November 30, 2011

Belanda, ckckck...

Salah satu hal menarik yang saya tunggu-tunggu dari kursus Bahasa Belanda adalah pada sesi terakhirnya. Di sesi terakhir ini, biasanya meneer dosen menceritakan segala hal yang berhubungan dengan Belanda. Dulu saya pernah menuliskan sejarah yang berhubungan dengan bahasa Belanda yang diceritakan oleh dosen ini (bisa dilihat di sini). Kemarin malam, dosen saya menceritakan sejarah lain tentang perjuangan warga Belanda untuk tetap survive di tengah keterbatasan yang ada.

Peta Belanda
Di sesi terakhir kursus tadi malam, dosen Bahasa Belanda saya sempat menunjukkan sebuah peta geografis negeri kincir tersebut. Dari peta itu saya mengetahui bahwa negara yang kita sebut sebagai Belanda ini ternyata hanya memiliki sedikit sekali daratan. Dari beberapa provinsi yang ada, hampir sebagian (seharusnya) tertutup laut, termasuk kota Amsterdam yang tersohor itu (lihat peta-bagian warna biru adalah daerah yang (seharusnya) tertutup air laut).

Ya, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Belanda adalah negara yang terletak di bawah permukaan laut. Karena letak geografis yang sangat tidak strategis itu, Belanda selalu diliputi ancaman banjir. Bencana banjir terakhir yang sempat melanda Belanda terjadi pada tahun 1953. Ketika itu sebuah banjir dahsyat akibat merangseknya air laut ke daratan membuat nyawa 1800-an warga Belanda yang tinggal di Zeeland melayang.

Ancaman banjir yang senantiasaa membayang-bayangi itu rupanya tidak serta merta membuat warga Belanda putus asa. Mereka justru dengan kreatif memutar otak untuk menetralkan wilayah mereka dari luapan air laut (banjir rob). Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk “memindahkan air laut ke laut” itu adalah dengan menggunakan kincir angin.


Sistem Kerja Kincir
Kincir angin tradisional yang sudah menjadi trademark Belanda ini mulai digunakan sejak abad pertengahan. Saya sendiri baru mengetahui kalau ternyata kincir ini dulunya digunakan untuk memindahkan air laut (sistem kerja kincirnya bisa dilihat di gambar sebelah). Saya kira kincir ini hanya digunakan untuk keperluan pertanian saja, seperti irigasi.

Seiring berjalannya waktu, rupanya kincir inipun tidak cukup banyak membantu membuang air laut yang masuk karena volumenya yang sangat banyak, sedangkan jumlah kincirnya sangat terbatas. Maka merekapun mulai memikirkan alternatif lain. Alternatif solusi yang cukup ampuh dan digunakan sampai saat ini adalah dengan membangun dijk (tanggul).

Salah satu dijk di Belanda
Belanda membangun dijk di semua daerah yang berpotensi tenggelam. Dosen saya bercerita bahwa dijk yang terpanjang yang dibangun Belanda ukurannya mencapai 33 km. Saya menggeleng-geleng kepala ketika mendengarnya. Antara kagum dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka membangun tanggul yang menyumbat air laut dan memiliki panjang 33 km? Sebuah usaha bertahan hidup yang luar biasa.

Setelah mengetahui fakta ini, saya jadi merenung, betapa dimanjakannya bangsa Indonesia. Secara default, Indonesia sudah memiliki alam yang sangat ideal. Kita tidak perlu bersusah payah memindahkan air laut untuk menciptakan apa yang disebut sebagai “wilayah negara” seperti yang Belanda lakukan. Akan tetapi sayangnya, kondisi alam yang memanjakan itu rupanya membuat etos kerja bangsa Indonesia tidak segigih bangsa Belanda.

0 comments:

Post a Comment