January 9, 2016

A Magnificent Psychological State


Seorang sahabat pernah mengisahkan pengalaman ruhaninya kepada saya. Beliau menuturkan bahwa kondisi ruhani terhebat yang pernah dirasakannya adalah ketika beliau mengerjakan skripsi. Menurut beliau, stressor yang berat berupa tekanan dari dosen pembimbing, keinginan untuk segera lulus, dan keruwetan permasalahan skripsi telah menjatuhkan mentalnya ke lembah terdalam.

Celakanya, di saat beliau sedang sangat membutuhkan uluran tangan dari orang lain untuk mengangkatnya dari keterpurukan, ternyata tidak ada satu orang pun yang mengulurkannya. Semua “pintu” seolah tertutup. Tidak ada “pintu” lain yang terbuka (dan nyatanya memang selalu terbuka) kecuali Pintunya Allah Ta’ala. Maka kemudian dia pasrahkan semuanya kepada Rabb-nya, sambil tetap mengikhtiarkan apa yang menjadi kewajibannya.

Singkat kisah, setelah beliau pasrahkan semua itu kepada Allah dengan kepasrahan yang total, beliau merasakan ketenangan yang sangat indah. Meski permasalahan belum selesai, keruwetan belum terurai, dan garis finish perjuangan skripsi masih belum tergapai, tapi beliau telah berhasil menemukan “esensi”nya. Esensi dari berbagai permasalahan yang mendera dan menghimpit hati. Sebuah esensi yang kemudian menuntunnya mendapatkan a magnificent psychological state.

Well, a magnificent psychological state itu hanya istilah saya untuk menggambarkan kondisi ruhani/psikologis yang sangat agung, nyaman, dan adiktif. Agung karena kondisi ini membuat hati kita merasa sangat dekat dengan Allah. Kondisi jiwa yang membuat kita sangat merindui-Nya hingga kita sangat siap dan ridho jika harus dipanggil oleh-Nya. Juga nyaman karena kondisi tersebut sangat menentramkan. Dan adiktif karena kita akan selalu mencari kondisi yang seperti itu ketika kita telah kehilangannya.

Hal itu dialami sendiri oleh teman yang sedang saya ceritakan ini. Setelah beliau mencapai magnificent psychological state-nya saat mengerjakan skripsi, beliau tidak menemukan kondisi itu lagi meski telah diusahakan dengan usaha yang tidak bisa dianggap remeh. Kondisi itu baru kembali hadir ketika beliau mengerjakan tesis. Polanya sebenarnya sama dengan ketika beliau mengerjakan srkipsi dulu, yakni beliau berhadap-hadapan dengan beragam tekanan. Meski tekanan itu hadir dengan wajah yang berbeda, intinya sama saja. Orang psikologinya menyebutnya sebagai stressor.

Berdasarkan pengalaman teman saya tersebut dapat disimpulkan bahwa tekanan yang dihadapi ketika mengerjakan tugas akhir menjadi sarana pengantarnya menuju magnificent psychological state. Maka, saking adiktifnya “kondisi” itu, tidak heran kalau kemudian dia pernah berseloroh, “Nanti kalau aku sudah Ph.D, aku mau ambil Post-doc. Aku ingin merasakan kondisi yang sama ketika aku mengerjakan skripsi dan tesis”. Entah cuma bercanda atau serius.

Saya sendiri pernah mendapatkan a magnificent psychological state (versi saya) ketika momen Ramadhan 1436 lalu. Saya mengatakan “versi saya” karena memang kualitas dari kondisi ini berbeda-beda bagi setiap individu. Kualitas yang kemudian akan terasa sangat “dipaksakan” jika harus diukur dengan skala/alat ukur yang sering dipakai ilmuwan psikologi.

Saat itu saya merasakan kondisi psikologis yang juga sangat agung, nyaman, dan adiktif. Tidak pernah saya mendapati kondisi seperti itu sebelumnya pada diri saya. Bedanya, kalau teman saya mengetahui apa faktor yang menjadi penghantarnya menuju kondisi tersebut, saya tidak tau apa yang menjadi musababnya. Tekanan? Saya rasa tidak, karena saat itu saya sedang tidak memiliki masalah. Well, ada sih masalah, tapi menurut saya masih bisa ditolerir. Analisis saya, kondisi itu tercipta oleh momen Ramadhan itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia dimana hampir semua potensi kebaikan manusia “mewujud” dalam bulan tersebut. Ya, mewujud. Kalau pada bulan biasa semua kebaikan itu hanya berupa gagasan/konsep/niat/potensi, pada bulan Ramadhan semuanya termanifestasikan dalam amal nyata. Maka Ramadhan telah mereparasi total manusia, dari yang sebelumnya tidak pernah sholat malam menjadi rajin sholat malam. Dari yang tidak pernah puasa menjadi rajin puasa. Yang tidak pernah sedekah menjadi sangat ringan tangan. Yang suka mengumbar aurat, menjadi tertutup rapat. Hingga tidak heran kalau energi Ramadhan sangat nyata dahsyatnya!

Akan tetapi, analisis tentang “energi positif” ini ingin cepat-cepat saya sangkal. Saya berharap “energi positif” bukanlah faktor penghantar saya menuju magnificent psychological state. Karena kalau memang iya, bahwa “energi positif” adalah konduktor menuju kondisi tersebut, maka saya akan sangat bersedih hati. Bagaimana tidak, karena meski dua tempat utama di dunia ini telah saya kunjungi (bahkan tidak hanya mengunjungi, saya juga menghabiskan beberapa hari saya di dua tempat yang menjadi pusatnya “energi positif” itu), saya masih belum bisa merasakan magnificent psychological state yang saya maksud.

Kalau bukan tekanan dan energi positif, lantas apa? 

#Asrama 27

0 comments:

Post a Comment