November 9, 2013

01 Muharram 1435 H: Sebuah Refleksi #1

Alhamdulillah, sejak Selasa lalu (05/11/2013) kita telah memasuki tahun baru Islam 1435 H. Meski tidak ada perayaan istimewa yang diajarkan oleh Rasulullah, tapi masyarakat Jogja -khususnya yang tradisional banget- merayakan pergantian tahun itu dengan berbagai acara tradisional. Salah satunya mubeng beteng, yaitu ritual mengelilingi keraton di malam hari melalui Pojok Beteng. 

sumber: alobodeya.co.uk

Walaupun bukan kapasitas saya untuk menilai apakah perbuatan itu bid’ah atau bukan, tapi sebagai pengamat (hah?), saya prihatin melihat semua seremonial tersebut. Mengapa untuk perkara yang tidak jelas tuntunannya mereka begitu antusias, sedangkan perkara yang sudah jelas (misalnya sholat) mereka ogah-ogahan?

Salah satu sebabnya tentu karena ada propaganda media. Media sangat aktif dan masif menyerukan ritual-ritual nyeleneh dengan kedok pelestarian budaya. Yang saya tidak habis pikir adalah, bagaimana pertanggungjawaban mereka nanti di akhirat atas semua propaganda iblis yang mereka sebarluaskan? Karena tiap satu orang yang tersesat akibat propaganda mereka, tentu akan ada dosa yang turut dipikul tanpa mengurangi dosa orang yang sesat tadi. Ckckck

P.S: Hati-hati kalau jadi wartawan. Semua berita yang anda sebarluaskan akan ada pertanggungjawabannya!
Ah, daripada sibuk memikirkan kesalahan orang, mending sibuk merefleksi kehidupan sendiri selama satu tahun ke belakang.

Hmm… sebenarnya ada banyak peristiwa penting dalam kehidupan saya selama satu tahun ke belakang. Tapi tidak semua peristiwa itu bisa saya ceritakan di tulisan ini karena keterbatasan waktu dan tempat (alasan sebenarnya adalah karena saya tidak ingat, haha). Agar lebih mudah saya membagi pengalaman tersebut menjadi tiga bagian, yaitu kehidupan sehari-hari (daily life), akademik, dan ibadah.

Daily Life
Boleh dikatakan selama satu tahun ke belakang ini ada banyak kerikil yang memenuhi jalan hidup saya. Tapi untungnya cuma kerikil, jadi saya masih bisa berjalan walau pelan-pelan. Untungnya bukan beling yang harus berdarah-darah untuk melaluinya.

Dan kerikil paling banyak berserakan tahun lalu adalah dalam bentuk “rupiah”. Yah, masalah ekonomi memang permasalahan semua orang, termasuk saya. Di satu sisi, status saya tahun lalu yang masih “mahasiswa (S1)” membuat ketergantungan dengan orangtua (dari sisi ekonomi) terasa wajar. Tetapi di sisi lain, norma sosial yang berlaku di tempat tinggal saya mengatakan bahwa anak seumuran saya seharusnya sudah bisa membantu orangtua. Maka, memutuskan untuk minta uang ke orangtua membutuhkan pertimbangan yang sangat tidak sebentar bagi saya.

Tahun lalu juga saya pernah berada pada posisi sangat terpuruk. Saya merasakan keterpurukan itu mirip sekali dengan keterpurukan saya saat gagal SPMB 2007 yang membuat saya menganggur (jobless) setahun. Sebuah kondisi yang kemudian membuat saya kehilangan gairah hidup.

Hilangnya gairah hidup itu saya rasakan juga tahun lalu ketika permasalahan skripsi tak kunjung usai. Bedanya, kalau saat gagal SPMB dulu saya masih punya Ibu untuk “berbagi” (makna berbagi ini sangat luas). Nah, kalau tahun lalu saya tidak punya partner “berbagi”. Jadi semua permasalahan saya telan seorang diri. Untung perut saya tidak meledak.

#bersambung

0 comments:

Post a Comment