28 Maret 1988. Hari itu adalah
hari bersejarah bagi sepasang muda-mudi. Hari yang melegalkan perkara yang
sebelumnya termasuk ke dalam dosa besar. Bukan hanya legal (mubah), tapi
perkara itu pun bernilai kebaikan (pahala) bagi mereka. Bahkan dianggap ibadah
karena ijab kabul telah membingkainya dengan indah.
28 Maret 1988. Hari itu adalah
hari Senin, bertepatan dengan 10 Sya’ban 1408 H. Senin adalah salah satu hari
yang istimewa. Rasulullah saw bersabda bahwa hari Senin (dan Kamis) adalah hari
dimana malaikat menyetorkan amal manusia ke hadapan Allah swt (oleh karena itu
beliau berpuasa sunnah pada kedua hari itu). Dan momen berharga itu juga
menjadi hari pernikahan sepasang muda-mudi tersebut. Semoga ada nilai lebih
darinya.
28 Maret 1988. Mereka sebenarnya
masih sangat muda. Sang mempelai pria baru di pertengahan 24 menuju 25 tahun.
Usia yang pada saat ini dianggap belum matang dan jauh dari kemapanan. Alih-alih
menikah, pacaran dijadikan pilihan yang lebih logis oleh banyak kalangan. Sebagian
lainnya menenggelamkan diri dalam kehedonisan sebagai wujud aji mumpung,
“mumpung masih muda”.
Usia mempelai wanita dambaan
lebih mencengangkan lagi, baru memasuki akhir 18 tahun. Jangankan menikah,
dewasa ini usia segitu justru sedang pol-polnya hura-hura. Menonton konser,
pergi ke mall, tenggelam dalam gadget dan socmed, serta genit-genitan dengan
lawan jenis sangat lumrah ditemui di kehidupan gadis remaja saat ini.
Akan tetapi, sepasang muda-mudi
itu memilih menikah sebagai jalan hidup mereka. Meski mereka belum mapan secara
ekonomi, meski gairah pemuda untuk berhura-hura sedang bergejolak, dan meski kematangan
mungkin belum hadir dalam ruang berpikir mereka, tapi mereka tidak ambil
pusing. Semua itu insyaallah akan menyertai seiring melengkungnya janur kuning
di pintu masuk pelaminan.
Dan hal itu benar-benar terwujud 8
bulan 13 hari kemudian. Allah swt mengaruniakan rezeki berupa anak sebagai
pelengkap kebahagiaan mereka. Achmad Fery nama buah cinta pertama tersebut. Sekarang
usianya sama dengan usia ayahnya ketika menikah dulu, tapi dia belum ingin
menikah karena harus konsentrasi menyelesaikan pendidikan masternya yang baru
saja dimulai.
Tujuh tahun berselang setelah
kelahiran si sulung, lahir buah cinta kedua, yang diikuti buah cinta ketiga
sepuluh tahun berikutnya. Ketiga anak mereka semuanya adalah laki-laki, atau
“jagoan” dalam bahasa kampung. Itu berarti mempelai wanita menjadi wanita
tercantik di keluarga kecil tersebut.
Keluarga kecil itu merintis
semuanya dari nol. Mempelai pria, seperti yang telah disampaikan sebelumnya,
bukan merupakan pria yang sudah mapan. Dia merintis karir dari bawah sekali
hingga kini akhirnya telah memiliki penghidupan yang lebih layak. Mempelai
wanita, sang manjaer rumah tangga, mendidik anak-anak dengan pendidikan terbaik,
hingga berhasil mengantarkan anaknya melanglang buana sampai ke negeri Eropa.
Sayangnya, ada badai yang harus
dihadapi oleh keluarga kecil tersebut. Mempelai wanita diuji oleh penyakit yang
sangat berat hingga akhirnya menghadap Sang Khalik satu tahun sebelum usia
perak pernikahannya. Meskipun badai itu belum sepenuhnya berlalu dan masih
membuat bahtera keluarga kecil itu limbung, tapi mereka selalu percaya bahwa
Allah selalu menjaga mereka.
#wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment