Di setiap pagi saya, hampir
selalu ada kopi yang menyertai. Mulut saya tersugesti untuk pahit kalau belum
ngopi. Kebiasaan ini sebenarnya belum berlangsung lama. Saya baru mulai
“mencandui” kopi pasca lulus SMA. Ketika masih sekolah, rasanya jarang sekali
saya minum kopi karena ibu melarang saya. “Nanti otaknya bebal”, begitu
kira-kira nasihat beliau saat itu. Sebagai gantinya, susu lah yang biasanya
mengisi pagi saya sebelum berangkat sekolah. Belakangan saya tau dari beberapa
artikel tentang Food Combining bahwa susu ternyata tidak baik untuk kesehatan.
Jadilah saya semakin jauh dengan susu.
Jenis minuman kopi yang saya
sukai adalah kopi “anak muda”, seperti Latte, Moccachino, White Coffee, dan
kopi-kopi campuran. Campurannya biasanya adalah krimmer, meski ada juga yang
dicampur susu. Selain rasanya yang lebih nikmat, kopi jenis itu juga tidak
berampas sehingga bisa diminum sampai tetes terakhir. Apalagi jika diminum di
tengah udara pagi Jogja, ah… rasanya sangat menggugah.
Saya tidak menyukai kopi hitam,
tubruk, pekat, atau apapun namanya, yang tidak dicampur. Meminum kopi murni,
selain rasanya yang kurang cocok di lidah, membuat jantung saya berdebar-debar.
Bukan karena saya meminumnya di depan calon mertua, tapi karena memang efeknya seperti
itu di tubuh saya. Ah, mungkin kopi ini cocok diminum beberapa hari sebelum
melamar. Agar tubuh saya bisa terkondisikan :p
Meskipun mencandui kopi, tapi saya
tidak muluk-muluk dalam memilih merk, kemasan, dan tempat ngopi. Bagi saya,
sebungkus kopi warung yang harganya seribuan sudah sangat memuaskan. Saya bukan
tipe orang yang suka hangout, nongkrong, atau apalah namanya, di coffee shop
untuk sekedar menikmati segelas kopi. Selain karena harganya yang tidak masuk
akal, menurut saya ngopi di coffee shop juga tidak sesuai dengan budaya Timur
yang egaliter-kolektifis (Vickinisasi mode: on). Well, mungkin ada kalanya kita
membutuhkan coffee shop sebagai tempat kerja sementara yang nyaman dan kondusif,
tapi tentu tidak setiap hari.
Puasa Kopi
Berawal dari artikel-artikel
kesehatan yang saya baca, saya mulai menimbang ulang kebiasaan saya mencandui
kopi. Bahwa meminum kopi dalam kadar yang berlebihan adalah tidak baik untuk
tubuh, saya sudah lama mengetahuinya, meski saya sendiri cuek bebek dengan
informasi tersebut. Akan tetapi, entah angin apa yang sedang merasuk tubuh
saya, belakangan saya semakin ketat dengan perkara kesehatan. Misal, saya mulai
mengatur jam makan saya, tidak lagi berani makan malam di atas jam 20.00
(kecuali dalam kondisi terpaksa, ditraktir misalnya) karena dari artikel yang
saya baca hal itu tidak baik untuk tubuh. Begitu juga dengan olahraga, saya
semakin tergerak untuk berolahraga meski hanya sebentar. Dan terakhir, angin
yang ada di dalam tubuh itu membisiki agar saya menjauhi kopi. Nah lho!
Bagi saya pribadi, diminta menjauhi
kopi laksana diminta mengetik dengan menggunakan sarung tinju (gak kira-kira
analoginya). Susah sekali. Oleh karena itu, sampai saat ini saya belum pernah
jauh dari kopi untuk waktu yang lama. Kecuali jika saya sedang berada di tempat
yang saya tidak memiliki kuasa di situ, misal menginap di rumah teman, maka
saya mampu menahan keinginan untuk tidak ngopi.
Akan tetapi, karena saat ini
dorongan untuk menerapkan pola hidup sehat sedang menggelora dalam diri saya,
maka saya pun mulai merencanakan agar bisa terbebas dari kopi. Minimal tidak
mencandui lah. Nah, untuk mewujudkan hal itu, saya telah membuat action plan,
yaitu menghindari kopi selama 30 hari berturut-turut. Eng..ing..eng..
Meski batin saya bilang bahwa hal
itu terdengar ambisius dan tidak realistis, tapi logika saya mengatakan bahwa
saya mampu. Dan saya pun sudah memulainya. Sampai saat ini, saya sudah dua hari
tidak minum kopi, hehe.
Maksimalisasi Air Putih
Tujuan saya berhenti ngopi adalah
agar saya bisa memaksimalkan manfaat air putih untuk kesehatan saya. Sebenarnya
bukan hanya berhenti ngopi, tetapi juga berhenti meminum minuman lain selain
air putih, baik itu teh, susu, sirup, es, dsb. Kata Erikar Lebang (salah satu
pegiat Food Combining), meminum air putih dalam 1-2 bulan tanpa minum minuman
lain bisa membuat tubuh ter-detoksifikasi.
Selain berusaha menjadikan air
putih sebagai minuman utama, saya juga memaksimalkan manfaat air putih untuk
menggantikan peran obat. Jika sedang sakit, saya biasanya lebih memilih
memperbanyak minum air putih daripada minum obat. Kebiasaan ini sudah saya
lakukan selama kurang lebih dua tahun. Dan hasilnya sangat memuaskan, saya
lebih cepat sembuh dengan minum air putih daripada minum obat. Dengan izin
Allah tentunya.
Yah, semoga manfaat air putih
benar-benar terwujud dalam program 30 hari tanpa kafein ini. Dan yang lebih
penting lagi, semoga saya istiqomah dengan hanya meminum air putih ini.
#wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment