Kemarin malam, sepulang tarawih
saya dapat sms dari Wisnu (teman kost) yang isinya berbunyi kurang lebih
begini, “Mas ada kabar baik, selamat anda diterima”. Saya mendadak heboh ketika
membaca sms tersebut. “Diterima apa? Beasiswa Dikti kah?”, batin saya
dalam hati. Dengan gesit, saya langsung ambil laptop dan modem, lalu membuka
web UM UGM.
Setelah membuka website UM UGM
yang ternyata tidak ada pengumuman apa-apa, saya beralih ke website Beasiswa
Dikti. Ah, ternyata benar, pengumumannya penerima beasiswa BPP-DN Dikti sudah
keluar dan bisa diunduh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengunduh file
tersebut dan mencari nama saya.
Allahu Akbar… nama saya tertera
di daftar penerima beasiswa BPP-DN Dikti tahun 2013. Saya senang sekali dengan
hasil tersebut. Dengan diterimanya saya menjadi salah satu penerima beasiswa
Dikti, saya selangkah lebih dekat menuju impian saya.
Akan tetapi, di sela-sela kesenangan
tersebut, timbul satu kegundahan dalam hati saya. Gundah ini berawal dari sesi
“buka-bukaan” yang dilakukan oleh Bapak beberapa hari lalu. Dalam sesi
“buka-bukaan” itu, Bapak menjelaskan kondisi ekonomi keluarga kami saat ini.
Sebenarnya, tanpa dijelaskan pun saya sudah mengerti hal itu, tapi kemarin
Bapak menjelaskannya dengan lebih gamblang dan detail, yang kemudian
memunculkan kegundahan ini.
Dari hati yang terdalam, saya sungguh
menginginkan beasiswa ini karena memang disinilah letak passion saya. Akan
tetapi, jika ditinjau dari sisi humanisme, apakah saya sebegitu teganya mencari
“sukses” seorang diri padahal di belakang ada Bapak dan adik-adik saya yang
butuh perhatian?
Kalau hanya untuk memenuhi
kebutuhan pribadi, melalui beasiswa ini insyaallah kebutuhan pribadi saya telah
tercukupi. Tapi bagaimana dengan kebutuhan Bapak, Fahrul yang mau kuliah, dan
Fahri yang baru SD? Sebagai anak sulung, tentu saya punya tanggung jawab lebih untuk
“mengurus” dan memperjuangkan mereka karena sebelumnya pun saya sudah diurus
dan diperjuangkan oleh orangtua saya sehingga kini saya sudah jadi sarjana.
Ah, saya jadi teringat dengan
nasihat seorang kawan yang sangat bijak. Dulu, ketika saya bingung apakah harus
mencari beasiswa atau bekerja, seorang kawan pernah menasihati begini, “Setelah
empat tahun kita berjuang dengan idealime kita*, sekarang bolehlah kita balik
dulu ke keluarga untuk memperjuangkan mereka”.
“Ya muqollibal quluub, tsabbit
qolbi alaa diinik”
*Saat lulus SMA, melanjutkan
kuliah adalah keinginan tertinggi saya. Sedangkan keluarga ingin agar saya
bekerja.
#pojok Pondok Cabe
0 comments:
Post a Comment