November 24, 2011

Idul Adha ala Groningen


Jam di handphone saya sudah menunjukkan pukul 08.15 CET. Artinya, sudah sekitar 2 jam berlalu dari waktu sholat Subuh. Saya bergegas menuju De Holm (3,3 km) untuk membantu persiapan sholat Idul Adha. “Pelaksanaan sholat akan dimulai pukul 09.00 CET”. Begitu kira2 instruksi yang diberitakan di mailing list deGromiest (The Groningen Moslem Society).

Ya, hari ini kami akan melaksanakan sholat Idul Adha. Sholat ‘Ied yang berbeda dari biasanya. Sholat yang bukan dilaksanakan di Masjid maupun tanah lapang, tapi di gedung pertemuan yang biasa digunakan untuk berbagai kegiatan. deGromiest menyengaja menyewa gedung tersebut agar umat muslim, khususnya muslim Indonesia, tetap bisa merayakan hari raya yang cuma ada setahun sekali ini.

Sebenarnya di Groningen sendiri ada dua masjid, yaitu Masjid Selwerd dan Masjid Korreweg, tapi berhubung umat Islam di kota ini cukup banyak (muslim Indonesia sendiri berjumlah seratusan), jadi kedua masjid itu pun tidak cukup menampung semua jamaah*. Mau menggelar sholat ‘Ied sampai ke pelataran masjid rasanya tidak memungkinkan karena akan mengusik kenyamanan warga sekitar dan ujungnya bisa berurusan dengan polisi. Dengan pertimbangan itu, akhirnya kami, warga Indonesia, berinisiatif untuk menyewa gedung sendiri sebagai tempat pelaksanaan sholat Idul Adha.

Gedung itu bernama De Holm. Gedung yang biasa dipakai untuk berbagai kegiatan seperti latihan senam, salsa, dan belajar kelompok ini bertarif 70 euro (sekitar 800 ribu) per hari. Meski ukurannya agak kecil, gedung ini mampu menampung semua jamaah Indonesia dan segelintir foreigner yang ikut bergabung.

Seperti biasa, sebelum sholat dimulai, jamaah saling sahut menyahut mengumandangkan takbir. Takbir seperti ini baru terdengar di pagi hari karena malam sebelumnya kota Groningen sunyi senyap, kecuali oleh suara lonceng gereja yang berdentang secara berkala. Saya sendiri menyiasati kesenyapan malam takbir itu dengan menyetel takbir dari youtube. Well, memang jauh berbeda dengan suasana di Indonesia, tapi lumayan lah.

Pelaksanaan sholat ‘Ied dimulai pukul 09.20 CET. Khatib membawakan khutbah tentang kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya. Setelah selesai, kami bersalam2an dan menikmati jamuan yang ada (*berasa Idul Fitri).

Sayangnya, di hari Idul Qurban ini, kami justru tidak bisa menyaksikan pengurbanan hewan karena kegiatan penyembelihan merupakan kegiatan yang terlarang di Belanda. Ada aturan yang sangat ketat tentang hal itu. Kalau nekat mau menyembelih, maka harus siap2 berhadapan dengan hukum.

Lalu bagaimana warga Belanda menikmati daging? Inilah uniknya, mereka melarang menyembelih tapi bukan berarti melarang pemotongan hewan. Mereka tetap memotong hewan tapi hewan yang akan dipotong harus dibius dulu, sehingga meminimalisir rasa sakit yang diderita si hewan ketika disembelih. Begitu kira2 pendapat mereka. Pendapat yang kemudian diperdebatkan oleh umat Muslim dan Yahudi, yang juga memiliki ritual penyembelihan hewan (mungkinkah ada duet antara Islam dan Yahudi untuk menentang aturan ini? Kita tunggu saja kelanjutannya).

By the way, tidak ada penyembelihan bukan berarti tidak bisa menikmati hidangan khas Idul Adha seperti sate dan kari. Kami tetap dapat mencium aroma bakaran sate karena ada toko daging halal di sini. Jadi, kami beli dulu dagingnya, kemudian baru disate beramai2 di rumah salah satu warga. Meskipun jatah sate setiap orang sangat terbatas, 2 tusuk, tapi suasana kekeluargaan yang ada setidaknya dapat menjadi pengganti suasana Idul Adha di Indonesia.

*Alhamdulillah islam cukup berkembang di sini. Di masjid Selwerd sendiri hampir tiap selesai jumatan ada warga yang berikrar syahadat. Insyaallah mulai tahun depan masjid ini akan diperluas dan dimasifkan lagi peran Islamic Center nya. Mohon doa dari teman2.

0 comments:

Post a Comment