September 12, 2011

Kawan, Inilah Debutku di Negeri Kincir [Part 1]

“Semua yang Allah takdirkan adalah baik untuk kita. Nafsu yang membuatnya menjadi seolah tidak baik”

Gak terasa udah satu minggu aku menghirup udara penghujung summer Belanda. Banyak kejadian menarik yang aku alami dan insyaallah akan aku paparkan spesial untuk kalian (hoeeek, aku muntah sebelum kalian muntah).

Agak mundur sedikit gak apa2 ya, kita mulai dari keberangkatan. Aku berangkat dari Soekarno-Hatta naek Emirates. Ini adalah kesempatan pertamaku pergi ke luar negeri (LN) dan di kesempatan pertama ini, aku akan langsung dihadapkan pada perjalanan panjang selama 14 jam. Jakarta-Dubai-Amsterdam. Padahal, naik bis aja paling banter cuma 10 jam. Jakarta-Jogja. Itu pun masih enak, di darat, kalo ada apa2 bisa menepi. Lha ini, 14 jam terkatung2 di udara, kalo ada apa2 mau menepi ke mana? Lha wong langit ra unu tepine kok. Yaudah lah, pasrah aja. Bismillah.

Banyak orang yang mengantar keberangkatanku, yang mayoritas adalah keluarga besar. Diantar orang sebanyak ini (mungkin ada sekodi mah) membuat langkahku semakin berat untuk meninggalkan tanah air. Tapi, adalah suatu kekonyolan jika aku membatalkan keberangkatanku dan menyiakan perjuangan beberapa bulan terakhir hanya untuk berlama-lama di zona nyaman. Meski berat, aku tetap melangkah (berat dalam artian sesungguhnya, soale total bawaannya hampir 40 kg).

Pesawat take-off dari bandara pukul 00.20 WIB. Di pesawat, aku duduk bersebelahan dengan seorang mahasiswi Indonesia yang kuliah di Hamburg, namanya Okta. Untung aja bersebelahan sama orang Indonesia, jadi bisa cas-cis-cus banyak dan bisa tanya banyak juga tentang fasilitas2 yang ada di pesawat, mulai dari cara mengoperasikan entertainment yg disediakan sampe memilih menu makanan (ini fatal kalo salah mesen). Maklumlah, cah ndeso belum ngerti apa2, naik pesawat aja baru dua kali (yang pertama penerbangan dari Jogja ke Jakarta). Penerbangan pertama itupun karena memanfaatkan tiket dari sponsor beasiswa ku (tiketnya seharusnya tanggal 05 september, Yogya-Jakarta-Dubai-Amsterdam, tapi kumutilasi jadi: 21 Agustus, Jogja-Jakarta (dipake buat mudik), 6 September, Jakarta-Dubai-Amsterdam, hehe). Singkat kata, perjalanan dari Jakarta menuju Dubai aman jaya! (*prok..prok..prok..). Sayangnya aku lupa minta kontaknya Okta, jadi dia gak bisa kurepotin kalo aku main ke Jerman (*menyesal tingkat tinggi).

Sampe di Dubai jam 05.30 waktu Dubai. Di Dubai aku transit 3 jam, terus berangkat lagi jam 08.30. Untungnya wi-fi bandara bisa di akses, jadi bisa kirim kabar ke keluarga dan kerabat. Jam 07.30, aku pisah dengan Okta untuk check-in, terus dikandangin di gate.

Jam 08.30 pesawat take-off dan aku pun meninggalkan bandara dengan 1001 kenangan (halah, baru 3 jam aja kesannya udah kayak 30 taun). Di pintu pesawat, aku disambut dengan senyuman hangat pramugari (kalo gak bayar mungkin dicemberutin). Tapi kawan, di dalam pesawat ternyata ada kejutan yang mengalahkan kehangatan senyuman mereka. Apa? Singkong rebus? Bukan kawan, bukan singkong rebus yang aku dapatkan. Singkong rebus memang hangat, tapi bukan itu maksudku.

Kawan, takdir Allah-lah yang mendekapku dengan hangat. Dengan takdir-Nya, aku ditempatkan di sebelah orang Indonesia yang tempat tingalnya masih satu kecamatan denganku. Namanya ibu Manita (kalo gak salah inget, hehe), beliau ke Belanda untuk bertemu suaminya. Suaminya kerja di Belanda dan beliau kadang dateng nengokin (kebayang kan bagaimana pengalamannya dia dengan penerbangan ini & Belanda?) Hmm…padahal duduk bersebelahan dengan orang Indonesia aja udah seneng banget, apalagi sebelahan dengan orang satu kampung? Masya Allah. Sebenarnya seharusnya aku bersebelahan sama bule, tapi karena dia pengen bersebelahan sama pasangannya yang ditempati bu Manita, jadi ibu Manita ini pindah ke sebelah ku. Alhasil, cas-cis-cus ku bersambung lagi sampe Amsterdam. Hmm.. Indah betul apa yang Allah rencanakan.

Pesawat tiba di Schiphol, Amsterdam (bandara internasional Belanda) jam 13.30 waktu Amsterdam. Sayangnya, aku dengan Ibu Manita beda kota tujuan. Beliau mau ke Amsterdam sedangkan aku mau ke suatu tempat yang belum aku ketahui harus lewat mana menjangkaunya (baca: Groningen). Akhirnya, kami dipisahkan di bandara (macem sinetron aja), tapi ada rencana ketemuan lagi suatu saat nanti (tuh, beneran sinetron kan?).

Di Schiphol, Amsterdam tidak ada seorangpun yang menjemputku (na’as banget). Aku pun terasing se terasing2nya. Orangnya asing, tempatnya asing, semuanya asing. Untung di Indonesia aku biasa makan telor asing (halah). Maksudku, untung di Indonesia aku udah dilatih beginian saat memutuskan untuk kuliah di Jogja yang notabene adalah kota yang asing buatku. Tapi kan kalo di Jogja masih mending, bahasanya masih sama, orang2nya masih serupa, dan karakternya pun gak jauh berbeda. Di tempat ini? Entah seperti apa. Yang pasti, saat keluar dari imigrasi dan pengambilan bagasi, aku kebingungan harus melangkahkan kaki kemana. Aku bingung harus bertanya pada siapa. Dan aku bingung mengapa notes ku jadi “geje” begini.

Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini? Apakah Fajar bisa menyelesaikan misinya dengan mulus atau justru masuk headline berita nasional “Mahasiswa Indonesia ditemukan Stres di Schiphol”. Saksikan terus Fajar the Explorer.

0 comments:

Post a Comment