Berikut adalah tulisan saya yang dimuat di Hidayatullah.
Sejak ditemukan di Wuhan akhir
tahun lalu, virus corona (Covid-19) telah merangsek tak terkendali ke berbagai
belahan bumi. Menginfeksi tubuh manusia dalam senyapnya. Tak peduli umur, latar
belakang, status sosial, bahkan agama. Semua berada dalam kerentanan yang sama.
Dengan perkiraan tingkat
transmisi virus 1,4 – 2,5, sampai saat ini Covid-19 telah menginfeksi lebih
dari 245 ribu orang di seluruh dunia, 10 ribu diantara mereka terenggut jiwanya
(Worldometers.info, sampai 20 Maret).
Bukan saja menjerat tubuh orang
yang sudah positif, Covid-19 juga mengintimidasi psikologi manusia yang belum
terinfeksi. Panic buying, rasa was-was, takut bahkan stres menjadi pemandangan
baru yang belakangan masif menjejali beranda media sosial kita.
Semua sektor terdampak. Segala
aktivitas yang mengundang kerumunan manusia dibatalkan, mulai dari sekolah,
pertandingan olahraga, konser musik, seminar, pelatihan, bahkan agenda suci
seperti peribadatan turut terkena imbasnya.
Seperti yang telah kita ketahui
bersama, sholat Jum’at dan sholat berjamaah di beberapa negara dihentikan
sementara. Berharap dengan begitu virus tak semakin liar persebarannya. Umat
muslim kini menghadapi hari-hari tanpa shalat berjamaah.
“Shollu fii buyutikum.”
Begitu lantunan adzan yang bergema di banyak negeri belakangan ini. Kita
teringat saat panggilan itu dikumandangkan pertama kali di langit Kuwait
beberapa waktu lalu, sendu seketika menggelayut, lalu menjalar di hati umat
muslim seluruh dunia. Seturut menjalarnya video sang muadzin yang menangis itu
di jagat maya.
Ilustrasi sholat berjama'ah (sumber: wartamelayu.com) |
Kesedihan melanda kalbu orang
beriman, baik mereka yang memang rajin shalat berjamaah, maupun yang masih
terantuk di pintu niat. Yang rajin shalat berjamaah gundah karena corona
merenggut kesyahduan beribadah mereka. Tanpa berjamaah, seperti ada puzzle yang
hilang dalam keseharian mereka.
Sungguh beruntung mereka yang
disesak rindu untuk berjamaah. Baginya telah tercatat pahala apa-apa yang telah
dirutinkannya. Yang karena sebab pandemi corona ini, tidak dapat dilakoninya
amalan itu.
Mereka yang belum terbiasa
berjamaah juga bersedih, betapa selama ini kelalaian begitu mendominasi jiwa.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa ada gunungan niat baik yang belum
dieksekusi. Shalat berjamaah di masjid salah satunya.
Tetapi perasaan sedih itu tidak
selayaknya mengendalikan logika. Supaya dengan begitu akal sehat kita tidak
terkecoh oleh bujuk nafsu. Sehingga tidak ada lagi yang berujar “Kematian itu
pasti dan saya tidak takut corona. Lebih baik mati di dalam masjid, itu lebih
mulia. Jadi buat apa takut ke masjid?”
Pernyataan seperti ini juga tidak
pada tempatnya.
Pertama, karena corona tidak
menyebabkan mati mendadak layaknya peluru yang meluncur dari AK-47. Tertular di
masjid bukan jaminan ajalnya juga dijemput di masjid. Bisa jadi Malaikat Izrail
menemuinya di tempat lain.
Kedua, dan ini yang paling
penting, ulama telah memberi fatwa untuk menghentikan sementara shalat Jum’at
dan shalat berjamaah di masjid. Itulah yang semestinya menjadi rujukan kita.
Biar bagaimanapun ulama adalah pewaris para nabi. Padanya terjamin satu pahala
meski pendapatnya keliru. Dan baginya dua pahala atas kebenaran ijtihadnya.
Puluhan tahun mereka wakafkan
hidupnya untuk menekuni ilmu agama. Siang dan malam mereka baktikan diri untuk
Rabb-nya. Jika kepada mereka saja kita masih ragu, lalu kepada siapa lagi kita
mesti menyimpan kepercayaan?
Penulis jadi terkenang kisah
beberapa hari lalu. Ketika Arab Saudi mulai menghentikan shalat Jum’at dan
shalat berjamaah di masjid, beberapa orang yang tinggal di asrama mahasiswa
melaksanakan shalat berjamaah kecil-kecilan, sekira 5-10 orang. Tampak betul
keinginan kuat para penuntut ilmu itu untuk menyempurnakan pahala shalat.
Tetapi rupanya praktik inipun
tidak dibenarkan oleh para masyaikh. Karena hikmah dihentikannya shalat
berjamaah adalah untuk menghindari kontak dengan orang lain, sekecil apapun
unitnya. Supaya dengan itu penyebaran virus bisa ditekan. Ada maslahat yang lebih
besar yang diperjuangkan di situ.
Berangkat dari situ pula,
lamat-lamat saya teringat kisah Abdullah bin Ubay, gembong kaum munafik di
zaman Rasulullah ﷺ.
Syahdan ketika kaum muslimin
mendengar adanya rencana penyerangan kafir Quraisy ke Madinah, mereka terbelah
dalam dua pendapat. Kelompok pertama menganggap serangan itu sebaiknya dihadapi
di dalam kota. Abdullah bin Ubay termasuk di antaranya.
Sementara itu, sebagian sahabat
yang mayoritas kaum muda menghendaki agar serangan kafir Quraisy dihalau di
luar kota. Agar mereka tidak dianggap takut lagi kecut oleh Quraisy. Pada
akhirnya Rasulullah ﷺ mengambil pendapat
yang kedua dan kaum muslimin berangkat meninggalkan Madinah menuju Bukit Uhud.
Di tengah jalan, Abdullah bin
Ubay bersama sepertiga pasukan – yang sebagian besar adalah pengikutnya –
melakukan pembelotan. Mereka kembali ke Madinah dan meninggalkan kaum muslimin
yang sedang dalam perjalanan perang. Hal ini tentu sedikit banyak berpengaruh
pada mental kaum muslimin.
Kita semua tahu akhir kisah
Perang Uhud. Kaum muslimin kalah, Rasulullah ﷺ
hampir terbunuh, dan banyak sahabat yang menjadi syuhada.
Tetapi ada hikmah yang sangat
agung tercuplik dari kisah ini. Betapapun pedihnya, Perang Uhud telah mengajari
kaum muslimin tentang culasnya sifat para munafik.
Lalu apa hubungannya dengan
cerita shalat berjamaah di masa pandemi corona ini?
Bukan. Saya sama sekali bukan
sedang mengaitkan kisah para munafik dengan kekukuhan sebagian orang untuk
menjaga shalat berjamaah di masjid. Jauh dari itu, ada rasa iri yang mengintip
di lubuk hati saya atas ghirah beribadah yang membuncah dari saudara-saudara
kita itu.
Akan tetapi, kita juga sepatutnya
mewaspadai propaganda ini. Jangan sampai kondisi ini ditunggangi oleh
musuh-musuh yang memang senang melihat perpecahan umat Islam. Jangan biarkan
para pengikut Abdullah bin Ubay mencuri panggung di tengah kondisi kritis
seperti ini.
Sikap waspada dengan
mengedepankan prasangka baik diharapkan bisa selalu kita terapkan. Semoga
dengan begitu ada akhir yang indah di ujung masa paceklik ini.
Link bisa merujuk ke sini: https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2020/03/22/180294/hari-hari-tanpa-berjamaah.html
Mas apakah jenengan menerima konsultasi psilogis? Saya sedang butuh bantuan psikolog yang berlandaskan islam.
ReplyDeleteAfwan saya tidak punya lisensi psikolog
Delete