Satu hambatan yang paling saya
rasakan keberadaannya bagi perkembangan ilmu psikologi di Indonesia adalah
kurangnya aplikasi ilmu tersebut di masyarakat. Dari pengamatan pribadi, saya
mendapati bahwa ilmu psikologi masih mengawang-awang di mega, belum turun
membumi, apalagi menyentuh akar rumput. Psikolog, sebagai representasi dari
keilmuan psikologi, masih identik dengan profesi yang melayani golongan menengah
ke atas. Bukan mereka yang ada di bawah.
Ada dua asumsi yang terlintas
dalam benak saya atas hal ini. Pertama, karena golongan menengah ke atas lebih
rentan secara psikologis. Asumsi kedua, karena golongan menengah ke bawah
memiliki hambatan psikologis tersendiri kepada psikolog.
Asumsi pertama segera saya
eliminasi karena tidak didasarkan atas argumen dan teori yang kokoh. Asumsi itu
dibangun hanya berdasarkan logika sederhana yang ngawur dan asal-asalan, yang
berbunyi:
Orang yang memiliki masalah psikologis akan datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering memiliki masalah psikologis
Golongan menengah ke bawah jarang datang ke psikolog
Golongan menengah ke bawah jarang
memiliki masalah psikologis
Faktanya tentu tidak sesederhana
itu. Intensitas seseorang datang ke psikolog tidak bisa dijadikan indikator
banyak-sedikitnya masalah psikologis yang ia hadapi. Bisa jadi golongan
menengah ke bawah jarang datang ke psikolog karena memilliki hambatan-hambatan,
yang kemudian membawa kita pada asumsi kedua.
Hambatan-hambatan yang saya
maksud sangat beragam jenisnya, misalnya hambatan berupa stereotip yang beredar
di masyarakat tentang ilmu psikologi. Bahwa ilmu psikologi adalah ilmu tentang
kejiwaan sehingga orang yang datang ke psikolog berarti memiliki masalah
kejiwaan. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa pandangan seperti itu adalah
pandangan dari orang yang berpikiran sempit. Tetapi tiada guna mengungkapkan
hal demikian. Bukankah lebih bijak menyalakan lilin daripada merutuki kegelapan
yang menyelimuti? Daripada merutuki orang berpandangan sempit, mengapa tidak
kita luaskan saja pandangannya?
Hambatan lainnya adalah hambatan
ekonomi. Masyarakat umum masih menilai bahwa psikologi adalah barang yang
mewah. Sayangnya meski “terkesan” mewah, barang ini tidak kasat mata sehingga
sulit menelusuri manfaatnya bagi manusia. Ketidakmampuan manusia melihat
psikologi membuat mereka enggan untuk berinvestasi demi kesejahteraan
psikologisnya.
Komersialisasi Psikologi
Ketidakmampuan manusia menelusuri
manfaat psikologi yang tak kasat mata itu diperparah dengan perspektif keliru
para pelaku psikologi tentang psikologi itu sendiri. Para pelaku psikologi,
baik itu psikolog, konselor, tester, maupun para pelaku psikologi lainnya
sering menjadikan psikologi sebagai sapi perah dimana mereka bisa memperoleh
susu darinya. Psikologi dikomersialisasi dan dijadikan tumpuan hidup mereka.
Padahal sejatinya ilmu psikologi merupakan pengabdian. Tugas psikolog sebenarnya
serumpun dengan tugas ustadz, yaitu membantu masyarakat mencapai kesejahteraan
psikologis. Dan bukankah kesejahteraan psikologis hanya bisa dicapai apabila
manusia ingat kepada Allah?
ألا بذكر الله تطمئن
القلوب
“…Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d : 28)
Apabila kita siap menjadi pelaku
psikologi (terlebih psikolog), berarti kita siap menjadi seorang ustadz.
Mengomersialisasi tugas sebagai seorang psikolog berarti mengomersialisasi
tugas sebagai seorang ustadz. Apakah sampai hati kita melakukan hal demikian? Lalu
apa bedanya kita dengan ustadz selebriti yang sering kita kritik itu?
Pembahasan mengenai psikolog =
ustadz ini insyaallah akan saya paparkan di satu tulisan tersendiri. Dalam
tulisan ini, saya lebih memaparkan pandangan saya tentang “komersialisasi”
(mungkin terdengar agak kasar) psikologi.
Saya sendiri pernah diajak
menjadi “agen penjual jasa psikologi”. Tugasnya sederhana, yaitu mencari klien
pengguna jasa psikologi. Hanya dengan tugas sampingan itu, saya sudah mendapat
pemasukan yang bisa dibilang lumayan. Akan tetapi, batin saya ricuh mengomentari.
Ia tidak senang dengan “pekerjaan sampingan” itu karena menurutnya hal itu akan
semakin menjauhkan masyarakat dengan psikologi. Citra yang berkembang di
masyarakat bahwa psikologi hanya untuk kaum menengah keatas akan semakin
menjadi. Dan hal ini tidak baik bagi perkembangan kebermanfaatan keilmuan
psikologi di Indonesia.
Ah, saya teringat dengan sabda
Rasulullah saw yang mulia: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi orang lain. Kalau setiap jasa psikologi yang kita berikan dipatok harga
sekian dan sekian (yang mana jumlahnya tidak sedikit), niscaya akan semakin
sedikit manusia yang mengambil manfaatnya. Kalau kebermanfaatan ilmu psikologi
bagi umat tidak bisa kita maksimalkan, lalu bagaimana kita meraih kedudukan menjadi
sebaik-baik manusia seperti yang Rasulullah saw sabdakan?
0 comments:
Post a Comment