October 24, 2013

Sunatan Fahri

Wajah sendu Fahri setelah disunat
Ahad lalu (12/10/2013) adik bungsu saya, Fahri, menjalani prosesi sunatan. Meski baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), tapi dia sudah berani disunat karena hampir semua peer group-nya sudah disunat. Dia sendiri sebenarnya sudah ingin disunat sejak kelas satu, tapi keinginan itu tertunda karena saat itu Umi sedang sakit. Umi ingin Fahri disunat ketika ia sudah sembuh. Alhamdulillah kini Fahri sudah disunat meski Umi tidak bisa menyaksikan.

Saya yang tidak biasa mudik di pertengahan semester akhirnya mudik juga. Selain karena waktunya yang cukup strategis, libur panjang Idul Adha (lima hari), saya juga punya misi pribadi selain misi ingin mendampingi Fahri tentunya.

Pagi-pagi sekali Fahri sudah “dipersiapkan”. Jam 5.30 dia sudah siap dengan baju koko dan sarung, lengkap dengan pecinya. Jam 6.00 Bapak menjemput dokter yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Beberapa menit kemudian dokter datang dengan hanya membawa tas tangan kecil. Saya sedikit kaget, sebegitu simpelnya kah sunat zaman sekarang? Rasanya dulu ketika saya sunat tidak sesimpel itu.

Tanpa basa-basi, dokter langsung meminta agar Bapak merebahkan Fahri di ruang tamu yang sudah dipersiapkan sebagai tempat praktek dokter. Saya benar-benar tidak kuat untuk menyaksikan prosesi ini. Saya memilih masuk ke dapur untuk meminimalisir “ketidak-kuatan” saya. Dari dapur, terdengar suara rintihan tangis Fahri mulai mengalun. Ah, saya benar-benar tidak tega.

Ketidak-tegaan saya semakin mendera ketika mengingat dan membandingkan pengalaman saya dulu ketika disunat. Dulu, menjelang sunat, saya benar-benar diperlakukan seperti raja oleh keluarga saya, terutama oleh Umi. Saya diberi kebebasan untuk membeli apa saja menjelang sunat. Saya ingat, dulu saya meminta dibelikan celana yang sedang trend zaman itu. Tanpa pikir panjang, umi langsung membelikannya. Selain itu, saya juga dibelikan baju koko, peci, dan sarung baru untuk dipakai saat sunatan. Meskipun saya tidak menginginkannya, tapi perlengkapan itu penting keberadaannya karena saya akan “dipamerkan” saat hari H.

Berbeda sekali keadaannya dengan Fahri saat disunat kemarin. Jangankan memanjakan dan membelikan apa yang diinginkannya, perlengkapan sunat seperti baju koko, peci, dan sarung pun tidak dibelikan sehingga Fahri memakai perlengkapan seadanya. Apalagi ketika melihat tidak ada umi yang mendampingi Fahri ketika “dipamerkan” di hari H. Ah, tidak tega rasanya.

Selain kurangnya perlakuan khusus ketika pra dan during sunatan, saya juga kasihan melihat Fahri pasca sunatan karena lagi-lagi dia kurang mendapat “perhatian”. Yah, biar bagaimanapun kasih sayang Bapak dan kakak-kakaknya tidak akan setara dengan kasih sayang Ibunya. Rasa-rasanya, hanya ibu yang tulus dan mampu memberikan pelayanan 24 jam.

Semoga ada hikmah.



#wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment