Kita mungkin pernah melihat orang
berdoa dengan sangat khusyuk. Saking khusyuknya, air matanya berderai membasahi
wajah. Hingga membuat kita yang melihat menjadi iba dan membatin, “betapa berat
ujian yang (mungkin) sedang ia alami”. Atau di lain waktu, rasa iri yang mungkin
hadir lebih mendominasi dalam hati, “kapan saya bisa berdoa se-khusyuk itu?”.
Sayangnya, walaupun kita menangis
tersedu-sedan dalam doa, hingga cairan hidung pun ikut meleleh karenanya,
ternyata hal itu belum bisa dijadikan tolok ukur kualitas doa kita. Setidaknya,
itu yang guru saya katakan.
Ya, mungkin kita menangis dalam
doa, tapi di saat yang sama kita juga patut bertanya, untuk apa kita menangis?
Apakah tangisan itu murni karena takut kepada Allah atau karena hal lain? Di
saat menangis itu, mungkin kita justru lebih menikmati tangisan daripada
munajat kepada Allah, sehingga rasa ujub datang tak disadari. Merasa bangga
sudah berlinangan air mata, padahal tidak ada yang didapat selain nafsu diri
yang terpuaskan. Ujung-ujungnya, kita berusaha mengawet-awetkan tangisan agar kita
bisa menikmatinya lebih lama.
Masyaallah… Ternyata perkara
tangis-menangis tidak sesederhana yang saya kira. Dan saya pun semakin takjub
dengan guru saya karena dalamnya ilmu beliau.
Menangis dalam doa, jika ditinjau
dari penyebabnya, terbagi atas dua tipe, yaitu menangis karena beratnya masalah
dan menangis karena ingat dosa. Kedua tangisan ini akan berpengaruh pada
cepat-tidaknya keperihan yang dirasakan dari masalah yang sedang dihadapi. Oke,
agar lebih mudah dipahami, saya berikan contohnya saja.
Misal, fulan di-PHK dari
kantornya. Kebetulan setelah PHK itu, ia sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah
berbulan-bulan ia mencari dan sudah berpuluh-puluh pekerjaan dilamarnya, tapi
belum menemukan jalannya juga. Sehingga semua sumber daya yang ia miliki
sedikit demi sedikit habis untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Tabungan,
laptop, dan benda-benda kesayangannya
terpaksa ia jual karena sudah tidak memiliki uang lagi.
Ujian ini terasa sangat perih,
hingga ia berdoa tersedu sedan, “Ya Allah, mengapa ujian yang Engkau berikan
kepada hamba seberat ini? Harta benda yang hamba miliki sudah hampir habis
untuk mencukupi kebutuhan hamba. Tolong berikan hamba pekerjaan agar hamba bisa
mencukupi kebutuhan hidup hamba tanpa membebani orang lain”.
Selintas doa itu terdengar wajar
dilantunkan dan tidak ada kesalahan dengan meminta seperti itu. Toh, ia meminta
pekerjaan karena ia tidak mau membebani orang lain. Akan tetapi, doa seperti
ini akan membuatnya semakin lama merasakan keperihan karena orientasinya adalah
masalah, yaitu PHK dan sulit mendapat kerja. Lain halnya jika orientasinya
terpusat pada dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan ketika punya
pekerjaan.
Misal doa fulan begini, “Ya
Allah, Engkau tau bagaimana hati hamba selama ini. Hamba lebih merasa aman
dengan tabungan yang hamba miliki daripada aman dengan jaminan-Mu. Engkau tau
bagaimana kotornya mata hamba ketika memiliki laptop. Engkau tau bagaimana
sombongnya hamba ketika diberi kelebihan rezeki. Ampuni dosa-dosa hamba Ya
Allah. Tuntun hamba untuk kembali ke jalan-Mu”.
Jika sedu sedan fulan disebabkan
oleh dosa-dosanya, niscaya perihnya masalah tidak akan berlangsung lama.
Mungkin masalahnya masih ada, tapi hatinya dibuat tenang dalam menghadapi
masalah tersebut. Tidak gelisah dan mudah mengeluh ke makhluk karena yang dia
ingat adalah dosa dan maksiat. Sehingga perhatian fulan terfokus pada upaya
pembersihan diri.
Hingga suatu saat nanti, ketika fulan
benar-benar sudah lulus ujian ini, Allah akan mengembalikan lagi “harta” fulan.
Bedanya, hati fulan sudah tidak terpaut lagi ke “harta” tersebut sehingga hal
itu tidak terlalu menarik baginya.
Wallahu a’lam bishawab.
#wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment