Tidak lengkap rasanya jika tidak
membicarakan sisi akademik di kehidupan seorang akademisi (aseeek). Dan tahun
lalu menjadi tahun paling bergejolak dalam kehidupan saya selama menjadi
akademisi (baca: pembelajar). Saking bergejolaknya, saya sampai merasa mual.
Sampai-sampai sempat terlintas dalam pikiran saya untuk segera mengakhiri semua
ini. Maksudnya, cukuplah saya akhiri pendidikan saya di jenjang S1, tidak usah
nambah seperti yang saya citakan.
Bahkan pernah juga terpikir untuk
meninggalkan sementara skripsi saya dan beralih ke kerja. Tapi beruntung
pikiran-pikiran itu hanya selintas. Dan yang namanya lintasan, kehadirannya tentu
hanya sesaat, tidak pernah permanen. Juga tidak mengendap di otak. Dan yang
terpenting tidak menyabotase cita-cita saya untuk kuliah lagi :)
Well, gejolak akademik itu
dimulai bulan Desember. Saat itu saya benar-benar “kehabisan akal” menghadapi
Dosen Pembimbing Skripsi (DPS). Buntut habisnya akal itu adalah saya ingin
meminta cerai (baca: ingin ganti DPS). Masalahnya, DPS ini rada-rada killer.
Bahkan boleh disebut serial killer jika tidak berlebihan. Untuk minta
cerai, saya harus punya mental tangguh. Dan mental tangguh itu saya rasa ada
dalam diri Si Pitung. Syukurlah Pitung tidak mengecewakan. Saya sukses meminta
cerai dan akhirnya diceraikan oleh DPS saya.
Gejolak tidak berhenti di situ.
Konsekuensi logis yang harus saya tanggung dari permintaan cerai itu adalah saya
harus melakukan penelitian ulang. Beruntung DPS saya yang baru lebih
“kooperatif” sehingga walau melakukan penelitian ulang, prosesnya berjalan
sangat cepat. Bahkan seorang kawan berujar, “Kalau kamu gak pindah DPS, mungkin
saat ini kamu masih melakukan penelitian sama dia”. Hal itu dia sampaikan tepat
ketika saya selesai sidang. Ah, pernyataan beliau membuat saya semakin “bersyukur”
telah mengganti DPS.
Gejolak paling mengguncang
lainnya adalah pilihan karir setelah lulus. Pada dasarnya, saya sangat ingin
melanjutkan studi ke jenjang S2, tapi berhubung ekonomi keluarga sedang tidak
baik, maka cita-cita tersebut sedikit goyah. Beruntung, di setiap kegoyahan
yang dijumpai, Allah memberikan jalan keluar yang mengokohkan.
Kegoyahan pertama dan paling
mendasar ditemui dari sisi ekonomi (lagi). Dengan apa saya kuliah? Pilihannya
hanya satu, BEASISWA. Saya harus mencari beasiswa yang mencakup semua
kebutuhan, baik kebutuhan hidup maupun kebutuhan kuliah. Maka, dari semua
pilihan yang ada, beasiswa Dikti (BPP-DN) menjadi pilihan yang paling logis.
Masalahnya, beasiswa tersebut
tidak meng-cover biaya pendaftaran. Padahal, biaya pendaftarannya tidak
sedikit, 500 ribu bro. Saya putar otak untuk mendapatkan biaya pendaftaran itu.
Tapi sudah 360 derajat diputar pun saya belum menemukan jawabannya. “Ah,
mungkin saya memang harus bekerja dan melupakan kuliah untuk sementara”,
saya membatin.
Keajaiban kemudian muncul ketika
saya berjumpa dengan kawan lama saya yang kini sudah bekerja. Di tengah
perbincangan kami, dia bertanya “Terus setelah lulus mau apa, Jar?”. “Pinginnya
sih kuliah Bang, tapi gak tau nih…”, saya menimpali. “Apa masalahnya?”,
tanyanya lagi. “Saya mau ikut beasiswa Dikti Bang, tapi biaya pendaftaran
tes-nya kan ditanggung sendiri”, saya menjelaskan. “Berapa emang
biayanya?”, lanjutnya. “Lima ratus ribu, Bang”. “Yaudah, nanti
bilang Abang aja kalau udah mau daftar, mudah-mudahan bisa bantu”, jawabnya
lugas.
Ah, rejeki Allah memang bisa
datang dari pintu yang tidak disangka-sangka. Atas kemurahan-Nya, saya bisa
mendaftar tes pascasarjana UGM.
Kegoyahan selanjutnya datang dari
tawaran pekerjaan. Ini sebenarnya hasil ulah saya sendiri. Jadi dulu, selagi
menunggu hasil tes UGM, saya daftar kerja di salah satu perusahaan BUMN.
Semula, niatnya hanya untuk langkah preventif. Kalau tidak lolos tes UGM, saya
kan tinggal melanjutkan tes di BUMN tersebut (karena rangkaian tesnya sangat
banyak dan memakan waktu lama). Kalau tes UGM saya lulus, maka saya akan
tinggalkan tes BUMN tersebut.
Ndilalah, seiring
tertundanya pengumuman hasil tes UGM, saya selalu lolos rangkaian tes BUMN
tersebut hingga tahap akhir. Setelah berada di tahap akhir, saya kembali
berpikir, “Apakah takdir saya memang harus bekerja dulu ya?”. Tidak mau
terombang-ambing dalam kebimbangan, saya istikhoroh. Dan setelah istikhoroh,
pilihan saya membulat ke kerja. “Bismillah, kalau tahap akhir ini lolos, saya
akan pilih bekerja”, tekad saya saat itu.
Keajaiban kembali datang.
Walaupun tahap akhir itu hanya interview user dan tes kesehatan (dan saya sudah
sangat pede dengan “janji” yang disampaikan pewawancara), ternyata saya tidak
lolos. Selang beberapa hari setelahnya, pengumuman beasiswa UGM keluar dan saya
dinyatakan menjadi salah satu calon penerimanya.
Setelah pengumuman itu, sebenarnya ada banyak tawaran bekerja dengan fasilitas yang tidak kalah menggiurkan dari teman saya. Tapi belajar dari pengalaman kemarin, kali ini saya tidak tergoda. Pengalaman tersebut membuat saya semakin yakin dengan idealisme yang sedang saya perjuangkan, yaitu menjadi pengajar!
Ibadah
Tahun lalu juga menjadi tahun
yang sangat berharga selama hidup saya. Pengalaman skripsi membuat sisi
spiritualitas saya terasah. Kualitas ibadah saya kepada Allah selama pengerjaan
skripsi rasanya menjadi salah satu yang terbaik sepanjang hidup saya selama
ini. Rasa-rasanya, baru kali itu isi surat “Al-Ikhlas” benar-benar saya
aplikasikan dalam hidup saya.
Selain “ekstase skripsi”, tahun
lalu juga saya berhasil mencapai target ibadah saya. Tidak perlu saya sebutkan
ibadahnya apa, tapi yang pasti saya senang karena Allah menguatkan saya untuk
mencapai target tersebut.
Walau demikian, ada satu target
yang belum sempat tercapai sampai saat ini, yaitu i’tikaf full di 10 hari
terakhir Ramadhan. Semoga tahun ini mendapat kemudahan.
Jogja, 06 Muharrom 1435 Hijriyah
(10 November 2013)
#wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment