Saya meyakini bahwa integritas
seseorang dibangun atas dasar tindak-tanduknya kepada orang lain. Kelakuan baik
(akhlakul karimah) akan membuatnya disenangi dan dipercaya orang lain. Dan
sebaliknya, perilaku buruk akan mengundang kebencian dan doa yang buruk dari
orang lain.
Berbicara tentang akhlak,
sepatutnya kita mencukupkan diri menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan. Dan
satu kisah Rasulullah saw yang membuat saya semakin mengidolai beliau adalah
kisah hijrah beliau dari Mekah menuju Madinah.
Dulu sebelum hijrah, Rasul
menitipkan pesan kepada Ali bin Abu Thalib agar mengembalikan harta benda yang
dititipkan para kafir Quraisy kepada beliau untuk dijaga. Peristiwa ini seperti
tidak masuk logika, bagaimana mungkin kafir Quraisy menitipkan harta mereka
kepada Rasulullah yang jelas-jelas dalam kesehariannya selalu dimusuhi? Kalau
bukan karena tingkat keterpercayaan Rasulullah yang begitu tinggi, tidak
mungkin ada “musuh” yang melakukan hal demikian. Maka, gelar gelar al-Amin
sungguh sangat tepat disandang beliau.
(Lalu mengapa Rasul diperangi
padahal akhlak beliau begitu agung? Rasul diperangi bukan karena akhlaknya,
tapi karena ajaran yang dibawanya. Ajaran yang Rasul bawa (Islam) membuat
bisnis pembesar kafir Quraisy merugi (dan menurut mereka, ajaran itu memecah
belah kaum Quraisy) sehingga mereka memerangi Rasul agar menghentikan
ajarannya.)
Berkaitan dengan itu, gelar
al-Amin yang Rasul terima bukan didapatkan dengan hanya 1-2 kali perbuatan
baik, tapi kontinu. Berkelanjutan dari hari ke hari. Kalau cuma 1-2 kali saja,
itu namanya cari muka untuk mendapatkan sesuatu. Begitu sesuatu yang
diinginkannya itu terwujud, dia akan kembali ke tabiat aslinya.
Perkara Pinjam-Meminjam
Berbuat baik itu sangat luas
spektrumnya, tapi dalam tulisan ini saya akan membahas salah satunya saja, yaitu
tentang berbuat baik disaat meminjam.
Hal pertama yang ingin saya
ungkapkan adalah, sebisa mungkin kita tidak menyusahkan orang lain dengan
meminjam sesuatu jika perkara itu tidak terlalu penting. Kalau kita masih bisa
menggunakan sumber daya yang kita miliki, maksimalkan saja sumber daya itu.
Misal, kita mau pergi kondangan, lalu tidak punya pakaian yang bagus, maka
sebaiknya pakai saja pakaian yang ada. Lebih baik pakaian sederhana tapi milik
sendiri daripada pakaian bagus tapi milik orang lain. Ikhtiar kita untuk tidak
menyusahkan orang lain tersebut merupakan salah satu bentuk jihad (pernah
dengar kajiannya).
Akan tetapi, jika hal itu tidak
bisa terelakan, maka tidak apa-apa jika kita meminjam. Yah, kita pasti pernah
meminjam sesuatu kepada orang lain. Entah itu uang, barang, atau jasa. Wajar
sih, sebagai manusia kita memang memiliki keterbatasan. Akan tetapi, tentu
tidak baik juga jika menjadikan keterbatasan itu sebagai “pembenaran” bagi kita
untuk selalu menyusahkan orang lain.
Jika memang kita terpaksa
meminjam, maka jangan sampai kita membalas perbuatan baik orang yang memberi
pinjaman dengan perbuatan khianat. Balaslah perbuatan baik mereka dengan
berbuat baik pula. Dan serendah-rendahnya balasan perbuatan baik itu adalah
dengan mengembalikan uang atau barang yang kita pinjam. Kalau uang, bayarlah
utang kita begitu kita sudah memiliki kecukupan rezeki. Kalau barang,
kembalikanlah barang itu dengan utuh seperti kondisi semula begitu selesai
memakai. Jangan ditunda-tunda! Penundaan pengembalian barang merupakan salah
satu bentuk khianat.
