November 3, 2013

Menjadi Peminjam yang Baik

Saya meyakini bahwa integritas seseorang dibangun atas dasar tindak-tanduknya kepada orang lain. Kelakuan baik (akhlakul karimah) akan membuatnya disenangi dan dipercaya orang lain. Dan sebaliknya, perilaku buruk akan mengundang kebencian dan doa yang buruk dari orang lain. 

Berbicara tentang akhlak, sepatutnya kita mencukupkan diri menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan. Dan satu kisah Rasulullah saw yang membuat saya semakin mengidolai beliau adalah kisah hijrah beliau dari Mekah menuju Madinah.

Dulu sebelum hijrah, Rasul menitipkan pesan kepada Ali bin Abu Thalib agar mengembalikan harta benda yang dititipkan para kafir Quraisy kepada beliau untuk dijaga. Peristiwa ini seperti tidak masuk logika, bagaimana mungkin kafir Quraisy menitipkan harta mereka kepada Rasulullah yang jelas-jelas dalam kesehariannya selalu dimusuhi? Kalau bukan karena tingkat keterpercayaan Rasulullah yang begitu tinggi, tidak mungkin ada “musuh” yang melakukan hal demikian. Maka, gelar gelar al-Amin sungguh sangat tepat disandang beliau. 

(Lalu mengapa Rasul diperangi padahal akhlak beliau begitu agung? Rasul diperangi bukan karena akhlaknya, tapi karena ajaran yang dibawanya. Ajaran yang Rasul bawa (Islam) membuat bisnis pembesar kafir Quraisy merugi (dan menurut mereka, ajaran itu memecah belah kaum Quraisy) sehingga mereka memerangi Rasul agar menghentikan ajarannya.)

Berkaitan dengan itu, gelar al-Amin yang Rasul terima bukan didapatkan dengan hanya 1-2 kali perbuatan baik, tapi kontinu. Berkelanjutan dari hari ke hari. Kalau cuma 1-2 kali saja, itu namanya cari muka untuk mendapatkan sesuatu. Begitu sesuatu yang diinginkannya itu terwujud, dia akan kembali ke tabiat aslinya.
Sumber: memegenerator.net

Perkara Pinjam-Meminjam
Berbuat baik itu sangat luas spektrumnya, tapi dalam tulisan ini saya akan membahas salah satunya saja, yaitu tentang berbuat baik disaat meminjam.

Hal pertama yang ingin saya ungkapkan adalah, sebisa mungkin kita tidak menyusahkan orang lain dengan meminjam sesuatu jika perkara itu tidak terlalu penting. Kalau kita masih bisa menggunakan sumber daya yang kita miliki, maksimalkan saja sumber daya itu. Misal, kita mau pergi kondangan, lalu tidak punya pakaian yang bagus, maka sebaiknya pakai saja pakaian yang ada. Lebih baik pakaian sederhana tapi milik sendiri daripada pakaian bagus tapi milik orang lain. Ikhtiar kita untuk tidak menyusahkan orang lain tersebut merupakan salah satu bentuk jihad (pernah dengar kajiannya).

Akan tetapi, jika hal itu tidak bisa terelakan, maka tidak apa-apa jika kita meminjam. Yah, kita pasti pernah meminjam sesuatu kepada orang lain. Entah itu uang, barang, atau jasa. Wajar sih, sebagai manusia kita memang memiliki keterbatasan. Akan tetapi, tentu tidak baik juga jika menjadikan keterbatasan itu sebagai “pembenaran” bagi kita untuk selalu menyusahkan orang lain.

Jika memang kita terpaksa meminjam, maka jangan sampai kita membalas perbuatan baik orang yang memberi pinjaman dengan perbuatan khianat. Balaslah perbuatan baik mereka dengan berbuat baik pula. Dan serendah-rendahnya balasan perbuatan baik itu adalah dengan mengembalikan uang atau barang yang kita pinjam. Kalau uang, bayarlah utang kita begitu kita sudah memiliki kecukupan rezeki. Kalau barang, kembalikanlah barang itu dengan utuh seperti kondisi semula begitu selesai memakai. Jangan ditunda-tunda! Penundaan pengembalian barang merupakan salah satu bentuk khianat.

Mungkin ada yang berargumen, “Gak apa-apa ditunda sebentar selama belum ditagih. Kalau yang punya belum nagih, berarti dia juga belum butuh. Kalau butuh, nanti juga dia nagih”. Argumen ini adalah argumen sesat dan menyesatkan, bagaimana anda tau bahwa yang punya belum butuh? Mungkin dia butuh, tapi dia lupa kepada siapa dia meminjamkan. Mungkin dia butuh, tapi dia khawatir anda masih membutuhkan sehingga lebih mendahulukan kepentingan anda daripada kepentingan dia.

Yang lebih penting lagi, perkaranya sebenarnya bukan perkara yang punya sedang butuh atau tidak, tapi perkara kewajiban kita sebagai peminjam untuk segera mengembalikan. Walau yang punya belum meminta, kalau kita sudah selesai menggunakan, ya harus segera dikembalikan. Kalau ditunda-tunda, nanti bisa jadi kelupaan. Lama-lama bisa jadi “hak milik pribadi”. Bukankah ini tidak berbeda dengan mencuri, meski dengan “kadar” yang lebih rendah? Percaya bro, ini pasti ada hitungannya di akhirat.

Selanjutnya, memperlakukan dengan baik barang yang dipinjam merupakan bentuk perilaku anti khianat lainnya. Bayangkan dua kondisi ini. Anda meminjamkan motor kepada teman. Ketika dikembalikan, anda mendapati motor anda dalam keadaan bersih kinclong, tanpa cacat dan gores, serta bensin full. Apa reaksi anda? Mungkin anda berharap agar dia sering-sering meminjam motor anda.

Kondisi kedua, anda mendapati motor anda dikembalikan dalam keadaan kotor, bensin habis, ban kempis, rantai copot, spion hilang, jok robek. Bagaimana reaksi anda? Kedepannya, mungkin anda pura-pura tidur kalau dia datang. Yah, mungkin terlalu dramatis, tapi saya cuma mau menekankan bahwa perilaku buruk kita akan kembali kepada kita. Kalau kita memperlakukan barang pinjaman dengan “biadab”, bagaimana mungkin orang akan percaya kepada kita?

Bentuk khianat lainnya kepada orang yang meminjamkan, dan ini yang paling fatal, adalah dia (dengan penuh kesadaran) tidak mau mengembalikan sama sekali uang atau barang yang dipinjam. Ini menjadi sangat fatal karena perbuatan tersebut akan menghapus tak bersisa integritas kita di mata mereka. Ingat, di awal akad kita hanya meminjam bukan meminta, jadi jangan ada keinginan untuk memiliki barang yang dipinjamkan mereka.

Saya sendiri heran, mengapa ada orang yang tidak mau mengembalikan barang yang dipinjam padahal jelas-jelas itu bukan haknya. Mereka layaknya orang yang tidak takut dengan ancaman Allah tentang para pemakan harta haram. Maksud “para pemakan” di sini bukan hanya pemakan makanan, tapi juga barang. Mengendarai motor curian adalah bentuk perilaku memakan harta haram. Memakai pakaian curian juga bentuk perilaku sejenis. Dan apa ancaman Allah tentang para pemakan harta haram? Banyak, salah satunya adalah doanya tidak terijabah.

Nah, hal ini sepatutnya kita, khususnya saya, tafakuri. Boleh jadi selama ini doa-doa kita tidak terijabah bukan karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik atau menyimpannya di akhirat, tapi karena ada “harta haram” yang melekat pada badan kita. Ya, harta haram, yaitu harta orang lain yang ada pada kita dan kita tidak mau mengembalikannya.

Maka dari itu, segeralah mulai memeriksa. Periksa rak buku kita, adakah buku orang lain di sana. Periksa lemari kita, adakah pakaian orang lain tersimpan. Periksa kamar kita, adakah barang orang lain yang bisa menjadi hijab doa. Periksa lah sebelum terlambat. Periksa lah sebelum Allah yang memeriksanya di akhirat. Dan kalau sudah ketemu, segeralah kembalikan.

#Wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment