Alhamdulillah, sejak Selasa lalu
(05/11/2013) kita telah memasuki tahun baru Islam 1435 H. Meski tidak ada
perayaan istimewa yang diajarkan oleh Rasulullah, tapi masyarakat Jogja
-khususnya yang tradisional banget- merayakan pergantian tahun itu dengan
berbagai acara tradisional. Salah satunya mubeng beteng, yaitu ritual
mengelilingi keraton di malam hari melalui Pojok Beteng.
Walaupun bukan kapasitas saya
untuk menilai apakah perbuatan itu bid’ah atau bukan, tapi sebagai pengamat
(hah?), saya prihatin melihat semua seremonial tersebut. Mengapa untuk perkara
yang tidak jelas tuntunannya mereka begitu antusias, sedangkan perkara yang
sudah jelas (misalnya sholat) mereka ogah-ogahan?
Salah satu sebabnya tentu karena ada
propaganda media. Media sangat aktif dan masif menyerukan ritual-ritual nyeleneh
dengan kedok pelestarian budaya. Yang saya tidak habis pikir adalah, bagaimana
pertanggungjawaban mereka nanti di akhirat atas semua propaganda iblis yang
mereka sebarluaskan? Karena tiap satu orang yang tersesat akibat propaganda
mereka, tentu akan ada dosa yang turut dipikul tanpa mengurangi dosa orang yang
sesat tadi. Ckckck
P.S: Hati-hati kalau jadi
wartawan. Semua berita yang anda sebarluaskan akan ada pertanggungjawabannya!
Ah, daripada sibuk memikirkan
kesalahan orang, mending sibuk merefleksi kehidupan sendiri selama satu tahun
ke belakang.
Hmm… sebenarnya ada banyak peristiwa
penting dalam kehidupan saya selama satu tahun ke belakang. Tapi tidak semua
peristiwa itu bisa saya ceritakan di tulisan ini karena keterbatasan waktu dan
tempat (alasan sebenarnya adalah karena saya tidak ingat, haha). Agar lebih
mudah saya membagi pengalaman tersebut menjadi tiga bagian, yaitu kehidupan
sehari-hari (daily life), akademik, dan ibadah.
Daily Life
Boleh dikatakan selama satu tahun
ke belakang ini ada banyak kerikil yang memenuhi jalan hidup saya. Tapi
untungnya cuma kerikil, jadi saya masih bisa berjalan walau pelan-pelan.
Untungnya bukan beling yang harus berdarah-darah untuk melaluinya.
Dan kerikil paling banyak
berserakan tahun lalu adalah dalam bentuk “rupiah”. Yah, masalah ekonomi memang
permasalahan semua orang, termasuk saya. Di satu sisi, status saya tahun lalu
yang masih “mahasiswa (S1)” membuat ketergantungan dengan orangtua (dari sisi
ekonomi) terasa wajar. Tetapi di sisi lain, norma sosial yang berlaku di tempat
tinggal saya mengatakan bahwa anak seumuran saya seharusnya sudah bisa membantu
orangtua. Maka, memutuskan untuk minta uang ke orangtua membutuhkan pertimbangan yang sangat tidak sebentar bagi saya.
Tahun lalu juga saya pernah
berada pada posisi sangat terpuruk. Saya merasakan keterpurukan itu mirip
sekali dengan keterpurukan saya saat gagal SPMB 2007 yang membuat saya
menganggur (jobless) setahun. Sebuah kondisi yang kemudian membuat saya kehilangan
gairah hidup.
Hilangnya gairah hidup itu saya
rasakan juga tahun lalu ketika permasalahan skripsi tak kunjung usai. Bedanya, kalau saat gagal SPMB dulu saya masih
punya Ibu untuk “berbagi” (makna berbagi ini sangat luas). Nah, kalau tahun
lalu saya tidak punya partner “berbagi”. Jadi semua permasalahan saya telan
seorang diri. Untung perut saya tidak meledak.
#bersambung
0 comments:
Post a Comment