Hampir genap dua semester saya
belajar Bahasa Arab. Menjalani program intensif tiap harinya. Berusaha
meleburkan diri dalam pergaulan internasional demi melatih kefasihan dalam
berbicara. Tapi rasa-rasanya kemajuan yang dicapai masih belum sesuai yang
diharapkan.
Dari keempat skill yang
diperlukan dalam belajar bahasa, speaking, listening, writing, dan reading,
rasa-rasanya belum ada satu skill pun yang bisa saya banggakan. Dalam hal speaking,
jelas masih banyak yang harus dikoreksi. Kesalahan-kesalahan mendasar, seperti
memasangkan jenis kata feminim dengan maskulin, masih sering terjadi. Begitu
pula dengan listening skill yang masih sangat kentara kekurangannya. Word
missing masih sering saya alami ketika mendengarkan kuliah dosen. Padahal
materi yang disampaikan masih sederhana, seputar tema umum yang sering muncul
dalam kehidupan.
Kemampuan writing pun
setali tiga uang. Meski sudah mulai terbiasa menuliskan huruf hijaiyah, tapi kengacoan
saya mengganti satu huruf dengan huruf lainnya masih sering terjadi. Misalnya
mengganti huruf hamzah dengan huruf ‘ain dalam kata ta’tiiy
(arti: kamu datang). Pun demikian dengan kemampuan reading. Saya lebih
sering mengernyitkan dahi kalau disuruh baca kitab gundul.
Kalau kondisi ini dibiarkan
berlarut, tentu modal Bahasa Arab saya untuk belajar di jenjang pasca sarjana
nanti akan sangat kurang. Sudah semestinya saya memangkas waktu istirahat.
Menambah lagi porsi ikhtiyar dan munajat. Serta yang tidak kalah penting,
mengobarkan kembali api semangat.
Ah ya, belakangan ini memang saya
seperti mengalami kejumudan. Kuliah intensif empat jam sehari, lima hari
seminggu. Ditambah beban tugas serta tambahan kuliah di luar jam tersebut
selama delapan bulan terakhir akhirnya mengantarkan saya pada kondisi itu.
Lelah disertai bosan kadang datang karena aktivitas yang repetitif, mengingat sudah
lama sekali saya tidak melakukan rutinitas yang seperti ini.
Ya, terakhir kali saya melakukan aktivitas
seperti ini kan ketika masih berseragam sekolah. Di bangku kuliah saya sudah
tidak merasakan ini karena memang jam kuliah biasanya tidak full. Kadang cuma
satu atau dua matakuliah saja sehari. Bahkan sering pula tidak ada kuliah seharian
penuh. Saat itu sepertinya keberadaan hari libur sama dengan tidak adanya. Ada,
namun apalah artinya. Toh, jadwal kuliahnya juga jarang-jarang.
Berbeda sekali dengan kondisi sekarang.
Pengumuman libur dari Kementrian Pendidikan malam hari sebelum kuliah rasanya
sangat menggirangkan hati. Pulang lebih cepat karena dosen berhalangan mengajar
sudah bisa menghadirkan keceriaan sendiri. Yah, kurang lebih sama lah
cerianya ketika anak SD pulang lebih awal karena gurunya rapat.
Dan satu hal yang melipatgandakan
kejumudan saya adalah karena jadwal liburan musim panas yang sudah di depan
mata. Perlu diketahui, kampus saya yang baik ini selalu memberikan tiket pp liburan
ke negara asal setiap kali libur musim panas. Dan dengan waktu libur yang hanya
tinggal sebulan lagi itu, pikiran saya dengan egoisnya sudah jauh terbang duluan
ke Indonesia meninggalkan jasad ini di tengah gegurunan. Lalu dihadirkan pula
rasa rindu yang berupa-rupa.
Rindu dengan romantisme lengkingan
suara (tukang) putu di tengah gerimis yang baru merintik. Rindu dengan koor musik
tukang siomay yang konsisten melintas di penghujung senja. Rindu dengan cengkrama
ketuk kayu tukang bakso malang yang setia mengisi malam. Ah, dimana lagi saya
bisa dapatkan hal itu kalau bukan di Indonesia?
#Asrama 27 King Saud University,
Riydah
0 comments:
Post a Comment