Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 90-an tentu pernah merasakan
bagaimana animo masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Ibukota, dengan
sinetron Si Doel Anak Sekolah. Sinetron dengan latar budaya Betawi yang
bercerita tentang perjuangan Doel dalam menempuh pendidikan tinggi ini sempat
menjadi sinetron yang paling ditunggu kala itu.
Bagi penulis, hal yang menarik dari sinetron tersebut sebenarnya
bukan terletak pada dramanya, tapi pada semangat yang dibawa oleh sang
sutradara, Rano Karno, yang juga merupakan putra Betawi. Rano ternyata sengaja
membuat sinetron ini untuk mengangkat citra Betawi yang selama ini buruk. Salah
satu citra buruk yang beredar di masyarakat tentang Betawi adalah bahwa
masyarakat Betawi kurang berpendidikan.
Meski pahit, citra tersebut memang nyata adanya. Sebagai orang
Betawi yang lahir dan besar dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya juga
beretnis Betawi, penulis sendiri sulit menemukan orang Betawi yang mengenyam
pendidikan tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menyelesaikan jenjang
pendidikan menengah, bahkan tidak sedikit yang terputus pada jenjang pendidikan
dasar.
Hal ini tentu berdampak luas bagi perkembangan kehidupan mereka.
Sebagai kelompok yang tinggal di kota metropolitan, rendahnya pendidikan
tersebut membuat mereka kesulitan bersaing dengan para pendatang yang lebih
terdidik. Bahkan untuk sekedar bertahan hidup pun mereka harus menyiapkan 1001
siasat. Bagi orang Betawi yang masih memiliki kecukupan harta, menjual sebagian
harta benda mungkin bisa dijadikan solusi bertahan hidup sementara. Meskipun
sebenarnya solusi ini jauh dari prinsip efektif karena harta benda yang
dimiliki juga ada batasnya.
Bagi mereka yang hidup pas-pasan, bergabung dengan organisasi
masyarakat kedaerahan tidak jarang dijadikan pilihan. Karena kabar burung
mengatakan bahwa ormas-ormas tersebut memperjuangkan kepentingan mereka.
Sayangnya, burung hanyalah burung. Mereka terlatih hanya untuk membawa berita.
Bukan untuk memvalidasi isi berita tersebut. Ormas yang katanya memperjuangkan
kepentingan orang Betawi itu ternyata tidak jarang justru menjatuhkan martabat
Betawi dengan aksi premanisme, rebutan lahan parkir, dan kerusuhannya. Ironis!
Membangun Pendidikan Betawi
Fenomena ini tentu sangat merugikan dan harus segera disudahi.
Orang Betawi harus di-edukasi agar mereka bisa hidup (survive) di tanah
sendiri tanpa mengharap uluran kasih orang lain. Apalagi dengan memaksa! Akan
tetapi, merubah persepsi orang Betawi terhadap pendidikan tentu tidak semudah
membalik telapak tangan. Perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Untuk
memulai agenda besar tersebut, langkah awal yang perlu ditempuh adalah
merumuskan penyebab rendahnya partisipasi pendidikan mereka.
Hal pertama yang terlintas menjadi sebab rendahnya pendidikan
mereka adalah biaya. Patut diakui bahwa faktor biaya memang seringkali menjadi
batu sandungan bagi kebanyakan orang untuk sekolah atau kuliah. Akan tetapi,
dewasa ini menjadikan biaya sebagai kambing hitam sepertinya sudah terlalu
usang digunakan. Bagaimana tidak usang jika tawaran beasiswa untuk sekolah dan
kuliah, baik dari pemerintah maupun swasta, sudah sangat melimpah? Selain itu,
julukan “tuan tanah” dan “raja kontrakan” yang identik pada orang Betawi juga
mengindikasikan bahwa secara materi mereka sebenarnya berkecukupan. Maka dengan
alasan tersebut, faktor biaya menjadi logis untuk dieliminasi.
Faktor lain yang sangat krusial dan mendasar adalah faktor
kemauan. Atau dalam paradigma psikologi disebut motivasi. Kalau biaya dan
fasilitas pendidikan di Jakarta sudah sangat lengkap, lalu apalagi yang kurang
kalau bukan motivasi dari orang Betawi itu sendiri? Maka agenda besar yang ada
dalam benak penulis ke depan adalah memompa motivasi orang-orang Betawi agar
mereka antusias dengan pendidikan. Strategi yang paling tepat untuk mencapai
tujuan itu tentu bukan dengan beretorika, tapi dengan memberikan bukti berupa
contoh kesuksesan buah dari pendidikan. Orang berpendidikan yang sukses memang
sudah sangat banyak, tapi rasa-rasanya belum banyak yang datang dari kalangan
Betawi. Padahal, contoh dari kalangan sendiri biasanya lebih mengena di hati.
Maka, agenda pertama yang penulis garap adalah membuat diri ini sukses dulu.
Dengan begitu, semoga mata orang-orang Betawi, khususnya yang ada di lingkungan
tempat tinggal penulis, menjadi lebih terbuka sehingga ke depannya membangun
pendidikan lebih mereka dahulukan daripada membangun kontrakan.
(Tulisan di atas pernah saya ikutkan lomba karya tulis Alfamart
bulan lalu, tapi saya belum tau pengumumannya sampai sekarang. Emang lombanya
gak jelas juga sih. Anyway, daripada cuma menuh-menuhin harddisk laptop,
mending saya post di blog.)
0 comments:
Post a Comment