Di kampus tempat saya kuliah saat
ini, Rijkuniversiteit Groningen, sedang dibuka program kursus singkat Bahasa
Belanda untuk mahasiswa2 Internasional. Programnya akan berlangsung selama 7
minggu, November sampai pertengahan Desember, dan minggu ini sudah memasuki
minggu kedua.
Saya sendiri ikut bergabung dalam
program tersebut, tapi bukan karena ingin fasih berbahasa Belanda, melainkan
untuk membangun relasi yang lebih luas lagi dengan mahasiswa internasional
(well, bukan berarti saya tidak punya keinginan sama sekali untuk bisa
berbahasa Belanda).
Di fakultas tempat saya belajar
sekarang, Behavioral and Social Science,
banyak sekali mahasiswa Jerman. Hampir setiap orang yang saya ajak
berkenalan pasti berasal dari Jerman. Bahkan buddy saya pun seorang Germany. Maka dari itu, agar saya punya
relasi yang lebih variatif, saya ikut program kursus singkat ini. Akan tetapi
sayangnya di program ini pun ternyata mahasiswa Jerman masih mendominasi.
Mungkin sekitar 2/3 kelas isinya Jerman -_-‘. Itu saya ketahui ketika meneer pengajar menanyakan negara asal
mahasiswa.
***
Walaupun saat ini saya tinggal di
Belanda, tapi saya justru lebih memiliki keinginan untuk bisa berbahasa Arab
daripada Belanda. Alasannya, karena hampir setiap umat Islam yang ada di sini bisa
berbahasa Arab dan biasa berkomunikasi dengan bahasa itu.
Saya kadang iri melihat keakraban
mereka. Mereka sangat cair satu sama lain. Mau menjalin keakraban serupa
sepertinya sangat sulit karena hanya segelintir dari mereka yang bisa berbahasa
Inggris. Pernah saya diundang dalam acara aqiqah salah satu jama’ah. Acaranya
sangat meriah dan banyak dihidangkan makanan yang memanjakan lidah. Meski
demikian, saya merasa seperti orang asing di situ karena selain saya adalah
satu2nya jamaah dari Indonesia, saya juga satu2nya jamaah yang tidak bisa
berbahasa Arab. Jadi, saya hanya bisa
memasang senyum dan bahasa2 non verbal lain yang dibuat seramah mungkin.
Terkadang, saya juga malu jika
ikut kajian singkat yang biasa dilaksanakan setelah sholat ashar di Masjid
Korreweg (komunitas Turki). Pasalnya, setiap sang Imam selesai membacakan dan
menjelaskan kitab rujukan, Riyadush Shalihin, beliau selalu minta seseorang
yang fasih berbahasa Inggris untuk menerjemahkan kepada saya tentang apa yang
baru saja beliau katakan. Dan beliau melakukan ini “spesial” hanya untuk saya,
karena hanya saya dalam jamaah tersebut yang tidak bisa berbahasa Arab
(meskipun terkadang saya juga cukup mengerti jika beliau membacakan hadits yang
cukup populer). Diperlakukan spesial seperti ini sering membuat saya keki,
salah tingkah, dan malu.
Pengalaman seperti ini membuat
saya kembali meneguhkan tekad untuk kembali belajar bahasa Arab. Dulu saya
sempat belajar, tapi belum mampu istiqomah sehingga hasilnya sangat jauh dari
maksimal. Semoga tekad saya kali ini bukan tekad musiman yang timbul tenggelam
seiring bergantinya musim. Mudah2an tekad kali ini diiringi keistiqomahan dan
kesungguhan sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih optimal.
0 comments:
Post a Comment