November 10, 2013

01 Muharram 1435 H: Sebuah Refleksi #2 (End)

Akademik
Tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan sisi akademik di kehidupan seorang akademisi (aseeek). Dan tahun lalu menjadi tahun paling bergejolak dalam kehidupan saya selama menjadi akademisi (baca: pembelajar). Saking bergejolaknya, saya sampai merasa mual. Sampai-sampai sempat terlintas dalam pikiran saya untuk segera mengakhiri semua ini. Maksudnya, cukuplah saya akhiri pendidikan saya di jenjang S1, tidak usah nambah seperti yang saya citakan.

Bahkan pernah juga terpikir untuk meninggalkan sementara skripsi saya dan beralih ke kerja. Tapi beruntung pikiran-pikiran itu hanya selintas. Dan yang namanya lintasan, kehadirannya tentu hanya sesaat, tidak pernah permanen. Juga tidak mengendap di otak. Dan yang terpenting tidak menyabotase cita-cita saya untuk kuliah lagi :)
Sumber: bloggerntt.com

Well, gejolak akademik itu dimulai bulan Desember. Saat itu saya benar-benar “kehabisan akal” menghadapi Dosen Pembimbing Skripsi (DPS). Buntut habisnya akal itu adalah saya ingin meminta cerai (baca: ingin ganti DPS). Masalahnya, DPS ini rada-rada killer. Bahkan boleh disebut serial killer jika tidak berlebihan. Untuk minta cerai, saya harus punya mental tangguh. Dan mental tangguh itu saya rasa ada dalam diri Si Pitung. Syukurlah Pitung tidak mengecewakan. Saya sukses meminta cerai dan akhirnya diceraikan oleh DPS saya.

Gejolak tidak berhenti di situ. Konsekuensi logis yang harus saya tanggung dari permintaan cerai itu adalah saya harus melakukan penelitian ulang. Beruntung DPS saya yang baru lebih “kooperatif” sehingga walau melakukan penelitian ulang, prosesnya berjalan sangat cepat. Bahkan seorang kawan berujar, “Kalau kamu gak pindah DPS, mungkin saat ini kamu masih melakukan penelitian sama dia”. Hal itu dia sampaikan tepat ketika saya selesai sidang. Ah, pernyataan beliau membuat saya semakin “bersyukur” telah mengganti DPS.

Gejolak paling mengguncang lainnya adalah pilihan karir setelah lulus. Pada dasarnya, saya sangat ingin melanjutkan studi ke jenjang S2, tapi berhubung ekonomi keluarga sedang tidak baik, maka cita-cita tersebut sedikit goyah. Beruntung, di setiap kegoyahan yang dijumpai, Allah memberikan jalan keluar yang mengokohkan.

Kegoyahan pertama dan paling mendasar ditemui dari sisi ekonomi (lagi). Dengan apa saya kuliah? Pilihannya hanya satu, BEASISWA. Saya harus mencari beasiswa yang mencakup semua kebutuhan, baik kebutuhan hidup maupun kebutuhan kuliah. Maka, dari semua pilihan yang ada, beasiswa Dikti (BPP-DN) menjadi pilihan yang paling logis.

Masalahnya, beasiswa tersebut tidak meng-cover biaya pendaftaran. Padahal, biaya pendaftarannya tidak sedikit, 500 ribu bro. Saya putar otak untuk mendapatkan biaya pendaftaran itu. Tapi sudah 360 derajat diputar pun saya belum menemukan jawabannya. “Ah, mungkin saya memang harus bekerja dan melupakan kuliah untuk sementara”, saya membatin.

Keajaiban kemudian muncul ketika saya berjumpa dengan kawan lama saya yang kini sudah bekerja. Di tengah perbincangan kami, dia bertanya “Terus setelah lulus mau apa, Jar?”. “Pinginnya sih kuliah Bang, tapi gak tau nih…”, saya menimpali. “Apa masalahnya?”, tanyanya lagi. “Saya mau ikut beasiswa Dikti Bang, tapi biaya pendaftaran tes-nya kan ditanggung sendiri”, saya menjelaskan. “Berapa emang biayanya?”, lanjutnya. “Lima ratus ribu, Bang”. “Yaudah, nanti bilang Abang aja kalau udah mau daftar, mudah-mudahan bisa bantu”, jawabnya lugas.

Ah, rejeki Allah memang bisa datang dari pintu yang tidak disangka-sangka. Atas kemurahan-Nya, saya bisa mendaftar tes pascasarjana UGM.

Kegoyahan selanjutnya datang dari tawaran pekerjaan. Ini sebenarnya hasil ulah saya sendiri. Jadi dulu, selagi menunggu hasil tes UGM, saya daftar kerja di salah satu perusahaan BUMN. Semula, niatnya hanya untuk langkah preventif. Kalau tidak lolos tes UGM, saya kan tinggal melanjutkan tes di BUMN tersebut (karena rangkaian tesnya sangat banyak dan memakan waktu lama). Kalau tes UGM saya lulus, maka saya akan tinggalkan tes BUMN tersebut.

Ndilalah, seiring tertundanya pengumuman hasil tes UGM, saya selalu lolos rangkaian tes BUMN tersebut hingga tahap akhir. Setelah berada di tahap akhir, saya kembali berpikir, “Apakah takdir saya memang harus bekerja dulu ya?”. Tidak mau terombang-ambing dalam kebimbangan, saya istikhoroh. Dan setelah istikhoroh, pilihan saya membulat ke kerja. “Bismillah, kalau tahap akhir ini lolos, saya akan pilih bekerja”, tekad saya saat itu.

Keajaiban kembali datang. Walaupun tahap akhir itu hanya interview user dan tes kesehatan (dan saya sudah sangat pede dengan “janji” yang disampaikan pewawancara), ternyata saya tidak lolos. Selang beberapa hari setelahnya, pengumuman beasiswa UGM keluar dan saya dinyatakan menjadi salah satu calon penerimanya.

Setelah pengumuman itu, sebenarnya ada banyak tawaran bekerja dengan fasilitas yang tidak kalah menggiurkan dari teman saya. Tapi belajar dari pengalaman kemarin, kali ini saya tidak tergoda. Pengalaman tersebut membuat saya semakin yakin dengan idealisme yang sedang saya perjuangkan, yaitu menjadi pengajar!

Ibadah
Tahun lalu juga menjadi tahun yang sangat berharga selama hidup saya. Pengalaman skripsi membuat sisi spiritualitas saya terasah. Kualitas ibadah saya kepada Allah selama pengerjaan skripsi rasanya menjadi salah satu yang terbaik sepanjang hidup saya selama ini. Rasa-rasanya, baru kali itu isi surat “Al-Ikhlas” benar-benar saya aplikasikan dalam hidup saya.

Selain “ekstase skripsi”, tahun lalu juga saya berhasil mencapai target ibadah saya. Tidak perlu saya sebutkan ibadahnya apa, tapi yang pasti saya senang karena Allah menguatkan saya untuk mencapai target tersebut.
Walau demikian, ada satu target yang belum sempat tercapai sampai saat ini, yaitu i’tikaf full di 10 hari terakhir Ramadhan. Semoga tahun ini mendapat kemudahan.

Jogja, 06 Muharrom 1435 Hijriyah (10 November 2013)

#wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment