Setelah terkatung-katung dalam
ketidakpastian, pemerintah melalui Kementerian Agama akhirnya secara resmi batal
memberangkatkan jemaah haji tahun 1441 H.
Memang bukan keputusan yang
mudah, apalagi jika melihat antusiasme masyarakat yang rela antri puluhan tahun
demi menunaikan rukun Islam kelima ini. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, keputusan
yang tidak populis ini terpaksa diambil.
Penampakan Masjidil Haram saat Lockdown (sumber: idxchannel.com) |
Seperti yang sudah diduga, reaksi
keras publik segera bermunculan setelah pengumuman tersebut. Apalagi pembatalan
dilakukan tanpa menunggu keputusan dari Arab Saudi selaku tuan rumah
penyelenggaraan haji.
“Setidaknya pemerintah bersabar
menunggu keputusan dari Arab Saudi, apakah meniadakan haji atau tidak. Jangan
mengambil keputusan sepihak” kurang lebih begitu salah satu bentuk protes
masyarakat.
“Jangan-jangan uangnya mau
dipakai untuk menanggulangi corona dan ekonomi yang nyungsep” ujar spekulasi
yang lain.
Kekecewaan yang dibumbui
spekulasi liar publik sangat beralasan, terlebih hasil survei Indikator Politik
Indonesia menunjukkan adanya penurunan kepuasan publik terhadap langkah
pemerintah dalam menangani Covid-19 (Tempo.co, 7/6). Rendahnya kepuasan ini
pada akhirnya menjadi pemantik rupa-rupa praduga.
Meski demikian, pemerintah tentu
memiliki deret pertimbangan sebelum mengambil keputusan sulit ini. Salah satu
yang menjadi pertimbangan utama tentu saja masalah kesehatan. Biar
bagaimanapun, mengirimkan jemaah ke tanah suci di tengah pandemi yang belum
dapat dikendalikan adalah pilihan yang sangat beresiko.
Jemaah haji Indonesia yang
jumlahnya mencapai 221.000 orang akan berjubel dengan 2 juta jemaah lain dari
seluruh dunia (dengan asumsi semua negara tidak membatalkan haji). Jika satu
orang saja terinfeksi corona, tidak terbayang malapetaka seperti apa yang akan
terjadi.
Begini, ibadah haji adalah salah
satu ibadah yang pengelolaannya paling rumit. Dalam kondisi normal saja,
kesalahan sekecil apapun bisa jadi bencana besar. Rentetan tragedi Mina adalah
salah satu contohnya. Tragedi Mina terakhir tahun 2015 yang merenggut 453
korban jiwa terjadi “hanya” karena dorong mendorong antar jemaah.
Itu dalam kondisi normal. Tidak
ada variabel lain yang membahayakan seperti Covid-19. Lalu akan seperti apa
jadinya jika ada virus mematikan ikut campur merecoki ibadah ini?
Di sisi lain, Arab Saudi sendiri
masih berjibaku melawan Covid-19. Jumlah kasus terkonfirmasi per tanggal 9 Juni
masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 108.571 kasus. Pemberlakuan new normal yang dimulai
bertahap sejak tanggal 28 Mei rupanya berimplikasi pada peningkatan kurva
Covid-19 yang sempat melandai.
Lebih dari itu, pemerintah Arab
Saudi masih memberlakukan lockdown bagi kota Mekkah di saat kota-kota lain
mulai bergeliat menuju kenormalan baru. Mekkah memang menjadi salah satu kota
dengan kasus Covid-19 terbanyak setelah Riyadh (Ministry of Health KSA, 9/6).
Keadaan ini menjadi sangat riskan mengingat sebagian besar aktivitas haji
terpusat di Mekkah.
Selain faktor kesehatan,
sempitnya waktu persiapan juga menjadi pertimbangan serius pemerintah dalam
memutuskan pembatalan haji tahun ini. Belum adanya kepastian haji dari Arab
Saudi membuat langkah pemerintah dalam mempersiapkan haji sangat terbatas.
Orang bijak bilang, “gagal
mempersiapkan sama artinya dengan mempersiapkan kegagalan.” Dalam keadaan
normal, tiga bulan sebelum musim haji adalah masa-masa krusial, baik bagi
jemaah maupun bagi pemerintah.
Jemaah memerlukan program manasik
dan persiapan lain untuk mematangkan pelaksanaan ibadah di tanah suci. Adapun
pemerintah perlu menyempurnakan detil demi kelancaran ibadah para jemaah.
Beberapa persiapan mungkin bisa dilakukan sambil menunggu kepastian, tapi
hal-hal yang sifatnya sangat teknis menjadi mandeg karena belum ada lampu hijau
dari tuan rumah.
Dengan sisa waktu yang kurang
dari tiga minggu, sangat sulit bagi pemerintah untuk menyiapkan urusan-urusan
tersebut. Apalagi di tengah pandemi seperti ini ada protokol kesehatan yang
harus dilaksanakan, seperti karantina sebelum keberangkatan. Menteri Agama
menyatakan bahwa untuk mengarantina jemaah Indonesia, dibutuhkan setidaknya 28
hari.
Itu baru teknis sebelum
pemberangkatan, urusan teknis selama pelaksanaan haji beda lagi perkaranya.
Saya yang pernah menjadi bagian dari PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji)
cukup mengetahui bagaimana rumitnya pengelolaan selama hari H.
Dalam kondisi normal, lautan
manusia yang berdesakan satu sama lain baik ketika thawaf, lempar jumroh,
maupun prosesi lainnya tidak bisa terelakkan. Meski ada instruksi dan imbauan
dari petugas untuk menjaga ketertiban, tapi tidak semua jemaah mematuhinya.
Banyak hal bisa menjadi
penyebabnya, baik faktor internal jemaah maupun eksternal. Faktor internal
misalnya karena ketidaktauan jemaah atau kurangnya kesadaran mereka.
Kurangnya kesadaran itu bisa juga
dipicu karena faktor eksternal, misalnya suhu Arab Saudi yang pada musim haji
belakangan ini selalu berkisar 45 derajat celcius. Di bawah kondisi cuaca yang
sebegitu panasnya, sudah menjadi naluri manusia untuk mencari cara tercepat
untuk ‘mengevakuasi diri’. Sehingga petugas yang jumlahnya sangat terbatas pun
kewalahan menanganinya.
Karena itu, meski nantinya ada
penerapan protokol Covid-19, saya tidak yakin hal itu akan banyak membantu. Maka
dari itu, menunda keberangkatan haji hingga tahun berikutnya (atau sampai
keadaan kondusif) menurut saya adalah jalan terbaik.
Toh dalam kondisi seperti ini,
para ulama sepakat bahwa menjaga jiwa (hifz al-nafs) harus diutamakan.
Karena tujuan dari setiap syariat (maqashid al-syariah) sejatinya untuk
meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Jangan sampai ibadah yang
niatnya baik justru menjadi bencana karena hal-hal yang sebenarnya bisa
ditangkal.
Adapun mengenai dana jemaah yang
dikhawatirkan “disalahgunakan”, Anggito Abimanyu selaku kepala BPKH (Badan
Pengelola Keuangan Haji) telah menegaskan bahwa dana tersebut aman dan tidak
akan digunakan kecuali untuk kepentingan jemaah. Semoga janji tersebut dapat
dijaga dan amanah yang berat ini dapat diemban dengan sebaik-baiknya.
*tulisan ini dimuat di The Columnist (klik di sini).
0 comments:
Post a Comment