November 19, 2013

Membumikan Psikologi


Satu hambatan yang paling saya rasakan keberadaannya bagi perkembangan ilmu psikologi di Indonesia adalah kurangnya aplikasi ilmu tersebut di masyarakat. Dari pengamatan pribadi, saya mendapati bahwa ilmu psikologi masih mengawang-awang di mega, belum turun membumi, apalagi menyentuh akar rumput. Psikolog, sebagai representasi dari keilmuan psikologi, masih identik dengan profesi yang melayani golongan menengah ke atas. Bukan mereka yang ada di bawah.

Ada dua asumsi yang terlintas dalam benak saya atas hal ini. Pertama, karena golongan menengah ke atas lebih rentan secara psikologis. Asumsi kedua, karena golongan menengah ke bawah memiliki hambatan psikologis tersendiri kepada psikolog.

Asumsi pertama segera saya eliminasi karena tidak didasarkan atas argumen dan teori yang kokoh. Asumsi itu dibangun hanya berdasarkan logika sederhana yang ngawur dan asal-asalan, yang berbunyi:

Orang yang memiliki masalah psikologis akan datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering datang ke psikolog
Golongan menengah ke atas sering memiliki masalah psikologis

Golongan menengah ke bawah jarang datang ke psikolog
Golongan menengah ke bawah jarang memiliki masalah psikologis

Faktanya tentu tidak sesederhana itu. Intensitas seseorang datang ke psikolog tidak bisa dijadikan indikator banyak-sedikitnya masalah psikologis yang ia hadapi. Bisa jadi golongan menengah ke bawah jarang datang ke psikolog karena memilliki hambatan-hambatan, yang kemudian membawa kita pada asumsi kedua.

Hambatan-hambatan yang saya maksud sangat beragam jenisnya, misalnya hambatan berupa stereotip yang beredar di masyarakat tentang ilmu psikologi. Bahwa ilmu psikologi adalah ilmu tentang kejiwaan sehingga orang yang datang ke psikolog berarti memiliki masalah kejiwaan. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa pandangan seperti itu adalah pandangan dari orang yang berpikiran sempit. Tetapi tiada guna mengungkapkan hal demikian. Bukankah lebih bijak menyalakan lilin daripada merutuki kegelapan yang menyelimuti? Daripada merutuki orang berpandangan sempit, mengapa tidak kita luaskan saja pandangannya?

Hambatan lainnya adalah hambatan ekonomi. Masyarakat umum masih menilai bahwa psikologi adalah barang yang mewah. Sayangnya meski “terkesan” mewah, barang ini tidak kasat mata sehingga sulit menelusuri manfaatnya bagi manusia. Ketidakmampuan manusia melihat psikologi membuat mereka enggan untuk berinvestasi demi kesejahteraan psikologisnya.

Komersialisasi Psikologi
Ketidakmampuan manusia menelusuri manfaat psikologi yang tak kasat mata itu diperparah dengan perspektif keliru para pelaku psikologi tentang psikologi itu sendiri. Para pelaku psikologi, baik itu psikolog, konselor, tester, maupun para pelaku psikologi lainnya sering menjadikan psikologi sebagai sapi perah dimana mereka bisa memperoleh susu darinya. Psikologi dikomersialisasi dan dijadikan tumpuan hidup mereka. Padahal sejatinya ilmu psikologi merupakan pengabdian. Tugas psikolog sebenarnya serumpun dengan tugas ustadz, yaitu membantu masyarakat mencapai kesejahteraan psikologis. Dan bukankah kesejahteraan psikologis hanya bisa dicapai apabila manusia ingat kepada Allah?

ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d : 28)

Apabila kita siap menjadi pelaku psikologi (terlebih psikolog), berarti kita siap menjadi seorang ustadz. Mengomersialisasi tugas sebagai seorang psikolog berarti mengomersialisasi tugas sebagai seorang ustadz. Apakah sampai hati kita melakukan hal demikian? Lalu apa bedanya kita dengan ustadz selebriti yang sering kita kritik itu?

Pembahasan mengenai psikolog = ustadz ini insyaallah akan saya paparkan di satu tulisan tersendiri. Dalam tulisan ini, saya lebih memaparkan pandangan saya tentang “komersialisasi” (mungkin terdengar agak kasar) psikologi.

Saya sendiri pernah diajak menjadi “agen penjual jasa psikologi”. Tugasnya sederhana, yaitu mencari klien pengguna jasa psikologi. Hanya dengan tugas sampingan itu, saya sudah mendapat pemasukan yang bisa dibilang lumayan. Akan tetapi, batin saya ricuh mengomentari. Ia tidak senang dengan “pekerjaan sampingan” itu karena menurutnya hal itu akan semakin menjauhkan masyarakat dengan psikologi. Citra yang berkembang di masyarakat bahwa psikologi hanya untuk kaum menengah keatas akan semakin menjadi. Dan hal ini tidak baik bagi perkembangan kebermanfaatan keilmuan psikologi di Indonesia.

Ah, saya teringat dengan sabda Rasulullah saw yang mulia: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Kalau setiap jasa psikologi yang kita berikan dipatok harga sekian dan sekian (yang mana jumlahnya tidak sedikit), niscaya akan semakin sedikit manusia yang mengambil manfaatnya. Kalau kebermanfaatan ilmu psikologi bagi umat tidak bisa kita maksimalkan, lalu bagaimana kita meraih kedudukan menjadi sebaik-baik manusia seperti yang Rasulullah saw sabdakan?

# Wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment