September 28, 2011

Isyhaduu Biannaa Muslimuun [Part 2-End]

Seperti yang sudah kujanjikan sebelumnya, dalam notes ini insyaallah akan aku paparkan kisahku dengan umat muslim lintas negara.
Sebenarnya kami sudah menjalin interaksi semenjak pertama kali aku datang ke masjid, tapi interaksi yang terjalin hanya saling tukar salam saja. Nah, jumat kemarin, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk saling mengenal lebih jauh.
Ketika itu, seusai shalat jumat, seorang pria berusia lanjut berpenampilan ala syeikh seperti yang aku ceritakan di notes sebelumnya (jenggot panjang, dahi menghitam, warna pakaian didominasi putih), menghampiriku yang sedang duduk2 di kursi panjang. Beliau mengambil tempat di sebelahku dan memulai pembicaraan dengan bertanya apakah aku orang Indonesia. Setelah mengiyakan, beliau melanjutkan pembicaraannya.
Nama beliau adalah Umar. Usianya aku perkirakan sudah 60an. Beliau berasal dari Pakistan dan sudah tinggal di Belanda selama 33 tahun. Beliau bercerita banyak tentang kehidupan Islam di Belanda, khususnya di kota Groningen. Darinya, aku tau beberapa hal tentang Islam di sini.
Menurut beliau, jumlah umat Islam di kota ini mencapai 15.000 orang. Hmm..satu jumlah yang masih agak “sangsi” kupercayai. Seolah membaca kesangsianku, beliau menerangkan bahwa umat islam di sini banyak yang sungkan ke masjid, sehingga terkesan sedikit. Beliau sendiri bersama teman2nya sudah beberapa kali menerapkan strategi “jemput bola”, tapi hasilnya masih belum signifikan.
Beliau menerangkan bahwa di masjid ini, jamaah didominasi oleh orang Afrika, terutama Maroko. Selebihnya , masjid dipenuhi oleh orang2 Arab, seperti Irak, Pakistan, dan Palestina. Akan tetapi, dari semua bangsa itu, orang Somalia lah yang paling hebat. Mereka memiliki jumlah hafidz terbanyak dalam jamaah ini, yaitu 5-6 orang. Bahkan, imam masjid sini pun ternyata orang Somalia. Subhanallah, sesuatu banget ya (Syahrini viruses has been detected).
Pak Umar menasehatiku dengan beberapa hadits. Beliau mengingatkan bahwa tantangan beragama di sini tidak ringan. “Di Indonesia, kamu dengan mudah mengetahui waktu shalat karena kamu bisa mendengar adzan setiap waktu shalat tiba. Tapi di sini, kamu yang harus mendisiplinkan dirimu karena kamu tidak akan mendengar adzan dikumandangkan” kata beliau yang mengaku pernah beberapa kali datang ke Indonesia dan mengunjungi beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, dan Ambon.
Beliau mengajakku untuk ikut serta dalam kajian yang rutin dilaksanakan bada maghrib. Ketika kutanya, kitab apa yang menjadi rujukan, beliau menjawab ada banyak kitab yang menjadi rujukan. “Seperti Riyadush Shalihin?” tanyaku, sedikit menyelidik. “Ya, kami punya kitab itu dan ada juga kitab2 yang lain” jawabnya.
Tidak terasa, obrolan kami sudah berlangsung hampir satu jam. Sebenarnya aku harus pergi sejak tadi karena harus membantu persiapan halal bihalal komunitas Indonesia. Beliau rupanya menangkap kegelisahanku. “Apakah kamu mau ada acara?” tanyanya. “Ya, saya mau pergi ke Floreshuis untuk menghadiri acara halal bihalal komunitas Indonesia. Tapi aku belum tau jalan menuju kesana (nyengir mode: on)” jawabku sambil mengeluarkan peta dari tas.
“Baiklah, aku bisa mengantarmu ke sana”