Mungkin ada yang berargumen, “Gak
apa-apa ditunda sebentar selama belum ditagih. Kalau yang punya belum nagih,
berarti dia juga belum butuh. Kalau butuh, nanti juga dia nagih”. Argumen
ini adalah argumen sesat dan menyesatkan, bagaimana anda tau bahwa yang punya
belum butuh? Mungkin dia butuh, tapi dia lupa kepada siapa dia meminjamkan.
Mungkin dia butuh, tapi dia khawatir anda masih membutuhkan sehingga lebih
mendahulukan kepentingan anda daripada kepentingan dia.
Yang lebih penting lagi,
perkaranya sebenarnya bukan perkara yang punya sedang butuh atau tidak, tapi
perkara kewajiban kita sebagai peminjam untuk segera mengembalikan. Walau yang
punya belum meminta, kalau kita sudah selesai menggunakan, ya harus segera
dikembalikan. Kalau ditunda-tunda, nanti bisa jadi kelupaan. Lama-lama bisa
jadi “hak milik pribadi”. Bukankah ini tidak berbeda dengan mencuri, meski
dengan “kadar” yang lebih rendah? Percaya bro, ini pasti ada hitungannya di
akhirat.
Selanjutnya, memperlakukan dengan
baik barang yang dipinjam merupakan bentuk perilaku anti khianat lainnya.
Bayangkan dua kondisi ini. Anda meminjamkan motor kepada teman. Ketika
dikembalikan, anda mendapati motor anda dalam keadaan bersih kinclong, tanpa
cacat dan gores, serta bensin full. Apa reaksi anda? Mungkin anda berharap agar
dia sering-sering meminjam motor anda.
Kondisi kedua, anda mendapati
motor anda dikembalikan dalam keadaan kotor, bensin habis, ban kempis, rantai
copot, spion hilang, jok robek. Bagaimana reaksi anda? Kedepannya, mungkin anda
pura-pura tidur kalau dia datang. Yah, mungkin terlalu dramatis, tapi saya cuma
mau menekankan bahwa perilaku buruk kita akan kembali kepada kita. Kalau kita
memperlakukan barang pinjaman dengan “biadab”, bagaimana mungkin orang akan
percaya kepada kita?
Bentuk khianat lainnya kepada
orang yang meminjamkan, dan ini yang paling fatal, adalah dia (dengan penuh
kesadaran) tidak mau mengembalikan sama sekali uang atau barang yang dipinjam. Ini
menjadi sangat fatal karena perbuatan tersebut akan menghapus tak bersisa integritas
kita di mata mereka. Ingat, di awal akad kita hanya meminjam bukan meminta,
jadi jangan ada keinginan untuk memiliki barang yang dipinjamkan mereka.
Saya sendiri heran, mengapa ada
orang yang tidak mau mengembalikan barang yang dipinjam padahal jelas-jelas itu
bukan haknya. Mereka layaknya orang yang tidak takut dengan ancaman Allah
tentang para pemakan harta haram. Maksud “para pemakan” di sini bukan hanya
pemakan makanan, tapi juga barang. Mengendarai motor curian adalah bentuk
perilaku memakan harta haram. Memakai pakaian curian juga bentuk perilaku
sejenis. Dan apa ancaman Allah tentang para pemakan harta haram? Banyak, salah
satunya adalah doanya tidak terijabah.
Nah, hal ini sepatutnya kita,
khususnya saya, tafakuri. Boleh jadi selama ini doa-doa kita tidak terijabah
bukan karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik atau menyimpannya
di akhirat, tapi karena ada “harta haram” yang melekat pada badan kita. Ya,
harta haram, yaitu harta orang lain yang ada pada kita dan kita tidak mau
mengembalikannya.
Maka dari itu, segeralah mulai
memeriksa. Periksa rak buku kita, adakah buku orang lain di sana. Periksa
lemari kita, adakah pakaian orang lain tersimpan. Periksa kamar kita, adakah
barang orang lain yang bisa menjadi hijab doa. Periksa lah sebelum terlambat.
Periksa lah sebelum Allah yang memeriksanya di akhirat. Dan kalau sudah ketemu,
segeralah kembalikan.
#Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment