January 6, 2016

Sepenggal Kisah TKI di Saudi


Akhir pekan* lalu saya berkesempatan membersamai para TKI untuk melaksanakan umroh. Ada 30 TKI yang berangkat umroh saat itu, semuanya laki-laki. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari supir, waiter, buruh bangunan, kayu, pipa, besi, dan sebagainya. Ada yang sudah tinggal bertahun-tahun di Saudi, ada juga yang baru datang. Sebagian besar masih muda, tapi tak sedikit pula yang sudah berumur (sepuh). 

Ketika tiba sesi sharing, ada beragam kisah yang mereka utarakan, yang membuat saya tertegun gamang. Misalnya ada seseorang bapak yang sudah cukup berumur mengatakan bahwa perjalanan umroh ini sangat menyenangkan karena dengan begitu beliau bisa kumpul bareng dengan orang-orang Indonesia lainnya. Biasanya beliau hanya sendiri di rumah (majikan).

Saya membayangkan, keadaan orangtua di Indonesia yang ditinggal pergi anak-anaknya yang telah dewasa saja sudah begitu kesepian. Sehingga ilmuwan psikologi mengibaratkan keadaan itu seperti sangkar kosong (empty nest). Padahal mereka masih punya tetangga atau kerabat dekat rumah yang bisa diajak ngobrol, setidaknya mereka masih bisa bersosialisasi dengan lingkungan. Lalu bagaimana kondisi psikologis Bapak TKI tersebut? Tiap hari hanya seorang diri di rumah. Kalaupun ada orang lain, mereka adalah majikannya dan memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dengan beliau.

Saya juga membayangkan kondisi TKI yang sebagian sudah berumur (sepuh). Ketika orangtua lain yang seusia dengan mereka sedang menikmati masa tuanya dengan anak-cucu, menghabiskan sisa usianya dengan mengenang masa-masa kejayaan, dan berkelakar bersama teman “seangkatan” tentang kehidupan mereka di masa muda, mereka justru harus merantau ke negeri yang beribu-ribu kilometer jauhnya untuk menjaga dapur mereka tetap mengepul. Dan umumnya mereka seorang diri di sini, tidak ada keluarga yang menyertai.

Di lain kisah, ada juga sebagian kecil dari mereka yang diperkenankan membawa keluarganya kemari. Tetapi sayangnya hanya istri yang boleh diboyong, sedangkan anak-anak mereka tetap tinggal di Indonesia. Umumnya mereka dititipkan kepada keluarga terdekat, entah itu orangtua, saudara, atau kerabat lainnya. Hal ini tentu membawa permasalahan sendiri karena biar bagaimanapun orangtua adalah sumber cinta dan kasih sayang utama bagi anak-anak. Absennya pendidikan dan kasih sayang dari kedua orangtua pasti memiliki dampak psikologis sendiri. Terlebih mereka juga umumnya jarang pulang ke Indonesia.

Belakangan pemerintah RI menerapkan kebijakan embargo yang mengakibatkan penurunan jumlah TKI di Arab Saudi. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa dahulu ketika sedang jaya (maksudnya ketika jumlah TKI menjadi mayoritas di sini), para TK Indonesia cukup disegani oleh TK dari negara lain. Tapi kini ketika jumlah mereka mengalami penurunan, mereka sering tertekan oleh TK dari negara lain. Sering dimarahi dan diintimidasi. Sehingga tidak jarang terjadi kasus TKI yang kabur dari tempat kerjanya karena merasa tidak cocok dan tidak betah.

Berbagai stressor yang diterima para TKI di sini menurut saya sudah cukup berat. Kalau diteliti mungkin akan ada banyak symptom gangguan psikologis yang ditemui. Tapi karena tuntutan kebutuhan yang sangat mendasar, mereka harus rela berhadap-hadapan dengan berbagai stressor tersebut. Kalau saja para penguasa di tanah air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, tentu rakyat tidak perlu repot-repot turun-naik gunung menjemput kesejahteraan mereka.

*akhir pekan di Saudi adalah hari Jum’at dan Sabtu


#Asrama 27

0 comments:

Post a Comment