Izinkan saya mengajak anda
kembali ke masa lampau, sekira tahun 1920-an, zaman ketika Belanda masih
menghisap Indonesia.
Anggaplah anda sebagai salah satu
orang yang beruntung mampu bersekolah hingga tingkat Algemene Middlebare
School (AMS – setara SMA masa kini). Diajar oleh meneer berbahasa Belanda,
bertemankan sinyo dan noni serta putra mahkota para pejabat. Sedangkan anda
hanyalah anak pegawai rendah yang sekolah dengan bantuan beasiswa. Datang jauh
dari pelosok pula!
Kalau ada rasa rendah diri dan
terasing dengan lingkungan yang demikian saya bisa memaklumi. Yang demikian itu
stresornya memang terlalu besar untuk tubuh kita yang kecil. Tetapi ternyata
tidak demikian bagi Mohammad Natsir. Sosok yang kemudian dikenal sebagai Bapak
NKRI ini memiliki kebesaran jiwa dan semangat yang jauh melampaui apapun.
Sehingga rupa-rupa stresor tak menjadikannya ciut dan kecut.
Mohammad Natsir (sumber: antaranews.com) |
Pernah suatu ketika, oleh gurunya
yang orang Belanda itu, Natsir ditantang menulis makalah tentang pengaruh
penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Si Meneer memang
bukan main sinisnya pada pergerakan politik kaum nasionalis. Dan sinisme itu
dia tunjukkan tanpa tedeng aling-aling dengan memberikan tugas maha sulit
kepada anak setara kelas 2 SMA.
Ingat, peristiwa itu terjadi tahun
1920-an. Jangan konyol membayangkan komputer dan Google dengan mesin
pencariannya yang canggih seperti sekarang. Di zaman itu, bisa memiliki mesin
ketik saja sudah sangat istimewa. Jadi sebenarnya penugasan dari Si Meneer
tidak lain adalah upaya membungkam bising para nasionalis. Karena mustahil
dituntaskan.
Baca selengkapnya di sini https://thecolumnist.id/artikel/mohammad-natsir-dan-jejak-remaja-ideal-332
0 comments:
Post a Comment