Hari-hari ini kita dihadapkan
pada situasi yang sulit. Covid-19 yang semula dianggap remeh oleh sebagian
kalangan nyatanya menjadi monster yang mengacaukan tatanan dunia. Setelah
berbulan-bulan sejak kasus pertama ditemukan, akhir kisah Covid-19 bukannya semakin
jelas, justru tambah runyam dengan ditemukannya ribuan kasus baru tanpa gejala
di China.
Kita menjadi cemas dan khawatir,
bukan hanya karena takut terinfeksi virus tersebut, melainkan juga karena kita
dihadapkan pada ketidakpastian di masa depan. Paduan ambruknya kesehatan global
dengan terpuruknya ekonomi adalah seburuk-buruk duet bagi mental manusia.
Ilustrasi gambar dari Pixabay.com |
Ditambah lagi tidak ada satupun
ahli yang dapat memastikan kapan akhir dari saga corona ini. Mereka hanya dapat
mengira dengan perkiraan yang berbeda-beda. Bill Gates misalnya, dalam
wawancaranya bersama CNN memprediksi corona akan kelar dalam waktu 2-3 bulan
saja dengan syarat masyarakat tertib melaksanakan social distancing.
Selain itu, ada Rishi Desai dari Center
for Disease Control (CDC) yang memperkirakan corona baru akan berakhir tahun
2021. Adapun untuk konteks Indonesia, jajaran peneliti ITB mengestimasi
selesainya corona di tanah air terjadi akhir Mei atau awal Juni setelah
sebelumnya mengatakan akan berakhir pertengahan April.
Berbagai prediksi tersebut seolah
menegaskan ketidakpastian bencana ini. Celakanya, manusia adalah tipikal makhluk
yang membenci ketidakpastian. Mereka tidak pelit menyisihkan pendapatannya demi
meredam cemas yang mendera sebagai akibat dari ketidakpastian masa depan. Maka,
ketika manusia modern mencemaskan hal-hal yang melekat padanya, baik nyawa
maupun harta, bisnis asuransi dengan jeli hadir sebagai penyuplai ketenangan.
Akan tetapi, ahli jiwa memberi
kabar gembira akan kecemasan massal akibat Covid-19 yang kita rasakan akhir-akhir
ini. Bahwa di tengah situasi krisis seperti bencana alam, perang, termasuk juga
pandemi corona, rasa cemas dan khawatir yang membelit jiwa kita sedianya adalah
sesuatu yang normal.
Kecemasan itu tidak lain adalah reaksi
psikologis sebagai mekanisme pertahanan diri kita terhadap kejadian yang
abnormal. Dalam situasi krisis, entah bagaimana otak kita menjalankan sistem
yang tidak seperti biasanya. Seperti sengaja bersekongkol untuk menyelamatkan
tuannya.
Begini, tiap kali ancaman itu
datang, sistem limbik sebagai pusat kendali emosi manusia akan bekerja lebih
gesit. Saking gesitnya, pikiran rasional yang biasanya muncul sebagai buah
kerja otak depan (frontal lobe) menjadi tak kelihatan, tertutupi oleh
rangkaian emosi yang diproduksi sistem limbik tadi. Hasilnya, manusia dihantui
rasa cemas dan takut.
Selama rasa cemas dan takut itu
tidak menguasai diri, hal itu wajar-wajar saja adanya. Artinya secara mental
kita masih sehat, selaras dengan kriteria sehat mental dari WHO. Lagipula, kecemasan
itu kita butuhkan juga sebagai bagian dari naluri bertahan hidup manusia.
Akan tetapi, rasa cemas menjadi
tidak wajar ketika ia membuat kita tersandera sampai tidak mampu melakukan
hal-hal lain. Sehingga badan dan pikiran kita sepenuhnya di bawah kendali
kecemasan.
Ini buruk. Selain kekurangan
suplai pikiran rasional, cemas berlebih juga berakibat negatif bagi sistem imun
manusia. Sebab saat seseorang mengalami stres yang tidak terkelola, akan ada
perubahan fisiologis pada tubuhnya, terutama kaitannya dengan kadar hormon.
Neuropsikologi memercayai bahwa saat
manusia merasakan cemas berlebih, hormon dopamin dan serotonin yang dikenal
sebagai hormon kebahagiaan akan menurun produksinya. Di sisi lain, hormon
adrenalin dan kortisol yang sering disebut sebagai hormon stres justru
meningkat.
Kondisi yang demikian akan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam tubuh dan terganggunya sistem imun sehingga kita lebih
rentan terhadap penyakit, baik penyakit asli maupun penyakit “bikinan” kita
sendiri yang biasa disebut psikosomatis.
Ya, di tengah pandemi corona
seperti sekarang ini, banyak orang mengalami psikosomatis. Merasa sakit,
padahal tidak. Sesak napas karena takut corona dianggap terinfeksi corona
betulan. Pilek karena kehujanan langsung sambat minta bantuan. Padahal bisa
jadi masalah tersebut selesai hanya dengan mengatur pernapasan.
Hal buruk lainnya, kecemasan
eksesif membuat manusia diliputi pikiran negatif. Dalam keadaan normal saja
pikiran kita sudah didominasi oleh hal-hal negatif dengan proporsi mencapai 80%
(National Science Foundation, 2005). Lalu apa jadinya pikiran kita di tengah
pandemi corona seperti sekarang ini?
Konyolnya, dari semua pikiran
negatif manusia, 85% diantaranya sebenarnya tidak pernah menjadi kenyataan. Pun
dari 15% dari kekhawatiran yang jadi nyata, 79% subjek penelitian ternyata
dapat menangani kesulitan dengan lebih baik dari yang mereka perikirakan
(Leahy, 2005).
Pikiran negatif hanya membuat
manusia dibayangi pesimisme. Ketika pesimisme mendominasi pikiran, maka pintu
harapan menjadi buram di mata. Pada titik ekstrem, orang menjadi kehabisan
alasan untuk sekadar melanjutkan hidup. Maka tidak mengherankan ada banyak
kasus bunuh diri akibat kecemasan corona kita baca akhir-akhir ini. Ambil
contoh kasus bunuh diri Menteri Keuangan negara bagian Hesse Jerman, perawat di
Italia, sampai WNA Korea di Solo.
Lalu apa sebaiknya yang kita
lakukan agar tidak cemas berlebihan?
Berpikir positif adalah jalan
terbaik untuk membatasi kecemasan. Dengan pikiran yang positif kita akan
menjadi lebih tenang dan kalem sehingga saluran rasionalitas tidak tersumbat. Hal
itu bisa kita mulai, misalnya dengan membatasi diri dengan info yang akurat.
Bahwa kita membutuhkan update
informasi betul adanya, tetapi menjadi keliru ketika informasi-informasi
tersebut membanjiri pikiran kita. Apalagi akhir-akhir ini sebagian besar berita
berisi informasi yang “tidak ramah” mental. Belum lagi berita-berita hoaks yang
berseliweran di media. Ketidakmampuan untuk mengerem rasa ingin tahu akan
berdampak buruk bagi kesehatan mental kita.
Yang tidak kalah penting, sebagai
bangsa yang berketuhanan, mendekatkan diri pada Allah sangat dibutuhkan dalam
kondisi seperti sekarang. Selain membuat kita jadi lebih tenang, doa adalah
penyempurna ikhtiar-ikhtiar kita untuk mencapai keselamatan.
Tulisan ini telah dimuat di Banten News (https://www.bantennews.co.id/menjaga-kewarasan-di-tengah-kecemasan/)
0 comments:
Post a Comment