August 31, 2013

Final Decision

Setelah beberapa pekan larut dalam kebimbangan, alhamdulillah hari ini saya sudah bisa melangkah lebih pasti untuk merajut masa depan. Pengumuman dari Dikti tentang penerima beasiswa BPP-DN telah keluar dan alhamdulillah saya menjadi salah satu penerimanya. Allahu akbar!

Meski kepastian beasiswa telah didapat, keraguan masih saja muncul dalam pikiran saya saat itu. Apa benar mengambil beasiswa ini adalah pilihan yang tepat? Apakah tidak lebih baik jika saya bekerja saja? Dua pertanyaan tersebut memenuhi pikiran saya beberapa hari lalu.

Well, dulu keraguan ini muncul karena masalah ekonomi. Saat itu, keinginan saya untuk bekerja muncul karena ingin membantu orangtua, terutama dalam hal ekonomi. Belakangan keraguan itu terjawab dengan kepastian besarnya beasiswa yang insyaallah didapat. Meski belum bisa menafkahi satu keluarga, tapi insyaallah dari beasiswa itu saya masih bisa meringankan beban orangtua.
sumber: cartoonstock.com

Setelah keraguan dalam bentuk ekonomi terjawab, datang lagi keraguan dalam bentuk lain yang lebih sulit diselesaikan, yaitu keraguan dalam hal batin. Saya ragu meninggalkan keluarga, terutama adik terkecil saya, Fahri (7 tahun). Keberadaan saya di rumah satu setengah bulan terakhir membuat saya semakin menyadari bahwa Fahri kekurangan asupan psikologis. Oleh karena itu, saya berpikir mungkin lebih baik jika saya bekerja di Jakarta agar saya bisa mendampingi Fahri.

Akan tetapi, saya mencoba untuk berpikir lebih rasional. Kalaupun saya bekerja di Jakarta, lebih banyak mana antara waktu yang dihabiskan di jalanan dan di kantor dengan waktu untuk keluarga? Tentu jalanan dan kantor akan jauh lebih menyita waktu saya. Belum lagi lelah dan penat yang mungkin menumpuk di akhir pekan, sehingga walaupun saya memiliki 2 hari libur dalam sepekan, tapi belum tentu dapat dimanfaatkan untuk keluarga.

“Tapi setidaknya kamu memiliki waktu bersama keluarga”, batin saya memprovokasi. Ya, benar, bekerja di Jakarta, walau sesibuk apapun, setidaknya saya masih punya kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan keluarga sedangkan kuliah tidak bisa sama sekali, kecuali jika libur semester. Ah, benar-benar dua pilihan yang sangat dilematis. Meski berat, tapi saya harus memilih salah satu dan dengan menyebut nama Allah, saya telah memilih kuliah sebagai jalan hidup saya ke depannya.

Ya Allah, kuatkan!

#pojok kamar wisma Pakdhe

Related Posts:

  • Di Antara Arab dan Korporat, Ada Indonesia Bimbang. Lagi-lagi pikiran saya berkubang di lembah kebimbangan. Kebimbangan kali ini datang dari pilihan karir setelah lulus kuliah. Mau apa saya setelah lulus kuliah nanti? Sumber: ceciliaadrianto.wordpress.com Saat … Read More
  • Akhir Cerita Sebuah Kelas Bahasa Selasa 16 Mei 2017 menjadi hari terakhir saya berada di Ma’had Lughoh. Tidak terasa sudah dua tahun saya investasikan waktu saya di sana. Terasa begitu singkat jika mengenangnya saat ini, tapi tampak sangat lambat ketika … Read More
  • Fix Arabic Numbering Issue in Ms Word 2016 & 2019 Parah. Hampir saja saya stres dengan masalah numbering di Ms Word. Masalah yang sangat sepele sebenarnya, tapi menyita banyak sekali waktu. Sudah diotak-atik kesana kemari tetap belum terpecahkan juga. Untunglah percobaan i… Read More
  • It's Not Finish Yet Saya kira, setelah selesai menjalani sidang pendadaran skripsi, saya bisa lebih berleha-leha. Merebahkan diri lebih lama di atas kasur yang kini lebih mirip karpet. Atau sekedar menyelonjorkan kaki sambil menikmati cappuchin… Read More
  • Dadar Tanpa Telor Alhamdulillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Segala puji hanya milik Allah, Sang Penggenggam Langit dan Bumi, dengan rahmat dan hidayah-Nya, saya diberi kemudahan dalam menjalani sidang skripsi (ujian pendadaran) pad… Read More

0 comments:

Post a Comment