Tinggal di negeri yang mayoritas
penduduknya non muslim, bukan berarti pintu untuk bertholabul ilmi tertutup rapat.
Saya masih bisa mendapatkan kajian2 Islam dari banyak sumber. Bisa dari kajian pekanan
rekan sesama muslim Indonesia maupun kajian dari muslim internasional (seperti
yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, Arab vs Belanda). Akan tetapi,
karena kajian tatap muka langsung seperti itu intensitasnya sangat terbatas,
saya lebih banyak menyimak melalui internet, baik melalui kajian streaming (online) maupun rekaman kajian
yang di-upload.
Kajian streaming yang cukup populer adalah kajian dari Daarut Tauhid Bandung
yang disiarkan melalui MQFM Network dan Radio Pengajian. Sedangkan rekaman kajian
bisa didapatkan di banyak situs, tapi karena saya tinggal di Jogja, biasanya
saya mendownload kajian2 yang dibawakan oleh ustadz2 di Jogja, yang sudah saya
kenal sebelumnya.
***
Kalau dipikir2 lagi, kondisi saya
saat ini bahkan sebenarnya serba berlebih. Lebih mudah, lebih nyaman, dan lebih
praktis dalam bertholabul ilmi. Jadi, tidak ada halangan berarti. Saya
bisa setiap saat mendengarkan kajian. Kalau mau, saya bisa mendengarkan kajian2
tersebut setiap hari. Bahkan setiap jam. Dengan akses internet yang begitu
cepat, saya bisa menyimak kajian2 tersebut tanpa buffering sehingga tidak mengganggu kenyamanan dalam menyimak.
Saya juga bisa lebih santai dalam
mendengarkan kajian. Saya bisa menyimak sambil meminum kopi, mengudap cemilan,
buah2an, dan tidak jarang juga sambil tidur2an. Akan tetapi, ternyata justru di
situlah masalahnya. Kadang saya berpikir, kegiatan yang saya lakukan ini
sebenarnya mendengarkan kajian sambil santai2 atau santai2 sambil mendengarkan
kajian?
Ah, saya jadi mulai merenung. Mulai
mengingat2 nasihat yang disampaikan KH. Cholil Ridwan saat memberikan ceramah
singkat untuk muslim Indonesia di Groningen 2 minggu yang lalu. Beliau saat itu
sempat menyampaikan tentang mujahadah dalam berdakwah dan sempat mengkritik ustadz2
yang ceramah di tv2.
Menurut beliau, nilai mujahadah ustadz2
yang ceramah di tv2 sangat kurang. Bagaimana tidak, sudah diperlakukan
istimewa, memberikan ceramah di ruangan yang nyaman, plus diberikan honor
berjuta2 pula. Bahkan menurut beliau, ada di antara mereka yang berani mematok
harga. Karena alasan inilah, beliau menilai ustadz2 itu kurang mujahadahnya.
Nah, kondisi yang sama sepertinya
terjadi juga pada saya, tapi dengan pekerjaan yang berbeda. Kalau ustadz2
tersebut kurang bermujahadah dalam berdakwah, saya kurang bermujahadah dalam
menuntut ilmu. Lha dimana letak mujahadahnya kalau caranya seperti yang saya
ceritakan di atas?
Ya, apa yang saya lakukan saat
ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan ulama2 dulu, Imam
Bukhori misalnya. Beliau rela menyusuri
gurun berhari2 dalam memburu sebuah hadits. Ah, jauh. Saya masih sangat jauh dengan
beliau. Jangankan menyusuri gurun berhari2, mengayuh sepeda 30 menit untuk ikut
dalam forum mingguan saja beratnya minta ampun. Saya lebih asyik duduk manis
(atau tidur2an manis) menyimak sambil ngemil di dalam kamar yang dilengkapi
dengan pengahangat.
Ah, dimana mujahadahnya?
0 comments:
Post a Comment