June 25, 2020

Tepatkah Pemerintah Batalkan Haji?


Setelah terkatung-katung dalam ketidakpastian, pemerintah melalui Kementerian Agama akhirnya secara resmi batal memberangkatkan jemaah haji tahun 1441 H.

Memang bukan keputusan yang mudah, apalagi jika melihat antusiasme masyarakat yang rela antri puluhan tahun demi menunaikan rukun Islam kelima ini. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, keputusan yang tidak populis ini terpaksa diambil.
Penampakan Masjidil Haram saat Lockdown (sumber: idxchannel.com)
Seperti yang sudah diduga, reaksi keras publik segera bermunculan setelah pengumuman tersebut. Apalagi pembatalan dilakukan tanpa menunggu keputusan dari Arab Saudi selaku tuan rumah penyelenggaraan haji.

“Setidaknya pemerintah bersabar menunggu keputusan dari Arab Saudi, apakah meniadakan haji atau tidak. Jangan mengambil keputusan sepihak” kurang lebih begitu salah satu bentuk protes masyarakat.

“Jangan-jangan uangnya mau dipakai untuk menanggulangi corona dan ekonomi yang nyungsep” ujar spekulasi yang lain.

Kekecewaan yang dibumbui spekulasi liar publik sangat beralasan, terlebih hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan adanya penurunan kepuasan publik terhadap langkah pemerintah dalam menangani Covid-19 (Tempo.co, 7/6). Rendahnya kepuasan ini pada akhirnya menjadi pemantik rupa-rupa praduga.

Meski demikian, pemerintah tentu memiliki deret pertimbangan sebelum mengambil keputusan sulit ini. Salah satu yang menjadi pertimbangan utama tentu saja masalah kesehatan. Biar bagaimanapun, mengirimkan jemaah ke tanah suci di tengah pandemi yang belum dapat dikendalikan adalah pilihan yang sangat beresiko.

Jemaah haji Indonesia yang jumlahnya mencapai 221.000 orang akan berjubel dengan 2 juta jemaah lain dari seluruh dunia (dengan asumsi semua negara tidak membatalkan haji). Jika satu orang saja terinfeksi corona, tidak terbayang malapetaka seperti apa yang akan terjadi.

Begini, ibadah haji adalah salah satu ibadah yang pengelolaannya paling rumit. Dalam kondisi normal saja, kesalahan sekecil apapun bisa jadi bencana besar. Rentetan tragedi Mina adalah salah satu contohnya. Tragedi Mina terakhir tahun 2015 yang merenggut 453 korban jiwa terjadi “hanya” karena dorong mendorong antar jemaah.

Itu dalam kondisi normal. Tidak ada variabel lain yang membahayakan seperti Covid-19. Lalu akan seperti apa jadinya jika ada virus mematikan ikut campur merecoki ibadah ini?

Di sisi lain, Arab Saudi sendiri masih berjibaku melawan Covid-19. Jumlah kasus terkonfirmasi per tanggal 9 Juni masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 108.571 kasus. Pemberlakuan new normal yang dimulai bertahap sejak tanggal 28 Mei rupanya berimplikasi pada peningkatan kurva Covid-19 yang sempat melandai.

Lebih dari itu, pemerintah Arab Saudi masih memberlakukan lockdown bagi kota Mekkah di saat kota-kota lain mulai bergeliat menuju kenormalan baru. Mekkah memang menjadi salah satu kota dengan kasus Covid-19 terbanyak setelah Riyadh (Ministry of Health KSA, 9/6). Keadaan ini menjadi sangat riskan mengingat sebagian besar aktivitas haji terpusat di Mekkah.

Selain faktor kesehatan, sempitnya waktu persiapan juga menjadi pertimbangan serius pemerintah dalam memutuskan pembatalan haji tahun ini. Belum adanya kepastian haji dari Arab Saudi membuat langkah pemerintah dalam mempersiapkan haji sangat terbatas.

Orang bijak bilang, “gagal mempersiapkan sama artinya dengan mempersiapkan kegagalan.” Dalam keadaan normal, tiga bulan sebelum musim haji adalah masa-masa krusial, baik bagi jemaah maupun bagi pemerintah.

Jemaah memerlukan program manasik dan persiapan lain untuk mematangkan pelaksanaan ibadah di tanah suci. Adapun pemerintah perlu menyempurnakan detil demi kelancaran ibadah para jemaah. Beberapa persiapan mungkin bisa dilakukan sambil menunggu kepastian, tapi hal-hal yang sifatnya sangat teknis menjadi mandeg karena belum ada lampu hijau dari tuan rumah.

Dengan sisa waktu yang kurang dari tiga minggu, sangat sulit bagi pemerintah untuk menyiapkan urusan-urusan tersebut. Apalagi di tengah pandemi seperti ini ada protokol kesehatan yang harus dilaksanakan, seperti karantina sebelum keberangkatan. Menteri Agama menyatakan bahwa untuk mengarantina jemaah Indonesia, dibutuhkan setidaknya 28 hari.

Itu baru teknis sebelum pemberangkatan, urusan teknis selama pelaksanaan haji beda lagi perkaranya. Saya yang pernah menjadi bagian dari PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) cukup mengetahui bagaimana rumitnya pengelolaan selama hari H.

Dalam kondisi normal, lautan manusia yang berdesakan satu sama lain baik ketika thawaf, lempar jumroh, maupun prosesi lainnya tidak bisa terelakkan. Meski ada instruksi dan imbauan dari petugas untuk menjaga ketertiban, tapi tidak semua jemaah mematuhinya.

Banyak hal bisa menjadi penyebabnya, baik faktor internal jemaah maupun eksternal. Faktor internal misalnya karena ketidaktauan jemaah atau kurangnya kesadaran mereka.

Kurangnya kesadaran itu bisa juga dipicu karena faktor eksternal, misalnya suhu Arab Saudi yang pada musim haji belakangan ini selalu berkisar 45 derajat celcius. Di bawah kondisi cuaca yang sebegitu panasnya, sudah menjadi naluri manusia untuk mencari cara tercepat untuk ‘mengevakuasi diri’. Sehingga petugas yang jumlahnya sangat terbatas pun kewalahan menanganinya.

Karena itu, meski nantinya ada penerapan protokol Covid-19, saya tidak yakin hal itu akan banyak membantu. Maka dari itu, menunda keberangkatan haji hingga tahun berikutnya (atau sampai keadaan kondusif) menurut saya adalah jalan terbaik.

Toh dalam kondisi seperti ini, para ulama sepakat bahwa menjaga jiwa (hifz al-nafs) harus diutamakan. Karena tujuan dari setiap syariat (maqashid al-syariah) sejatinya untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Jangan sampai ibadah yang niatnya baik justru menjadi bencana karena hal-hal yang sebenarnya bisa ditangkal.

Adapun mengenai dana jemaah yang dikhawatirkan “disalahgunakan”, Anggito Abimanyu selaku kepala BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) telah menegaskan bahwa dana tersebut aman dan tidak akan digunakan kecuali untuk kepentingan jemaah. Semoga janji tersebut dapat dijaga dan amanah yang berat ini dapat diemban dengan sebaik-baiknya.

*tulisan ini dimuat di The Columnist (klik di sini).

0 comments:

Post a Comment