Ramadhan 1441 H menyisakan babak
final. Al-asyru al-awakhir yang biasa kita songsong dengan i’tikaf di
masjid tahun ini akan berbeda mengingat pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Mau
tidak mau, kita akan melepas bulan suci ini dari rumah sebagaimana kita
menyambutnya dulu.
Satu hal yang patut kita refleksikan
dari Ramadhan yang kita jalani #DiRumahAja adalah terkait outputnya. Allah
mewanti-wanti kita dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 bahwa tujuan puasa
adalah agar menjadi orang yang bertaqwa.
Taqwa memiliki rincian indikator yang sangat beragam, salah satunya
yang tersurat dalam Ali-Imran ayat 134. Allah berfirman:
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ
وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
“(yaitu) orang yang berinfak,
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat
kebaikan”
Ayat ini adalah penjelasan dari
ayat sebelumnya tentang surga yang Allah janjikan bagi para muttaqin. Dalam
ayat 134 di atas Allah menjelaskan bahwa salah satu indikator taqwa adalah “al-kadzimin
al-ghaydzha” yang diterjemahkan sebagai “orang-orang yang menahan amarah”.
Ilustrasi marah (sumber: pixabay.com)
Dalam bahasa Arab, selain
diartikan sebagai “orang yang menahan”, al-kadzim juga bisa bermakna
“penutup” dari suatu bejana. Kalau bejana telah ditutup dengan kadzim-nya,
maka tidak akan ada air yang keluar darinya. Bahkan meski hanya tanda-tanda
berupa tetesan.
Ibarat bejana, al-kadzimina
al-ghaydzha yang menjadi indikator taqwa juga adalah mereka yang mampu
mengendalikan diri dengan paripurna. Sehingga tidak ada kemarahan yang nampak meski
hanya berupa tanda-tanda. Tidak ada mata yang melotot, gigi yang gemeletuk, tangan
yang mengepal, apalagi kata yang menyayat.
Ini bukan berarti kemarahan itu tidak
ada sama sekali. Bukan itu. Sebagai manusia, Allah menganugerahkan kita
seperangkat emosi berupa senang, sedih, takut, duka, termasuk juga marah. Tanpa
adanya emosi hidup manusia akan hambar, hubungan interpersonal akan kaku, dan
drama Korea tidak akan digandrungi.
Akan tetapi, dengan emosi itu
juga manusia diuji. Bagaimana manusia mengekspresikan emosi bisa menjadi
kebaikan atau keburukan untuk dirinya. Dalam hal ini, Allah menjadikan marah
sebagai penguji ketaqwaan seorang hamba.
Ketika manusia marah, sejatinya
ia bukan hanya berpotensi mendzhalimi orang lain, melainkan juga dirinya
sendiri. Saat marah, otot tubuh manusia akan menegang, detak jantung meningkat,
tekanan darah naik, dan napas memburu.
Di dalam otak orang yang marah,
korteks sebagai pusat logika terpinggirkan perannya, diganti oleh amigdala
sebagai pusat emosi. Masalahnya amigdala beraksi tanpa memperhatikan
konsekuensinya karena bagian ini tidak terlibat dalam menilai, berpikir atau
mengevaluasi.
Oleh karena itu, marah yang
dituruti akan membuat manusia kehilangan kontrol atas dirinya sehingga kadang
mereka tega melakukan kekejaman. Setelah marah itu reda, yang artinya korteks
kembali mengambil alih, barulah mereka menyesali perbuatannya. Hal itu biasanya
ditandai dengan kalimat pamungkas “Maaf, saya khilaf”.
Menahan amarah memang tidak
mudah. Ketidakmudahan itu bahkan dijadikan acuan kekuatan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Dalam haditsnya yang mulia beliau bersabda:
“Bukanlah orang yang kuat itu
orang yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai
dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullaah shallallahu alaihi
wa sallam memahami betul bahwa perang terberat bagi manusia adalah melawan
hawa nafsu karena perang ini akan terus berkecamuk hingga ajal menjemput. Hal
itu dipersulit dengan sikap kita yang cenderung sayang kepada diri sendiri
sehingga apa-apa yang bersumber dari hawa nafsu seringkali dituruti.
Padahal jika mau bersabar, hanya
butuh 20 menit bagi amarah itu untuk reda (Fennely, Benau, Atchley, 2016). Dua
puluh menit yang akan sangat membedakan, apakah kita hidup dengan penyesalan
karena menuruti kemarahan atau bahagia karena mendahulukan kesabaran.
Covid-19 dan Potensi Ibadah
Ramadhan Kita
Secara teori, Ramadhan di rumah
semestinya bisa dilalui dengan lebih mudah karena akses terhadap godaan yang
berseliweran di luar rumah menjadi terbatas. Lebih dari itu, rupa-rupa stressor
yang berpotensi membuat kita naik darah juga seharusnya semakin terminimalisir.
Entah itu stressor di sekolah, kampus, kantor atau jalan.
Artinya kita telah terkondisikan
sedemikian rupa agar berhasil menjalani ibadah di bulan suci ini. Setan
terbelenggu, lingkungan terkondisikan. Sempurna sudah.
Akan tetapi teori tinggallah
teori. Kadang ia hanya berkelebat di alam pikiran, menggumpal dalam bentuk
niat, tanpa mewujud dalam laku keseharian. Marah yang das sollen-nya tak
akan mudah terpantik sewaktu Ramadhan #DiRumahAja, toh akhirnya menggejala
juga.
Ragam stressor harian yang hilang
selama #DiRumahAja tersubstitusi dengan stressor lain. Entah mengapa ada saja
hal-hal yang memantik tensi, entah itu tugas sekolah anak yang butuh
pendampingan, perilaku pasangan yang kadang bikin pening, atau tetek bengek
lainnya.
Saya ingat dulu di awal-awal
seruan work from home ada banyak meme yang beredar, salah satunya meme
transformasi wujud ibu. Hari pertama work from home ibu dianalogikan
sebagai boneka yang begitu ramah membersamai anak.
Akan tetapi suka cita itu hanya
bertahan di hari pertama saja, karena di hari kedua dan ketiga ibu berubah menjadi
macan dan T-Rex. Puncaknya setelah seminggu lebih ibu diibaratkan sebagai naga
yang menyemburkan api.
Ya, tentu itu hanya metafora
belaka. Tetapi saya rasa ada realitas yang terkandung juga dalam meme tersebut.
Bahwa mempertahankan emosi yang socially desirable bukanlah pekerjaan
mudah. Oleh karena itu, menahan amarah digolongkan sebagai ciri ketaqwaan yang
beroleh surga. Karena memang susah mempraktekannya. Kalau mudah, mungkin cuma
payung cantik hadiahnya.
Di Ramadhan yang telah memasuki
sepertiga akhir ini, mari bersama kita tafakuri, adakah cerminan al-kadzimina
al-ghaydzha dalam diri kita?
Dimuat di https://www.voa-islam.com/read/world-analysis/2020/05/16/71855/puasa-dan-belenggu-amarah/
0 comments:
Post a Comment