Seorang sahabat pernah
mengisahkan pengalaman ruhaninya kepada saya. Beliau menuturkan bahwa kondisi
ruhani terhebat yang pernah dirasakannya adalah ketika beliau mengerjakan
skripsi. Menurut beliau, stressor yang berat berupa tekanan dari dosen
pembimbing, keinginan untuk segera lulus, dan keruwetan permasalahan skripsi
telah menjatuhkan mentalnya ke lembah terdalam.
Celakanya, di saat beliau sedang sangat
membutuhkan uluran tangan dari orang lain untuk mengangkatnya dari
keterpurukan, ternyata tidak ada satu orang pun yang mengulurkannya. Semua
“pintu” seolah tertutup. Tidak ada “pintu” lain yang terbuka (dan nyatanya
memang selalu terbuka) kecuali Pintunya Allah Ta’ala. Maka kemudian dia pasrahkan
semuanya kepada Rabb-nya, sambil tetap mengikhtiarkan apa yang menjadi
kewajibannya.
Singkat kisah, setelah beliau
pasrahkan semua itu kepada Allah dengan kepasrahan yang total, beliau merasakan
ketenangan yang sangat indah. Meski permasalahan belum selesai, keruwetan belum
terurai, dan garis finish perjuangan skripsi masih belum tergapai, tapi beliau
telah berhasil menemukan “esensi”nya. Esensi dari berbagai permasalahan yang
mendera dan menghimpit hati. Sebuah esensi yang kemudian menuntunnya
mendapatkan a magnificent psychological state.
Well, a magnificent
psychological state itu hanya istilah saya untuk menggambarkan kondisi
ruhani/psikologis yang sangat agung, nyaman, dan adiktif. Agung karena kondisi
ini membuat hati kita merasa sangat dekat dengan Allah. Kondisi jiwa yang
membuat kita sangat merindui-Nya hingga kita sangat siap dan ridho jika harus
dipanggil oleh-Nya. Juga nyaman karena kondisi tersebut sangat menentramkan.
Dan adiktif karena kita akan selalu mencari kondisi yang seperti itu ketika
kita telah kehilangannya.
Hal itu dialami sendiri oleh
teman yang sedang saya ceritakan ini. Setelah beliau mencapai magnificent
psychological state-nya saat mengerjakan skripsi, beliau tidak menemukan
kondisi itu lagi meski telah diusahakan dengan usaha yang tidak bisa dianggap
remeh. Kondisi itu baru kembali hadir ketika beliau mengerjakan tesis. Polanya
sebenarnya sama dengan ketika beliau mengerjakan srkipsi dulu, yakni beliau
berhadap-hadapan dengan beragam tekanan. Meski tekanan itu hadir dengan wajah
yang berbeda, intinya sama saja. Orang psikologinya menyebutnya sebagai
stressor.
Berdasarkan pengalaman teman saya
tersebut dapat disimpulkan bahwa tekanan yang dihadapi ketika mengerjakan tugas
akhir menjadi sarana pengantarnya menuju magnificent psychological state.
Maka, saking adiktifnya “kondisi” itu, tidak heran kalau kemudian dia pernah
berseloroh, “Nanti kalau aku sudah Ph.D, aku mau ambil Post-doc. Aku ingin
merasakan kondisi yang sama ketika aku mengerjakan skripsi dan tesis”.
Entah cuma bercanda atau serius.
Saya sendiri pernah mendapatkan a
magnificent psychological state (versi saya) ketika momen Ramadhan 1436
lalu. Saya mengatakan “versi saya” karena memang kualitas dari kondisi ini berbeda-beda
bagi setiap individu. Kualitas yang kemudian akan terasa sangat “dipaksakan”
jika harus diukur dengan skala/alat ukur yang sering dipakai ilmuwan psikologi.
Saat itu saya merasakan kondisi
psikologis yang juga sangat agung, nyaman, dan adiktif. Tidak pernah saya mendapati
kondisi seperti itu sebelumnya pada diri saya. Bedanya, kalau teman saya mengetahui
apa faktor yang menjadi penghantarnya menuju kondisi tersebut, saya tidak tau
apa yang menjadi musababnya. Tekanan? Saya rasa tidak, karena saat itu saya
sedang tidak memiliki masalah. Well, ada sih masalah, tapi menurut saya
masih bisa ditolerir. Analisis saya, kondisi itu tercipta oleh momen Ramadhan
itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, bulan
Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia dimana hampir semua potensi kebaikan
manusia “mewujud” dalam bulan tersebut. Ya, mewujud. Kalau pada bulan biasa
semua kebaikan itu hanya berupa gagasan/konsep/niat/potensi, pada bulan
Ramadhan semuanya termanifestasikan dalam amal nyata. Maka Ramadhan telah
mereparasi total manusia, dari yang sebelumnya tidak pernah sholat malam
menjadi rajin sholat malam. Dari yang tidak pernah puasa menjadi rajin puasa.
Yang tidak pernah sedekah menjadi sangat ringan tangan. Yang suka mengumbar
aurat, menjadi tertutup rapat. Hingga tidak heran kalau energi Ramadhan sangat
nyata dahsyatnya!
Akan tetapi, analisis tentang
“energi positif” ini ingin cepat-cepat saya sangkal. Saya berharap “energi
positif” bukanlah faktor penghantar saya menuju magnificent psychological
state. Karena kalau memang iya, bahwa “energi positif” adalah konduktor
menuju kondisi tersebut, maka saya akan sangat bersedih hati. Bagaimana tidak,
karena meski dua tempat utama di dunia ini telah saya kunjungi (bahkan tidak
hanya mengunjungi, saya juga menghabiskan beberapa hari saya di dua tempat yang
menjadi pusatnya “energi positif” itu), saya masih belum bisa merasakan magnificent
psychological state yang saya maksud.
Kalau bukan tekanan dan energi
positif, lantas apa?
#Asrama 27
0 comments:
Post a Comment