“Tidak usah, terima kasih. Saya tidak mau merepotkan anda. Saya akan mencarinya sendiri”
“Tidak apa2, saya juga memang mau kesana. Nanti sekalian saya tunjukkan Masjid Turki karena sepertinya lokasinya berdekatan”
Sungguh aku tidak enak dengan penawaran ini. Pertama, karena rada gak tega melihat beliau yang sudah uzur harus berletih2 mengantarku. Kedua, karena tidak mau merepotkan. Tapi apa daya, beliau begitu memaksa. Akhirnya, aku terima tawaran beliau dan kami pun menggenjot sepeda masing2 menuju lokasi.
Perjalanan ke lokasi membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Setelah ditunjukkan lokasi Floreshuis, aku ditunjukkan lokasi masjid Turki, yang ternyata jaraknya hanya terpaut sekitar 100 meter saja.
Aku diajaknya masuk untuk melihat2. Bangunan masjid ini tampak lebih besar dari masjid Selwerd, dan ruangan di dalamnya pun lebih luas, mungkin dapat menampung sekitar 500 jamaah. Di dalam bangunan masjid ada toko, ruang istirahat, dan ruang menonton tv. Aku diminta untuk duduk2 dulu sebentar di ruang istirahat sambil menikmati makanan yang ada (di ruang istirahat, kadang disediakan snack gratis untuk jamaah). Pak Umar memperkenalkanku dengan 2 koleganya, sepertinya orang Turki.
Saat menyantap snack yang disuguhkan, Pak Umar bertanya padaku, mau minum teh atau kopi? Aku semakin tidak enak, aku bilang tidak usah, aku bawa air minum.
Setelah ngobrol2 sedikit tentang masjid itu, aku berpamitan karena harus segera membantu panitia menyiapkan acara halal bihalal di Floreshuis. Ketika hendak pulang, salah satu dari kolega Pak Umar yang merupakan penjual di toko dalam masjid tersebut membungkuskan beraneka macam buah ke sebuah plastik besar. Aku menangkap tanda2 tidak enak hati, jangan2 beliau juga ingin memberikan oleh2 untukku. Dan ternyata tidak salah dugaanku, satu kantong plastik besar yang berisi apel, anggur, pisang, jeruk, dan buah2 serta sayuran lainnya disodorkan padaku, sambil berkata
“Ini untukmu, tolong terima”
“Oh, tidak, terima kasih, kalian sudah sangat baik pada saya, saya tidak bisa menerima ini”
“Tidak apa2, ambillah”
“Tidak, saya tidak bisa menerimanya, mohon maaf”
“Tidak apa2, ini untukmu”
Setelah berdebat “ambillah-tidak” yang cukup lama, akhirnya “perdebatan” ini berakhir karena beliau mengeluarkan kata2 sakti yang membuat bulu kuduk ku berdiri, bukan karena takut, tapi karena takjub. Beliau berkata
“Saya muslim. Kamu muslim. Kita bersaudara. Jadi tolong, terimalah ini”
Akhirnya aku terima pemberian beliau dengan tidak enak hati dan untuk mengobati ketidakenakan hati itu, aku bermaksud membayar buah2an ini
“Baik, saya terima, tapi saya harus membayarnya. Berapa saya harus membayar?”
“Kamu tidak perlu membayar. Itu gratis untukmu”
“Ah, saya tidak mau, anda sudah sangat baik kepada saya” aku mendesaknya sambil mengeluarkan uang dari dompet dan menyodorkan kepadanya
“Kamu tidak perlu membayar. Itu gratis untukmu”
Setelah kupaksa, akhirnya beliau mau menerima juga. Tapi luar biasanya, beliau menginfakkan 60% uang yang kuberikan ke masjid. Subhanalloh, sesuatu banget ya (2 Syahrini viruses has been detected).
Kawan, itulah secuplik kisahku dengan saudara2 kita seiman yang beda negara. Meskipun baru saling mengenal, tapi tidak ada keraguan dari mereka untuk berbagi. Ah, Islam memang rahmatan lil alamin.

0 comments:

Post a Comment