September 22, 2013

30 Hari Tanpa Kafein

Di setiap pagi saya, hampir selalu ada kopi yang menyertai. Mulut saya tersugesti untuk pahit kalau belum ngopi. Kebiasaan ini sebenarnya belum berlangsung lama. Saya baru mulai “mencandui” kopi pasca lulus SMA. Ketika masih sekolah, rasanya jarang sekali saya minum kopi karena ibu melarang saya. “Nanti otaknya bebal”, begitu kira-kira nasihat beliau saat itu. Sebagai gantinya, susu lah yang biasanya mengisi pagi saya sebelum berangkat sekolah. Belakangan saya tau dari beberapa artikel tentang Food Combining bahwa susu ternyata tidak baik untuk kesehatan. Jadilah saya semakin jauh dengan susu.
Sumber: allcreated.com

Jenis minuman kopi yang saya sukai adalah kopi “anak muda”, seperti Latte, Moccachino, White Coffee, dan kopi-kopi campuran. Campurannya biasanya adalah krimmer, meski ada juga yang dicampur susu. Selain rasanya yang lebih nikmat, kopi jenis itu juga tidak berampas sehingga bisa diminum sampai tetes terakhir. Apalagi jika diminum di tengah udara pagi Jogja, ah… rasanya sangat menggugah.

Saya tidak menyukai kopi hitam, tubruk, pekat, atau apapun namanya, yang tidak dicampur. Meminum kopi murni, selain rasanya yang kurang cocok di lidah, membuat jantung saya berdebar-debar. Bukan karena saya meminumnya di depan calon mertua, tapi karena memang efeknya seperti itu di tubuh saya. Ah, mungkin kopi ini cocok diminum beberapa hari sebelum melamar. Agar tubuh saya bisa terkondisikan :p

Meskipun mencandui kopi, tapi saya tidak muluk-muluk dalam memilih merk, kemasan, dan tempat ngopi. Bagi saya, sebungkus kopi warung yang harganya seribuan sudah sangat memuaskan. Saya bukan tipe orang yang suka hangout, nongkrong, atau apalah namanya, di coffee shop untuk sekedar menikmati segelas kopi. Selain karena harganya yang tidak masuk akal, menurut saya ngopi di coffee shop juga tidak sesuai dengan budaya Timur yang egaliter-kolektifis (Vickinisasi mode: on). Well, mungkin ada kalanya kita membutuhkan coffee shop sebagai tempat kerja sementara yang nyaman dan kondusif, tapi tentu tidak setiap hari.

Puasa Kopi
Berawal dari artikel-artikel kesehatan yang saya baca, saya mulai menimbang ulang kebiasaan saya mencandui kopi. Bahwa meminum kopi dalam kadar yang berlebihan adalah tidak baik untuk tubuh, saya sudah lama mengetahuinya, meski saya sendiri cuek bebek dengan informasi tersebut. Akan tetapi, entah angin apa yang sedang merasuk tubuh saya, belakangan saya semakin ketat dengan perkara kesehatan. Misal, saya mulai mengatur jam makan saya, tidak lagi berani makan malam di atas jam 20.00 (kecuali dalam kondisi terpaksa, ditraktir misalnya) karena dari artikel yang saya baca hal itu tidak baik untuk tubuh. Begitu juga dengan olahraga, saya semakin tergerak untuk berolahraga meski hanya sebentar. Dan terakhir, angin yang ada di dalam tubuh itu membisiki agar saya menjauhi kopi. Nah lho!

Bagi saya pribadi, diminta menjauhi kopi laksana diminta mengetik dengan menggunakan sarung tinju (gak kira-kira analoginya). Susah sekali. Oleh karena itu, sampai saat ini saya belum pernah jauh dari kopi untuk waktu yang lama. Kecuali jika saya sedang berada di tempat yang saya tidak memiliki kuasa di situ, misal menginap di rumah teman, maka saya mampu menahan keinginan untuk tidak ngopi.

Akan tetapi, karena saat ini dorongan untuk menerapkan pola hidup sehat sedang menggelora dalam diri saya, maka saya pun mulai merencanakan agar bisa terbebas dari kopi. Minimal tidak mencandui lah. Nah, untuk mewujudkan hal itu, saya telah membuat action plan, yaitu menghindari kopi selama 30 hari berturut-turut. Eng..ing..eng..

Meski batin saya bilang bahwa hal itu terdengar ambisius dan tidak realistis, tapi logika saya mengatakan bahwa saya mampu. Dan saya pun sudah memulainya. Sampai saat ini, saya sudah dua hari tidak minum kopi, hehe.

Maksimalisasi Air Putih
Tujuan saya berhenti ngopi adalah agar saya bisa memaksimalkan manfaat air putih untuk kesehatan saya. Sebenarnya bukan hanya berhenti ngopi, tetapi juga berhenti meminum minuman lain selain air putih, baik itu teh, susu, sirup, es, dsb. Kata Erikar Lebang (salah satu pegiat Food Combining), meminum air putih dalam 1-2 bulan tanpa minum minuman lain bisa membuat tubuh ter-detoksifikasi.

Selain berusaha menjadikan air putih sebagai minuman utama, saya juga memaksimalkan manfaat air putih untuk menggantikan peran obat. Jika sedang sakit, saya biasanya lebih memilih memperbanyak minum air putih daripada minum obat. Kebiasaan ini sudah saya lakukan selama kurang lebih dua tahun. Dan hasilnya sangat memuaskan, saya lebih cepat sembuh dengan minum air putih daripada minum obat. Dengan izin Allah tentunya.

Yah, semoga manfaat air putih benar-benar terwujud dalam program 30 hari tanpa kafein ini. Dan yang lebih penting lagi, semoga saya istiqomah dengan hanya meminum air putih ini.

#wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment