September 20, 2013

Menangis

Kita mungkin pernah melihat orang berdoa dengan sangat khusyuk. Saking khusyuknya, air matanya berderai membasahi wajah. Hingga membuat kita yang melihat menjadi iba dan membatin, “betapa berat ujian yang (mungkin) sedang ia alami”. Atau di lain waktu, rasa iri yang mungkin hadir lebih mendominasi dalam hati, “kapan saya bisa berdoa se-khusyuk itu?”. 

Sayangnya, walaupun kita menangis tersedu-sedan dalam doa, hingga cairan hidung pun ikut meleleh karenanya, ternyata hal itu belum bisa dijadikan tolok ukur kualitas doa kita. Setidaknya, itu yang guru saya katakan.
Ilustrasi Menangis (sumber: ecr.co.za)

Ya, mungkin kita menangis dalam doa, tapi di saat yang sama kita juga patut bertanya, untuk apa kita menangis? Apakah tangisan itu murni karena takut kepada Allah atau karena hal lain? Di saat menangis itu, mungkin kita justru lebih menikmati tangisan daripada munajat kepada Allah, sehingga rasa ujub datang tak disadari. Merasa bangga sudah berlinangan air mata, padahal tidak ada yang didapat selain nafsu diri yang terpuaskan. Ujung-ujungnya, kita berusaha mengawet-awetkan tangisan agar kita bisa menikmatinya lebih lama.

Masyaallah… Ternyata perkara tangis-menangis tidak sesederhana yang saya kira. Dan saya pun semakin takjub dengan guru saya karena dalamnya ilmu beliau.

Menangis dalam doa, jika ditinjau dari penyebabnya, terbagi atas dua tipe, yaitu menangis karena beratnya masalah dan menangis karena ingat dosa. Kedua tangisan ini akan berpengaruh pada cepat-tidaknya keperihan yang dirasakan dari masalah yang sedang dihadapi. Oke, agar lebih mudah dipahami, saya berikan contohnya saja.

Misal, fulan di-PHK dari kantornya. Kebetulan setelah PHK itu, ia sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan ia mencari dan sudah berpuluh-puluh pekerjaan dilamarnya, tapi belum menemukan jalannya juga. Sehingga semua sumber daya yang ia miliki sedikit demi sedikit habis untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Tabungan, laptop,  dan benda-benda kesayangannya terpaksa ia jual karena sudah tidak memiliki uang lagi.

Ujian ini terasa sangat perih, hingga ia berdoa tersedu sedan, “Ya Allah, mengapa ujian yang Engkau berikan kepada hamba seberat ini? Harta benda yang hamba miliki sudah hampir habis untuk mencukupi kebutuhan hamba. Tolong berikan hamba pekerjaan agar hamba bisa mencukupi kebutuhan hidup hamba tanpa membebani orang lain”.

Selintas doa itu terdengar wajar dilantunkan dan tidak ada kesalahan dengan meminta seperti itu. Toh, ia meminta pekerjaan karena ia tidak mau membebani orang lain. Akan tetapi, doa seperti ini akan membuatnya semakin lama merasakan keperihan karena orientasinya adalah masalah, yaitu PHK dan sulit mendapat kerja. Lain halnya jika orientasinya terpusat pada dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan ketika punya pekerjaan.

Misal doa fulan begini, “Ya Allah, Engkau tau bagaimana hati hamba selama ini. Hamba lebih merasa aman dengan tabungan yang hamba miliki daripada aman dengan jaminan-Mu. Engkau tau bagaimana kotornya mata hamba ketika memiliki laptop. Engkau tau bagaimana sombongnya hamba ketika diberi kelebihan rezeki. Ampuni dosa-dosa hamba Ya Allah. Tuntun hamba untuk kembali ke jalan-Mu”.

Jika sedu sedan fulan disebabkan oleh dosa-dosanya, niscaya perihnya masalah tidak akan berlangsung lama. Mungkin masalahnya masih ada, tapi hatinya dibuat tenang dalam menghadapi masalah tersebut. Tidak gelisah dan mudah mengeluh ke makhluk karena yang dia ingat adalah dosa dan maksiat. Sehingga perhatian fulan terfokus pada upaya pembersihan diri.

Hingga suatu saat nanti, ketika fulan benar-benar sudah lulus ujian ini, Allah akan mengembalikan lagi “harta” fulan. Bedanya, hati fulan sudah tidak terpaut lagi ke “harta” tersebut sehingga hal itu tidak terlalu menarik baginya.

Wallahu a’lam bishawab.

#wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment