Setelah mengikuti kuliah Qiro’ah
Muwassa’ah dengan kitab Qoshoshun Nabiyin sebagai kitab acuannya,
saya merasa memiliki pemahaman yang lebih integratif tentang kisah para nabi.
Pada pertemuan terakhir misalnya, kami sedang membahas kisah Nabi Musa. Sebenarnya,
kisah ini belum selesai kami bahas karena begitu panjangnya, di Al-Qur’an
sendiri kisah Nabi Musa menjadi kisah terpanjang diantara para nabi. Tapi
walaupun belum selesai dibahas, saya akan sedikit mengulas kisah tersebut
disini.
Penulis kitab Qoshoshun
Nabiyin, Abu Ali An-Nadwi, mengawali kisah dengan menceritakan bahwa Nabi
Yusuf, setelah diangkat menjadi bendaharawan Mesir, mengajak semua keluarganya
untuk hijrah kesana. Beliau merasa tidak nyaman hidup sendirian di Mesir. Oleh
karena itu, diundanglah Nabi Ya’qub (Bapaknya Yusuf), Ibunya Yusuf, dan ke-sebelas
saudaranya untuk berkumpul bersama beliau di Mesir. Sebelumnya mereka tinggal
di Negeri Kan’an atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syam (meliputi wilayah Palestina,
Suriah, Yordania, dan Libanon).
Singkat cerita, mereka hijrah ke
Mesir dan membangun kehidupan selama berpuluh tahun disana. Mereka dicintai dan
dihormati oleh warga Mesir karena Nabi Yusuf memiliki akhlak yang mulia dan
menjadi “penyelamat” berkat takwil mimpinya yang melegenda. Keturunan-keturunan
dari Nabi Ya’qub ini selanjutnya disebut sebagai Bani Israil. Israil adalah
nama lain dari Ya’qub. Mereka berbeda dengan penduduk asli Mesir yang disebut
sebagai Kaum Qibthi.
Nah, permasalahan bermula ketika
para tetua Bani Israil telah wafat. Dimulai dari Nabi Ya’qub, kemudian disusul
oleh Nabi Yusuf. Setelah waktu yang panjang, terjadi perubahan pada Bani
Israil. Mereka mulai meninggalkan dakwah kepada Allah dan sibuk memikirkan
dunia sampai akhirnya tibalah masa dimana Fir’aun menjadi penguasa Mesir.
Ketika Fir’aun berkuasa di Mesir
dan mendeklarasikan diri sebagai Tuhan, ada seorang ahli nujum (kahin
atau tukang ramal) yang meramalkan bahwa akan datang seseorang laki-laki di
masa depan yang akan menjatuhkan kerajaannya. Mendengar ramalan ini, Fir’aun
ketakutan. Dia kemudian memerintahkan bawahannya untuk membunuh semua bayi yang
lahir dari Bani Israil. Fir’aun hanya membunuh bayi laki-laki dari Bani Israil
dan tidak membunuh bayi laki-laki dari Kaum Qibthi karena menurut tukang ramal,
laki-laki perebut kekuasaan Fir’aun itu berasal dari Bani Israil.
Kebijakan Fir’aun itu berlangsung
cukup panjang hingga akhirnya para penasihat kerajaan mulai khawatir akan
hilangnya generasi yang akan membantu pemerintahan. Kekhawatiran ini
disampaikan kepada Fir’aun. Kekhawatiran yang sangat logis dan berdasar ini
pada akhirnya merubah kebijakan awal. Kalau semula Fir’aun membunuh habis bayi
laki-laki yang lahir dari Bani Israil, setelah adanya masukan dari penasihat
ini, Fir’aun membunuh mereka dengan waktu yang berselang-seling. Setahun
membunuh. Setahun membiarkan. Artinya, kalau ada bayi laki-laki yang lahir di
tahun ini, dia akan dibunuh dan dia akan membiarkan hidup bayi yang lahir di
tahun depan. Begitulah kebijakan barunya.
Kebijakan baru itu sedikit
memberi angin sejuk bagi Bani Israil. Setidaknya harapan untuk memiliki bayi
laki-laki sebagai penerus generasi tidak hilang sama sekali. Meski demikian,
hal itu tidak mengurangi kekhawatiran para orangtua, terutama kaum ibu, karena
mereka tidak bisa memprediksi bayi dengan jenis kelamin apa yang akan terlahir
nanti pada tahun pembunuhan. Kalau dia berjenis laki-laki, maka pengorbanan
mereka selama sembilan bulan dan pertaruhan hidup-mati mereka ketika melahirkan
akan menjadi sia-sia.
Kekhawatiran yang serupa juga
dialami oleh istri dari Imron, yang kelak menjadi Ibunda Nabi Musa. Beliau saat
itu hamil bertepatan dengan tahun pembunuhan. Dan ketika tiba waktunya melahirkan,
beliau menjadi semakin ketakutan karena yang terlahir ternyata laki-laki, yaitu
Musa.
Di bawah kecemasan dan ketakutan
tersebut, Ibunda Musa masih sempat merawat Musa kecil selama tiga bulan tanpa
sepengetahuan Fir’aun. Akan tetapi beliau sadar, cepat atau lambat Fir’aun akan
mengetahuinya dan beliau tidak mau melihat putra kesayangannya disembelih di
depan matanya. Melalui ilham dari Allah, beliau akhirnya menempatkan Musa kecil
dalam sebuah kotak dan menghanyutkannya di Sungai Nil.
وأوحينا إلى أم موسى أن أرضعيه فإذا خفت عليه فألقيه في اليم ولا تخافي
ولا تحزني إنا رادوه إليك وجاعلوه من المرسلين
Salah satu sisi sungai Nil (sumber : dok. pribadi) |
Dan Kami ilhamkan kepada ibu
Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka
jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah
(pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu,
dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul (Surat Al-Qashash (28) : 7).
Hikmah
Walaupun kisah Nabi Musa belum
selesai kami baca dan bahas, tapi setidaknya sudah ada dua hikmah yang tercetus
dalam pikiran saya. Pertama, tentang pentingnya nasab atau garis keturunan. Dalam
kisah Nabi Musa, keturunan Nabi Yaqub dapat teridentifikasi dengan jelas karena
mereka memiliki nama umum, yaitu Bani Israil. Di kalangan bangsa Arab, kita
juga mengetahui bahwa nama seseorang sering dinisbatkan pada nama ayah atau
anaknya. Misal, Abu Ismail, yang berarti Bapaknya Ismail. Atau Ibnu Ibrahim,
yang berarti Anaknya Ibrahim.
Penisbatan nama ayah atau anak pada
nama seseorang (atau sering disebut nama kun’yah) membuat statusnya menjadi
jelas, dari keluarga mana dia berasal. Jika mengacu pada perspektif sosial, menurut
saya budaya ini sangat penting karena dapat mencegah, atau setidaknya meminimalisir,
terjadinya kelahiran “anak tidak berbapak”. Seperti yang kita ketahui, zaman
sekarang ini banyak anak yang terlahir dengan status yang tidak jelas siapa
orangtuanya karena hubungan haram yang dilakukan di luar nikah.
Nah, budaya penisbatan nama ayah
atau anak ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan hubungan
haram karena sanksi sosial yang mereka dapatkan akan sangat berat jika kelak terlahir
seorang anak dari hubungan haramnya itu. Baik si anak maupun si bapak tidak
akan saling bisa menisbatkan nama mereka (duh, agak muter-muter, semoga dapat
dipahami). Ingat, ini baru bicara perspektif sosial, hubungan antara manusia
dengan manusia, belum bicara hubungan manusia dengan Tuhannya (perspektif
agama).
Hikmah kedua yang terlintas dalam
pikiran saya adalah tentang kemahasempurnaan skenario Allah subhanahu wa ta’ala.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, sebelum Musa kecil dihanyutkan di
sungai Nil, Bunda Musa menyempatkan diri merawat Musa selama tiga bulan. Allah
kemudian memberikan jobdesc yang lebih spesifik lagi kepada beliau,
yaitu dengan memerintahkannya menyusui Musa, seperti pada surat Al-Qashash
ayat tujuh yang saya kutip di atas.
Dalam ilmu psikologi, ada istilah
kelekatan (attachment) antara bayi dengan figur lekat. Kepada siapa bayi
melekatkan dirinya akan sangat tergantung pada siapa figur lekat yang ia dapati
di awal kehidupannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kaum ibu untuk
menyusui dan membersamai bayinya sejak awal kelahiran.
Nah, ketika Musa kecil nantinya
diambil oleh istri Fir’aun, ternyata tidak ada satupun kaum wanita yang dapat
menyusuinya. Musa sama sekali tidak mau menyusu kepada mereka. Dia terus
menangis sampai akhirnya nanti ia dipertemukan dengan ibunya, barulah ia mau
menyusu. Allahu Akbar. Walaupun baru tiga bulan disusui, tapi Musa telah
memiliki kelekatan yang sangat kuat kepada ibunya.
Allah menepati janjinya kepada
Bunda Musa bahwa Dia akan mengembalikan Musa padanya. Ini merupakan karunia bagi
beliau karena setelah menghanyutkan anaknya ke sungai, hati beliau seperti
kosong (emotionally paralyzed). Yah, ibu mana yang tidak gamang melihat
bayinya yang masih merah hanyut di sungai? Saya rasa semua ibu akan merasakan
hal itu.
#InsyaAllahBersambung
#Asrama 27 King Saud University,
Riyadh
0 comments:
Post a Comment