Saya tidak bisa menyembunyikan
kegelisahan saya terkait ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017
mendatang. Gelisah karena cagub petahana yang ada memiliki ideologi yang sangat
bersebrangan dengan ideologi umat muslim. Dan celakanya dia dicitrakan masif
sekali di media. Propaganda media untuk meninggikan namanya amat sangat gencar,
mulai dari televisi, berita di koran dan internet, sampai media sosial.
Saya khawatir kejadian Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 kembali terulang dimana Pak Jokowi berhasil mengalahkan
Pak Prabowo, meski menurut saya secara kompetensi kepemimpinan Pak Prabowo tidak
layak kalah. Tapi karena “modal media” yang dimiliki Pak Prabowo tidak lebih
besar daripada Pak Jokowi, maka jabatan presiden tidak berhasil diperolehnya.
Saat itu hampir semua media
mainstream, baik cetak maupun digital, mendukung Pak Jokowi. Pencitraan
besar-besaran mereka lakukan demi meninggikan nama beliau. Publik disodorkan
kisah kepahlawanan Pak Jokowi sepanjang hari, berulang-ulang dari pagi, siang,
sore, malam sampai bertemu pagi lagi. Dan itu sangat efektif untuk membentuk
dan menggiring opini publik.
Seperti yang kita tahu bahwa kekuatan
media di era digital seperti sekarang ini teramat sangat luar biasa. Mereka dapat
mengemas kotoran menjadi berlian. Dapat pula menjebloskan orang jujur ke
penjara dan sebaliknya, membebaskan penjahat dari hukuman. Bahkan mereka juga bisa
menaikkan dan menurunkan seorang presiden atau kepala negara seperti yang banyak
terjadi di berbagai belahan dunia. Nah, kalau pekerjaan yang berskala
internasional saja bisa mereka lakukan, apalagi kalau skalanya hanya provinsi?
Saat ini framing yang media
lakukan untuk cagub petahana DKI Jakarta sudah sangat kentara. Keberpihakan
mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Artinya bisa dikatakan “modal media”
yang dimiliki cagub petahana sudah mengungguli cagub manapun. Belum lagi cyber
corps yang berseliweran di media sosial, yang siap mengkritik, menghujat, dan
mengintimidasi siapapun yang memberikan komentar negatif kepada cagub petahana.
Rasanya sangat mengerikan jika melihat besarnya “modal media” yang dia miliki.
Kengerian itu semakin menjadi
ketika membaca postingan teman saya di group Whatsapp. Dalam postingan itu
dikatakan bahwa Ustadz Yusuf Mansur akan ikut meramaikan Pilgub DKI dengan mengatakan
siap maju menjadi cawagub. Begitu membaca postingan itu, seketika tercetus
dalam pikiran saya, “Sudah begitu tak tertandinginya kah cagub petahana hingga
beliau (Ustadz YM) harus terjun langsung dalam perhelatan?”
Jawaban dari pertanyaan itu langsung
saya dapatkan dari postingan yang sama dimana dalam postingan tersebut Dr.
Adian Husaini berkomentar: “Kalau Yusuf Mansur benar-benar terjun ke kancah
Pilgub DKI, hampir pasti itu karena desakan yang sangat hebat dari para ulama
dan tokoh masyarakat Jakarta.”
Ah, rupanya para ulama pun
khawatir dengan power yang dimiliki cagub petahana sekaran ini. Umat Islam akan
menghadapi pertarungan yang sangat dahsyat. Kalau saja Ustadz YM benar-benar
turun gunung menjadi cawagub dan kemudian kalah, maka bisa diartikan DKI
Jakarta berada dalam status darurat ketauhidan. Well, sekarang pun sebenarnya kondisinya
sudah gawat karena banyak orang muslim yang dengan bangga berkampanye untuk
cagub petahana. Tapi hasil Pilgub DKI 2017 akan memperjelas kondisinya, apakah kondisi
ketauhidan warga Jakarta cukup gawat, gawat, atau sangat gawat?
#Asrama 27 King Saud University,
Riyadh
0 comments:
Post a Comment