Akhir pekan* lalu saya
berkesempatan membersamai para TKI untuk melaksanakan umroh. Ada 30 TKI yang
berangkat umroh saat itu, semuanya laki-laki. Pekerjaan mereka beragam, mulai
dari supir, waiter, buruh bangunan, kayu, pipa, besi, dan sebagainya. Ada yang
sudah tinggal bertahun-tahun di Saudi, ada juga yang baru datang. Sebagian
besar masih muda, tapi tak sedikit pula yang sudah berumur (sepuh).
Ketika tiba sesi sharing, ada
beragam kisah yang mereka utarakan, yang membuat saya tertegun gamang. Misalnya
ada seseorang bapak yang sudah cukup berumur mengatakan bahwa perjalanan umroh
ini sangat menyenangkan karena dengan begitu beliau bisa kumpul bareng dengan
orang-orang Indonesia lainnya. Biasanya beliau hanya sendiri di rumah
(majikan).
Saya membayangkan, keadaan
orangtua di Indonesia yang ditinggal pergi anak-anaknya yang telah dewasa saja
sudah begitu kesepian. Sehingga ilmuwan psikologi mengibaratkan keadaan itu
seperti sangkar kosong (empty nest). Padahal mereka masih punya tetangga
atau kerabat dekat rumah yang bisa diajak ngobrol, setidaknya mereka masih bisa
bersosialisasi dengan lingkungan. Lalu bagaimana kondisi psikologis Bapak TKI
tersebut? Tiap hari hanya seorang diri di rumah. Kalaupun ada orang lain, mereka
adalah majikannya dan memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dengan beliau.
Saya juga membayangkan kondisi
TKI yang sebagian sudah berumur (sepuh). Ketika orangtua lain yang seusia
dengan mereka sedang menikmati masa tuanya dengan anak-cucu, menghabiskan sisa
usianya dengan mengenang masa-masa kejayaan, dan berkelakar bersama teman “seangkatan”
tentang kehidupan mereka di masa muda, mereka justru harus merantau ke negeri
yang beribu-ribu kilometer jauhnya untuk menjaga dapur mereka tetap mengepul.
Dan umumnya mereka seorang diri di sini, tidak ada keluarga yang menyertai.
Di lain kisah, ada juga sebagian
kecil dari mereka yang diperkenankan membawa keluarganya kemari. Tetapi
sayangnya hanya istri yang boleh diboyong, sedangkan anak-anak mereka tetap tinggal
di Indonesia. Umumnya mereka dititipkan kepada keluarga terdekat, entah itu
orangtua, saudara, atau kerabat lainnya. Hal ini tentu membawa permasalahan
sendiri karena biar bagaimanapun orangtua adalah sumber cinta dan kasih sayang
utama bagi anak-anak. Absennya pendidikan dan kasih sayang dari kedua orangtua
pasti memiliki dampak psikologis sendiri. Terlebih mereka juga umumnya jarang
pulang ke Indonesia.
Belakangan pemerintah RI menerapkan
kebijakan embargo yang mengakibatkan penurunan jumlah TKI di Arab Saudi. Salah
seorang dari mereka mengatakan bahwa dahulu ketika sedang jaya (maksudnya
ketika jumlah TKI menjadi mayoritas di sini), para TK Indonesia cukup disegani
oleh TK dari negara lain. Tapi kini ketika jumlah mereka mengalami penurunan,
mereka sering tertekan oleh TK dari negara lain. Sering dimarahi dan
diintimidasi. Sehingga tidak jarang terjadi kasus TKI yang kabur dari tempat
kerjanya karena merasa tidak cocok dan tidak betah.
Berbagai stressor yang diterima
para TKI di sini menurut saya sudah cukup berat. Kalau diteliti mungkin akan
ada banyak symptom gangguan psikologis yang ditemui. Tapi karena tuntutan
kebutuhan yang sangat mendasar, mereka harus rela berhadap-hadapan dengan berbagai
stressor tersebut. Kalau saja para penguasa di tanah air mampu memberikan
kesejahteraan kepada rakyatnya, tentu rakyat tidak perlu repot-repot turun-naik
gunung menjemput kesejahteraan mereka.
*akhir pekan di Saudi adalah hari
Jum’at dan Sabtu
#Asrama 27
0 comments:
Post a Comment