December 24, 2013

Betawi Butuh Motivasi

 
Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 90-an tentu pernah merasakan bagaimana animo masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Ibukota, dengan sinetron Si Doel Anak Sekolah. Sinetron dengan latar budaya Betawi yang bercerita tentang perjuangan Doel dalam menempuh pendidikan tinggi ini sempat menjadi sinetron yang paling ditunggu kala itu.
 
Bagi penulis, hal yang menarik dari sinetron tersebut sebenarnya bukan terletak pada dramanya, tapi pada semangat yang dibawa oleh sang sutradara, Rano Karno, yang juga merupakan putra Betawi. Rano ternyata sengaja membuat sinetron ini untuk mengangkat citra Betawi yang selama ini buruk. Salah satu citra buruk yang beredar di masyarakat tentang Betawi adalah bahwa masyarakat Betawi kurang berpendidikan.

Meski pahit, citra tersebut memang nyata adanya. Sebagai orang Betawi yang lahir dan besar dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya juga beretnis Betawi, penulis sendiri sulit menemukan orang Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menyelesaikan jenjang pendidikan menengah, bahkan tidak sedikit yang terputus pada jenjang pendidikan dasar.

Hal ini tentu berdampak luas bagi perkembangan kehidupan mereka. Sebagai kelompok yang tinggal di kota metropolitan, rendahnya pendidikan tersebut membuat mereka kesulitan bersaing dengan para pendatang yang lebih terdidik. Bahkan untuk sekedar bertahan hidup pun mereka harus menyiapkan 1001 siasat. Bagi orang Betawi yang masih memiliki kecukupan harta, menjual sebagian harta benda mungkin bisa dijadikan solusi bertahan hidup sementara. Meskipun sebenarnya  solusi ini jauh dari prinsip efektif karena harta benda yang dimiliki juga ada batasnya.

Bagi mereka yang hidup pas-pasan, bergabung dengan organisasi masyarakat kedaerahan tidak jarang dijadikan pilihan. Karena kabar burung mengatakan bahwa ormas-ormas tersebut memperjuangkan kepentingan mereka. Sayangnya, burung hanyalah burung. Mereka terlatih hanya untuk membawa berita. Bukan untuk memvalidasi isi berita tersebut. Ormas yang katanya memperjuangkan kepentingan orang Betawi itu ternyata tidak jarang justru menjatuhkan martabat Betawi dengan aksi premanisme, rebutan lahan parkir, dan kerusuhannya. Ironis!

Membangun Pendidikan Betawi
Fenomena ini tentu sangat merugikan dan harus segera disudahi. Orang Betawi harus di-edukasi agar mereka bisa hidup (survive) di tanah sendiri tanpa mengharap uluran kasih orang lain. Apalagi dengan memaksa! Akan tetapi, merubah persepsi orang Betawi terhadap pendidikan tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Untuk memulai agenda besar tersebut, langkah awal yang perlu ditempuh adalah merumuskan penyebab rendahnya partisipasi pendidikan mereka.

Hal pertama yang terlintas menjadi sebab rendahnya pendidikan mereka adalah biaya. Patut diakui bahwa faktor biaya memang seringkali menjadi batu sandungan bagi kebanyakan orang untuk sekolah atau kuliah. Akan tetapi, dewasa ini menjadikan biaya sebagai kambing hitam sepertinya sudah terlalu usang digunakan. Bagaimana tidak usang jika tawaran beasiswa untuk sekolah dan kuliah, baik dari pemerintah maupun swasta, sudah sangat melimpah? Selain itu, julukan “tuan tanah” dan “raja kontrakan” yang identik pada orang Betawi juga mengindikasikan bahwa secara materi mereka sebenarnya berkecukupan. Maka dengan alasan tersebut, faktor biaya menjadi logis untuk dieliminasi.

Faktor lain yang sangat krusial dan mendasar adalah faktor kemauan. Atau dalam paradigma psikologi disebut motivasi. Kalau biaya dan fasilitas pendidikan di Jakarta sudah sangat lengkap, lalu apalagi yang kurang kalau bukan motivasi dari orang Betawi itu sendiri? Maka agenda besar yang ada dalam benak penulis ke depan adalah memompa motivasi orang-orang Betawi agar mereka antusias dengan pendidikan. Strategi yang paling tepat untuk mencapai tujuan itu tentu bukan dengan beretorika, tapi dengan memberikan bukti berupa contoh kesuksesan buah dari pendidikan. Orang berpendidikan yang sukses memang sudah sangat banyak, tapi rasa-rasanya belum banyak yang datang dari kalangan Betawi. Padahal, contoh dari kalangan sendiri biasanya lebih mengena di hati. Maka, agenda pertama yang penulis garap adalah membuat diri ini sukses dulu. Dengan begitu, semoga mata orang-orang Betawi, khususnya yang ada di lingkungan tempat tinggal penulis, menjadi lebih terbuka sehingga ke depannya membangun pendidikan lebih mereka dahulukan daripada membangun kontrakan.

(Tulisan di atas pernah saya ikutkan lomba karya tulis Alfamart bulan lalu, tapi saya belum tau pengumumannya sampai sekarang. Emang lombanya gak jelas juga sih. Anyway, daripada cuma menuh-menuhin harddisk laptop, mending saya post di blog.)

0 comments:

Post a Comment