November 19, 2011

Dimana Mujahadahnya?



Tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim, bukan berarti pintu untuk bertholabul ilmi  tertutup rapat. Saya masih bisa mendapatkan kajian2 Islam dari banyak sumber. Bisa dari kajian pekanan rekan sesama muslim Indonesia maupun kajian dari muslim internasional (seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, Arab vs Belanda). Akan tetapi, karena kajian tatap muka langsung seperti itu intensitasnya sangat terbatas, saya lebih banyak menyimak melalui internet, baik melalui kajian streaming (online) maupun rekaman kajian yang di-upload.

Kajian streaming yang cukup populer adalah kajian dari Daarut Tauhid Bandung yang disiarkan melalui MQFM Network dan Radio Pengajian. Sedangkan rekaman kajian bisa didapatkan di banyak situs, tapi karena saya tinggal di Jogja, biasanya saya mendownload kajian2 yang dibawakan oleh ustadz2 di Jogja, yang sudah saya kenal sebelumnya.
***
Kalau dipikir2 lagi, kondisi saya saat ini bahkan sebenarnya serba berlebih. Lebih mudah, lebih nyaman, dan lebih praktis dalam bertholabul ilmi. Jadi, tidak ada halangan berarti. Saya bisa setiap saat mendengarkan kajian. Kalau mau, saya bisa mendengarkan kajian2 tersebut setiap hari. Bahkan setiap jam. Dengan akses internet yang begitu cepat, saya bisa menyimak kajian2 tersebut tanpa buffering sehingga tidak mengganggu kenyamanan dalam menyimak.  

Saya juga bisa lebih santai dalam mendengarkan kajian. Saya bisa menyimak sambil meminum kopi, mengudap cemilan, buah2an, dan tidak jarang juga sambil tidur2an. Akan tetapi, ternyata justru di situlah masalahnya. Kadang saya berpikir, kegiatan yang saya lakukan ini sebenarnya mendengarkan kajian sambil santai2 atau santai2 sambil mendengarkan kajian?

Ah, saya jadi mulai merenung. Mulai mengingat2 nasihat yang disampaikan KH. Cholil Ridwan saat memberikan ceramah singkat untuk muslim Indonesia di Groningen 2 minggu yang lalu. Beliau saat itu sempat menyampaikan tentang mujahadah dalam berdakwah dan sempat mengkritik ustadz2 yang ceramah di tv2.

Menurut beliau, nilai mujahadah ustadz2 yang ceramah di tv2 sangat kurang. Bagaimana tidak, sudah diperlakukan istimewa, memberikan ceramah di ruangan yang nyaman, plus diberikan honor berjuta2 pula. Bahkan menurut beliau, ada di antara mereka yang berani mematok harga. Karena alasan inilah, beliau menilai ustadz2 itu kurang mujahadahnya.

Nah, kondisi yang sama sepertinya terjadi juga pada saya, tapi dengan pekerjaan yang berbeda. Kalau ustadz2 tersebut kurang bermujahadah dalam berdakwah, saya kurang bermujahadah dalam menuntut ilmu. Lha dimana letak mujahadahnya kalau caranya seperti yang saya ceritakan di atas?

Ya, apa yang saya lakukan saat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan ulama2 dulu, Imam Bukhori  misalnya. Beliau rela menyusuri gurun berhari2 dalam memburu sebuah hadits. Ah, jauh. Saya masih sangat jauh dengan beliau. Jangankan menyusuri gurun berhari2, mengayuh sepeda 30 menit untuk ikut dalam forum mingguan saja beratnya minta ampun. Saya lebih asyik duduk manis (atau tidur2an manis) menyimak sambil ngemil di dalam kamar yang dilengkapi dengan pengahangat.

Ah, dimana mujahadahnya?

0 comments:

Post a Comment