July 15, 2013

Antara Idealisme dan Humanisme

Kemarin malam, sepulang tarawih saya dapat sms dari Wisnu (teman kost) yang isinya berbunyi kurang lebih begini, “Mas ada kabar baik, selamat anda diterima”. Saya mendadak heboh ketika membaca sms tersebut. “Diterima apa? Beasiswa Dikti kah?”, batin saya dalam hati. Dengan gesit, saya langsung ambil laptop dan modem, lalu membuka web UM UGM.

Setelah membuka website UM UGM yang ternyata tidak ada pengumuman apa-apa, saya beralih ke website Beasiswa Dikti. Ah, ternyata benar, pengumumannya penerima beasiswa BPP-DN Dikti sudah keluar dan bisa diunduh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengunduh file tersebut dan mencari nama saya.
Allahu Akbar… nama saya tertera di daftar penerima beasiswa BPP-DN Dikti tahun 2013. Saya senang sekali dengan hasil tersebut. Dengan diterimanya saya menjadi salah satu penerima beasiswa Dikti, saya selangkah lebih dekat menuju impian saya.

Akan tetapi, di sela-sela kesenangan tersebut, timbul satu kegundahan dalam hati saya. Gundah ini berawal dari sesi “buka-bukaan” yang dilakukan oleh Bapak beberapa hari lalu. Dalam sesi “buka-bukaan” itu, Bapak menjelaskan kondisi ekonomi keluarga kami saat ini. Sebenarnya, tanpa dijelaskan pun saya sudah mengerti hal itu, tapi kemarin Bapak menjelaskannya dengan lebih gamblang dan detail, yang kemudian memunculkan kegundahan ini.
sumber: vectorstock.com

Dari hati yang terdalam, saya sungguh menginginkan beasiswa ini karena memang disinilah letak passion saya. Akan tetapi, jika ditinjau dari sisi humanisme, apakah saya sebegitu teganya mencari “sukses” seorang diri padahal di belakang ada Bapak dan adik-adik saya yang butuh perhatian?

Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, melalui beasiswa ini insyaallah kebutuhan pribadi saya telah tercukupi. Tapi bagaimana dengan kebutuhan Bapak, Fahrul yang mau kuliah, dan Fahri yang baru SD? Sebagai anak sulung, tentu saya punya tanggung jawab lebih untuk “mengurus” dan memperjuangkan mereka karena sebelumnya pun saya sudah diurus dan diperjuangkan oleh orangtua saya sehingga kini saya sudah jadi sarjana.

Ah, saya jadi teringat dengan nasihat seorang kawan yang sangat bijak. Dulu, ketika saya bingung apakah harus mencari beasiswa atau bekerja, seorang kawan pernah menasihati begini, “Setelah empat tahun kita berjuang dengan idealime kita*, sekarang bolehlah kita balik dulu ke keluarga untuk memperjuangkan mereka”.

“Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbi alaa diinik”

*Saat lulus SMA, melanjutkan kuliah adalah keinginan tertinggi saya. Sedangkan keluarga ingin agar saya bekerja.

#pojok Pondok Cabe

Related Posts:

  • For My Beloved Mom: The Last “Present” from My Mom For the first time after has been living alone for more than 3 years in Yogyakarta, I feel so difficult to leave my hometown, South Tangerang. It is too easy for me to get homesick when I am in Yogyakarta. I miss my father, … Read More
  • Digital-less Rendezvous Sabtu, 4 Mei 2019, hari bersejarah itu tiba. Untuk pertama kalinya saya bertemu putra pertama saya setelah hampir 3 bulan dia hadir di dunia ini. Sebenarnya saya sudah tiba di Indonesia sejak tanggal 27 April, tapi tidak lan… Read More
  • Lebaran Sudah menjadi fardhu ain bagi saya untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga besar.  Sejak lebaran edisi tahun pertama kelahiran hingga lebaran edisi tahun lalu, selalu saya rayakan bersama keluarga… Read More
  • A Treasure from Old MMC Beberapa hari yang lalu, saya iseng membuka file MMC dari hp saya sewaktu SMA.  Entah kenapa tiba-tiba saya teringat dengan MMC ini. File di MMC ini sudah lama sekali tidak dibuka, mungkin lebih dari empat tahun. Ke… Read More
  • Status Baru Ada dua hal besar yang saya dapatkan dalam tiga bulan terakhir ini. Kedua hal ini telah membawa saya pada level kehidupan yang berbeda. Bukan dalam perkara materi, tapi level dalam wujud fase perjalanan hidup. Hal pertama ya… Read More

0 comments:

Post a Comment