Berikut tulisan saya yang dimuat di detik.com tanggal 12 November 2019. Untuk melihat halaman aslinya, bisa klik disini.
***
Alkisah di suatu negeri terdapat
dua jago yang saling beradu menjadi raja. Jago pertama, sebutlah Si Kurus,
berwatak kalem dengan perawakan yang sangat mewakili rakyat. Banyak rakyat
simpati dengan Si Kurus dan menaruh harapan yang tinggi bahwa kelak setelah
terpilih, dia akan bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib wong cilik.
Lawannya adalah Si Gemuk yang
berkepribadian tegas lagi pandai dalam urusan perang. Pendukungnya juga tidak
kalah banyak. Ciri, sifat, dan pengetahuan Si Gemuk sangat mewakili karakter
pemimpin ideal. Negeri akan maju dan aman jika dipimpin orang seperti dia.
Begitu kira-kira pendukungnya berlogika.
Dengan basis massa yang hampir
imbang, negeri itu terbelah sempurna menjadi dua kutub. Keduanya sama-sama
militan dengan kadar melebihi apapun. Masing-masing pendukung haqqul yaqin
bahwa jago merekalah yang akan memenangkan pertarungan. Negeri panas membara.
Tidak pernah sebelumnya perebutan kursi raja sepanas itu.
Singkat cerita, Si Kurus keluar
sebagai pemenang pertarungan. Si Gemuk beserta pendukungnya tidak percaya,
merasa dicurangi oleh Si Kurus dan kroninya. Didatanginya hakim untuk menggugat
kemenangan Si Kurus. Tapi upaya Si Gemuk menemui jalan buntu; hakim membenarkan
kemenangan Si Kurus.
Pendukung Si Kurus bersorak.
Massa Si Gemuk bukan main kecewanya. Tapi sorak sorai serta kekecewaan tersebut
seketika ambyar saat kisah perseteruan dua orang itu menemui ujungnya. Si Kurus
menjadikan Si Gemuk hulubalang. Ini adalah akhir yang absurd, yang membuat
masing-masing pendukung kecewa mengkerut. Tak dinyana, perseteruan dua orang
yang menjalar hingga pelosok desa rupanya dagelan semata.
***
Ketika sejarawan Inggris, Lord
Acton mendalilkan power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely, mungkin dia tidak menduga kalau kemudian dalilnya itu akan
menyejarah. Kalimat itu adalah kutipan surat Acton kepada seorang uskup
berdasarkan keresahannya terhadap kekuasaan pemimpin politik dan agama.
Kata orang, resah adalah perkara
hati dan hati pantang berbohong. Hampir seabad setelah surat menyurat dua
sejawat itu, dalil Acton menemukan muara ilmiahnya. Seorang psikolog sosial
bernama Philip Zimbardo menyegel validitas dalil tersebut, meski sebenarnya
penelitian Zimbardo tidak ada kaitan langsungnya dengan Acton.
Eksperimen Penjara Stanford,
demikian proyek itu diberi nama. Zimbardo ingin cari tahu, bagaimana rupa hidup
orang-orang yang ditempatkan dalam penjara buatan. Subjeknya mahasiswanya
sendiri, yang lurus tiada cacat kriminal, juga sehat fisik dan psikologis.
Ilustrasi penjara (sumber: pixabay.com) |
Dengan mengacu pada sistem
bermain peran (role play), Zimbardo membagi subjeknya menjadi dua, kubu sipir
dan narapidana. Kemudian meminta mereka untuk menginap selama 14 hari di kampus
yang telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai penjara. Gelap,
pengap, tanpa jendela.
Meski direncanakan 14 hari, tapi
eksperimen tersebut terpaksa harus disudahi pada hari keenam karena perilaku
para mahasiswa yang berperan sebagai sipir berubah menjadi semakin bengis.
Mereka semakin berani melakukan tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal,
kepada lawan mainnya yakni para mahasiswa yang menjadi narapidana. Seolah-olah
lupa bahwa itu hanya permainan peran belaka, antarteman sesama mahasiswa pula.
Zimbardo memberi simpulan: tempat
dengan ketimpangan kekuasaan yang tinggi cenderung menjadi tempat yang brutal
lagi kasar, kecuali ada agen pengontrol yang mengendalikan impulsivitas
penguasa. Dia menambahkan, "Bukannya kita menempatkan apel yang buruk
dalam keranjang yang baik. Kami menaruh apel yang baik di keranjang yang buruk.
Lalu keranjang merusak apa pun yang disentuhnya."
***
Rakyat di negeri antah berantah
tadi boleh jadi kecewa dengan akhir kisah perseteruan dua jago mereka. Tapi
meski demikian, sebenarnya bukan kekecewaan itu sendiri yang paling dicemaskan.
Toh mereka sudah berkali-kali melalui kontestasi pemilihan raja seperti itu;
kalah-menang urusan biasa. Mereka gelisah karena adanya persekutuan dua
kekuatan besar yang dapat menghasilkan kekuasaan absolut. Itu yang membuat
mereka panas-dingin.
Kekhawatiran rakyat sejatinya
sangat beralasan, terlebih mereka memiliki sejarah otoritarianisme yang panjang
dan kelam di negeri tersebut. Dulu mereka pernah dipimpin para diktator sebelum
akhirnya perlawanan rakyat menumbangkan si rezim kotor. Meski telah tumbang,
tapi luka traumatik telanjur menumpuk dalam memori kolektif mereka.
Rakyat juga wajar curiga. Ketika
koalisi terbentuk secara bulat, akan mudah bagi penguasa untuk menggalang
kekuatan demi melakukan amandemen. Jangan-jangan ada upaya mengubah masa
jabatan raja menjadi lebih panjang? Begitu kira-kira salah satu keresahan yang
menjalar di ruang publik negeri tersebut. Kalau benar demikian, berarti mereka
akan kembali ke zaman otoriter dulu. Padahal sudah banyak martir yang berkorban
demi menumbangkan rezim itu.
Memang narasi yang disampaikan
penguasa atas pembentukan koalisi mereka isinya indah, tentang persatuan. Kalian
rakyat jangan ribut-ribut melulu. Sudah terlalu banyak energi kita terbuang
dengan keributan saat kontestasi. Sekarang mari kita bersatu memajukan negeri.
Contohlah kami, tidak ada lagi permusuhan. Jangan dikira akurnya kami adalah
kompromi pembagian kue ya. Oh, harum betul logika penguasa!
Tetapi Zimbardo telah mengajarkan
kita bahwa kekuasaan tanpa pengawas akan sama tragisnya dengan kisah sipir dan
narapidana. Karena kekuasaan absolut bersifat merusak. Jika dalam bermain peran
saja orang bisa hanyut menjadi kejam ketika diberi kuasa, apalah jadinya kalau
itu memang kehidupan nyata?
Ingat, yang buruk bukan apelnya,
tapi keranjang yang dapat membusukkan apapun yang disentuhnya. Kita tidak
sedang menuduh penguasa bermental korup, tapi kekuasaan absolut itulah yang
mengkorupsi moral sesiapa yang bersinggungan dengannya.
Tulisan ini dimulai dengan kata
pembuka "alkisah" agar pembaca percaya bahwa ini hanyalah dongeng
pengantar tidur. Tapi rasanya pembaca juga telah tahu bahwa dongeng zaman
sekarang juga seringkali dibuka dengan kalimat, "Kalau saya terpilih
nanti...."
0 comments:
Post a Comment