Jam di handphone saya sudah menunjukkan pukul 08.15 CET. Artinya, sudah sekitar 2 jam berlalu dari
waktu sholat Subuh. Saya bergegas menuju De Holm (3,3 km) untuk membantu
persiapan sholat Idul Adha. “Pelaksanaan sholat akan dimulai pukul 09.00 CET”. Begitu
kira2 instruksi yang diberitakan di mailing list deGromiest (The Groningen
Moslem Society).
Ya, hari ini kami akan melaksanakan sholat Idul Adha. Sholat
‘Ied yang berbeda dari biasanya. Sholat yang bukan dilaksanakan di Masjid
maupun tanah lapang, tapi di gedung pertemuan yang biasa digunakan untuk
berbagai kegiatan. deGromiest menyengaja menyewa gedung tersebut agar umat
muslim, khususnya muslim Indonesia, tetap bisa merayakan hari raya yang cuma
ada setahun sekali ini.
Sebenarnya di Groningen sendiri ada dua masjid, yaitu Masjid
Selwerd dan Masjid Korreweg, tapi berhubung umat Islam di kota ini cukup banyak
(muslim Indonesia sendiri berjumlah seratusan), jadi kedua masjid itu pun tidak
cukup menampung semua jamaah*. Mau menggelar sholat ‘Ied sampai ke pelataran
masjid rasanya tidak memungkinkan karena akan mengusik kenyamanan warga sekitar
dan ujungnya bisa berurusan dengan polisi. Dengan pertimbangan itu, akhirnya kami,
warga Indonesia, berinisiatif untuk menyewa gedung sendiri sebagai tempat
pelaksanaan sholat Idul Adha.
Gedung itu bernama De Holm. Gedung yang biasa dipakai untuk
berbagai kegiatan seperti latihan senam, salsa, dan belajar kelompok ini
bertarif 70 euro (sekitar 800 ribu) per hari. Meski ukurannya agak kecil,
gedung ini mampu menampung semua jamaah Indonesia dan segelintir foreigner yang
ikut bergabung.
Seperti biasa, sebelum sholat dimulai, jamaah saling sahut
menyahut mengumandangkan takbir. Takbir seperti ini baru terdengar di pagi hari
karena malam sebelumnya kota Groningen sunyi senyap, kecuali oleh suara lonceng
gereja yang berdentang secara berkala. Saya sendiri menyiasati kesenyapan malam
takbir itu dengan menyetel takbir dari youtube. Well, memang jauh berbeda dengan
suasana di Indonesia, tapi lumayan lah.
Pelaksanaan sholat ‘Ied dimulai pukul 09.20 CET. Khatib
membawakan khutbah tentang kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya. Setelah selesai,
kami bersalam2an dan menikmati jamuan yang ada (*berasa Idul Fitri).
Sayangnya, di hari Idul Qurban ini, kami justru tidak bisa
menyaksikan pengurbanan hewan karena kegiatan penyembelihan merupakan kegiatan
yang terlarang di Belanda. Ada aturan yang sangat ketat tentang hal itu. Kalau nekat
mau menyembelih, maka harus siap2 berhadapan dengan hukum.
Lalu bagaimana warga Belanda menikmati daging? Inilah
uniknya, mereka melarang menyembelih tapi bukan berarti melarang pemotongan
hewan. Mereka tetap memotong hewan tapi hewan yang akan dipotong harus dibius
dulu, sehingga meminimalisir rasa sakit yang diderita si hewan ketika
disembelih. Begitu kira2 pendapat mereka. Pendapat yang kemudian diperdebatkan
oleh umat Muslim dan Yahudi, yang juga memiliki ritual penyembelihan hewan (mungkinkah
ada duet antara Islam dan Yahudi untuk menentang aturan ini? Kita tunggu saja
kelanjutannya).
By the way, tidak ada penyembelihan bukan berarti tidak bisa
menikmati hidangan khas Idul Adha seperti sate dan kari. Kami tetap dapat mencium
aroma bakaran sate karena ada toko daging halal di sini. Jadi, kami beli dulu
dagingnya, kemudian baru disate beramai2 di rumah salah satu warga. Meskipun
jatah sate setiap orang sangat terbatas, 2 tusuk, tapi suasana kekeluargaan
yang ada setidaknya dapat menjadi pengganti suasana Idul Adha di Indonesia.
*Alhamdulillah islam cukup berkembang di sini. Di masjid
Selwerd sendiri hampir tiap selesai jumatan ada warga yang berikrar syahadat.
Insyaallah mulai tahun depan masjid ini akan diperluas dan dimasifkan lagi
peran Islamic Center nya. Mohon doa dari teman2.
0 comments:
Post a Comment