberikan pendidikan
untuk Indonesia? Alih2 mengajarkan ilmu, bangsa Indonesia dibiarkan tidak
terdidik agar tidak ada pemberontakan melawan mereka.
Dengan kondisi seperti ini,
logika bahwa negara jajahan akan serta merta mengerti bahasa negara penjajahnya
tidak berlaku sama sekali. Bagaimana mungkin rakyat Indonesia bisa berbahasa
Belanda sedangkan pendidikannya saja tidak diberikan? Bukankah tidak adanya
pendidikan sama dengan tidak adanya transfer ilmu pengetahuan? Padahal bahasa itu sendiri adalah
ilmu pengetahuan.
(Bangsa Indonesia kemudian baru
dapat mencecap pendidikan ketika mereka hampir merdeka dan itupun terbatas bagi
kalangan atas saja, yaitu mereka yang memiliki kedudukan tinggi dan hubungan
dekat dengan Belanda.)
Ah, saya jadi teringat obrolan
saya dengan seorang teman asal Sri Lanka. Obrolan yang kemudian membuat saya semakin
gemes jika mengingat perlakuan
Belanda di masa penjajahan. Dia bercerita bahwa rata2 penduduk Sri Lanka bisa
berbahasa Inggris karena negara penjajahnya, Inggris, mengajarkan mereka bahasa
tersebut. Dan dia begitu kaget ketika mengetahui hal yang sebaliknya terjadi
pada Indonesia.
***
Kuping saya semakin tersentil
ketika dosen itu mengatakan bahwa Indonesia sekarang memiliki bahasa sendiri
karena Indonesia membenci bahasa Belanda. Secara implisit, pesan yang
disampaikan dosen itu bermakna bahwa Indonesia tidak menjadikan bahasa Belanda
sebagai bahasa nasional karena rakyat Indonesia benci dengan bahasa tersebut. Artinya,
rakyat Indonesia sebenarnya bisa berbahasa Belanda, tapi tidak mau
menjadikannya sebagai bahasa nasional karena kadung benci.
Sekali lagi, di sini saya
menemukan fakta yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Pertama, pernyataan
itu memutarbalikkan fakta bahwa rakyat Indonesia bisa berbahasa Belanda.
Kenyataannya justru sebaliknya, seperti yang sudah saya jelaskan di atas.
Kedua, apakah benar rakyat
Indonesia membenci bahasa Belanda? Jika pertanyaan itu diajukan ke saya, maka
jawaban saya adalah tidak. Saya tidak benci, tapi bukan berarti saya senang.
Sikap saya terhadap bahasa Belanda adalah biasa2 saja. Sama seperti sikap saya
terhadap bahasa Spanyol, Perancis, Italia, Jerman, dan sebagainya. Tidak benci.
Tidak juga senang. Normal.
“Itukan menurut kamu, bagaimana
menurut rakyat yang dulu merasakan penjajahan? Barangkali mereka benci”. Tidak.
Saya tetap tidak sependapat jika para pendahulu saya dikatakan membenci bahasa
Belanda. Mungkin bukan benci, tapi lebih tepatnya tidak mencintai.
Kalau memang mereka tidak
mencintai, itu adalah hal yang wajar. Lha bagaimana mungkin mereka mencintai
sesuatu yang tidak mereka mengerti? Dan bagaimana mungkin juga mereka
menjadikan bahasa yang tidak mereka mengerti sebagai bahasa nasional? Mungkin
kalau mereka mendapatkan pendidikan bahasa Belanda akan lain ceritanya.
***
Cerita sang pengajar kemudian
berkembang menjadi sebuah promosi atas kegagahan negaranya yang mampu menjajah
negara lain sampai ratusan tahun lamanya. Dia bangga menceritakan pengalaman
negaranya menjajah banyak negara di berbagai benua, termasuk Indonesia, yang kemudian
dengan hasil jajahannya itu mereka membangun negaranya. Amsterdam pun kini menjadi
sedemikian majunya berkat sumbangan dari Indonesia sejak berabad silam. Begitu
kata dosen tersebut.
Saya hanya bisa termenung
mendengarkan cerita dosen itu. Sejak awal sebenarnya saya ingin protes, tapi selalu
ragu2. Keragu2an yang terus bertahan sampai akhirnya kelas berakhir. “Ah, payah”.
Saya mengkritik diri sendiri.
*Saya menjadi semakin kagum
dengan para pahlawan yang dulu berani bersuara lantang di depan parlemen
Belanda guna memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan saya semakin menyadari
bahwa saya belum ada apa2nya dibanding mereka.
aku ngikutin blogmu jar..
ReplyDeleteOke mas, terima kasih :)
ReplyDeleteBahasa yang digunakan masyarakat Indonesia masa kolonial bukan merupakan bahasa Belanda “asli”, akan tetapi cenderung menggunakan bahasa pengantar, “ bahasa petjoek”. Bahasa ini merupakan percampuran antara bahasa Belanda dan Bahasa pribumi dimana struktur, kosa kata dan tata bahasa Belanda mengalami “pelenturan dan penyederhanaan” dalam penggunaan sehari-hari. Artinya bahasa yang digunakan merunut fungsinya sebagai alat komunikasi sehingga si Belanda di Indonesia menyederhanakan bahasanya agar dapat dengan mudah dimengerti dan dipakai oleh si pribumi. Dengan kata lain terjadi percampuran bahasa dan menurut ranah kebudayaan, bahasa Belanda yang digunakan Indonesia merupakan satu bentuk akulturasi kebudayaan Belanda dan Pribumi yaitu, kebudayaan Indis ( untuk kebudayaan Indis serta bentuk kebudayaan Indis di Indonesia lihat Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis).
ReplyDeleteMengenai penjajahan yang dilakukan Belanda. Tiga setengah abad atau 350 tahun merupakan generalisasi yang dilakukan Presiden Soekarno untuk membentuk sikap anti-kolonialisme masyarakat Indonesia masa kemerdekaan. Untuk Jawa, Belanda benar-benar mulai merasa nyaman pasca 1830 ketika Perang jawa berakhir, sementara itu di wilayah-wilayah di luar Pulau jawa, penjajahan Belanda baru mulai terjadi pada akhir abad ke XIX ( Bali sebagai contoh dengan Perang Puputan ). Maka jika kita mengacu penaklukan wilayah oleh Belanda sebagai akumulasi lamanya bangsa belanda menjajah Indonesia, teori 3,5 abad tersebut telah terpatahkan, dan tugas kita sebagai generasi muda untuk meluruskan dan mensosialisasikannya, karena koreksi tersebut dapat mendasari pembangunan karakter pemuda bangsa Indonesia ( untuk koreksi lamanya penjajahan Belanda di Indonesia lihat G.J. Resink. Indonesia Bukan 350 Dijajah).
ReplyDeleteBelanda belum pernah benar-benar perkasa dan berkuasa di Indonesia, penguasaan Belanda atas Indonesia ( khususnya dalam hal ini jawa) menurut saya adalah sebuah “kecerdasan yang selaras dengan ketundukan masyarakat”. Belanda tidak benar-benar pernah melakukan ekspedisi militer dan birokrat administrator ke Indonesia. Belanda selalu menggunakan tenaga militer dari prajurit sewaan dan pribumi dalam melawan perlawanan dan peperangan yang terjadi di Indonesia ( dalam kasus perang jawa dan Aceh pasukan pribumi serta pasukan sewaan pribumi lebih mendominasi dibandingkan dengan pasukan inti dari para belanda, lihat Peter Carey, Kuasa ramalan ). Administrator pemerintah kolonial diambil dari para penguasa Pribumi ( dalam kasus Sistem tanam paksa peran Bupati pribumi sangat vital dan dibutuhkan dalam pemerintahan kolonial Belanda, lihat Van Niel, system tanam paksa di Indonesia ). Penempatan birokrat dan adiminstator Belanda hanya berada dalam kota ibukota dan kota-kota karesidenan. Pada dasarnya “keperkasaan” Belanda di Indonesia dibangun atas dasar kaki-kaki pribumi.
Permasalahan mendasar mengenai mengapa masyarakat Indonesia tidak mengenal Bahasa Belanda ialah persoalan bagaimana bahasa Belanda hilang dalam penggunaan sehari-hari masyarakat (bandingkan dengan penggunaan bahasa ini masa kolonial ). Hilangnya peredaran Bahasa Belanda di Indonesia dalam perspektif sejarah dapat dilihat dari faktor pewarisan kemerdekaan antara Belanda di Indonesia. Indonesia bukanlah negara persemakmuran, ataupun negara yang menerima kemerdekaan, tetapi bangsa ini berjuang memperoleh kemerdekaan. Proses perjuangan inilah yang mengakibatkan tidak terjadi transfer ( kecuali dalam bidang hukum ) secara damai struktur dan bentuk-bentuk kebudayaan kolonial.
Penggunaan bahasa Belanda indis menghilang ketika gelombang anti-kolonialisme Belanda menggema di Indonesia masa perang kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Segala bentuk yang berkaitan dengan belanda cenderung dimanifestasikan dengan kolonialisme begitupun juga bahasa. Disisilain kesadaran tentang bahasa Indonesia telah dirintis sejak sumpah pemuda yang berhubungan dengan sikap nasionalisme bangsa. Sikap anti-belanda dan berkobarnya nasionalisme kemungkinan besar mempengaruhi pemilihan bahasa resmi negara. Dimana hal ini akan berkaitan dengan materi mata pelajaran di institusi pendidikan di Indonesia
Kemungkinan jika melalui pendekatan psikologi sosial akan lebih jelas mengenai perspektif masyarakat Indonesia masa perang kemerdekaan dan perang mempertahankan kemerdekaan terhadap penggunaan hal-hal yang berbau kolonialisme khususnya Bahasa Belanda serta pengaruhnya terhadap penggunaan bahasa Belanda dalam koridor pendidikan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia kini.
Saya suka dengan tiga komentar terakhir di atas. Bikin saya tertarik untuk buka dan baca buku sejarah lagi. Konon ada banyak buku sejarah di Belanda yang tidak sampai ke Indonesia sehingga ada banyak sejarah yang tidak "tersampaikan". Sayang, saya tidak sempat mengeksplor hal itu lebih jauh
ReplyDeletebs baca buku buku pak Pramoedya ananta toer mas.sejarah yg digambarkan beda sama buku pelajaran,,,
ReplyDelete@Mas Anonim, betul mas. Buku-bukunya Pram memang sarat akan sejarah. Alhamdulillah sudah sempat baca beberapa bukunya, termasuk yang paling masyhur, Tetralogi Buru.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletesaya juga tidak mengerti ketika pendiri bangsa ini sangat membenci belanda dan para pemimpin negara ini telah menegaskan indonesia telah merdeka dan berdaulat lucunya Hukum Belanda kok masih dipake yang nyata-nyatanya di Belanda sendiri sudah diperbaharui. Indonesia yang sejak tahun 45 merdeka masih saja memakai hukum belanda contohnya KUH Perdata (BW) sistem hukum pidana juga masih mengadopsi zaman belanda. pertanyaannya apakah sekian banyak profesor hukum dan cendikiawan di negara ini sudah tidak mampu membuat hukum sendiri? coba tolong para pakar hukum di negara kita apakah hukum acara belanda dan hukum perdata sudah mengakomodir prinsip keadilan dalam masyarakat? saya sebagai Advokat yang sering buka buku, undang2 zaman Kuno nya belanda (HIR/RBG) dan praktik bersidang tentu sangat gemas terhadap sistem hukum negara kita. titik poin hukum acar perdata di negara ini sangat jadul dan kurang mementingkan keadilan, yang dibutuhkan seremonial normatif kaku dan tidak menggali kebenaran materil (sesungguhnya).
ReplyDelete