November 9, 2011

Transportasi dan Lalu Lintas Belanda

“Banyak yang mengaku bertuhan, tapi tidak mau beragama” (Ustadz Syathori Abdurrouf)

Beberapa bulan yang lalu, di sebuah pantai di DIY, saya pernah ngobrol dengan salah seorang bule asal Belanda. Di tengah perbincangan, saya bertanya “How’s Indonesia?”. Dengan suasana pantai yang indah, saya membayangkan jawaban dia adalah “Indonesia has an amazing nature. You have a lot of beautiful beach, mountains, and so on”. Saya sudah menyiapkan senyum kebanggaan. Sesaat kemudian dia menjawab “It transportation is terrible!”. Deg. Senyum kebanggaan seketika berubah menjadi keterkesiapan. Saya bingung. Padahal pertanyaan saya tidak secara spesifik mengarah ke transportasi, tapi mengapa jawabannya sudah begitu mantap mengarah kesitu. Sambil ngerasani si Bule, saya bertanya2 dalam hati “memangnya transportasi di Belanda seperti apa sih sampai dia dengan “sadis” tanpa diminta tiba-tiba mengomentari transportasi Indoneisa dengan satu kata terrible?“. Belakangan saya menemukan jawabannya.
***
Perlu diakui, perihal transportasi dan lalu lintas ini memang membuat saya sangat iri kepada Belanda. Betapa mereka begitu disiplin dalam berlalu lintas sehingga orang-orang, baik pengendara kendaraan maupun pejalan kaki, dapat “beredar” di jalan dan sekitarnya tanpa rasa was-was. Rambu2 lalu lintas dipatuhi. Marka2 jalan ditaati. Lampu lalu lintas pun seolah tidak ada yang berani melanggar. Bahkan oleh mereka yang berjalan kaki. Ya, bahkan oleh para pejalan kaki sekalipun, karena memang di sini pejalan kaki dibuatkan lampu lalu lintas di setiap persimpangan jalan. Jadi tidak asal sebrang. Hebatnya, mereka begitu patuh terhadap aturan2 tersebut. Meskipun lebar jalan yang akan disebrang cuma 4 meter. Saya ulangi, lebar jalan yang disebrang cuma 4 meter, tapi mereka tetap setia menunggu sampai lampunya berubah hijau.
Saya kadang nyengir kuda jika melihat kejadian tersebut. Untuk apa mereka berlama2 menunggu sampai lampunya berwarna hijau? Toh, jarak sebarangnya cuma 4 meter. Toh, tidak ada mobil yang sedang melintas. Toh, dengan 3 kali lompatan sudah sampai di sebrang. Dan toh-toh yang lain. Tapi sekali lagi, inilah hebatnya kedisiplinan mereka. Meski jaraknya cuma 4 meter, tidak ada kendaraan yang sedang melintas, dan meski dengan 3 kali lompatan bisa sampai ke sebrang, mereka tetap sabar menunggu.

Lalu, bagaimana mereka menyeberang jika tidak ada lampu lalu lintas? Ah, simpel. Sesimpel menanak nasi menggunakan rice cooker. Tinggal berdiri di pinggir jalan, terus tengok kanan-kiri. Niscaya kendaraan2 yang melintas akan berhenti untuk memberi jalan (ya, saya sadar ini tidak ada hubungannya dengan rice cooker). Perlakuan semacam ini, membuat kami (setidaknya saya), berasa seperti artis atau model yang sedang berjalan di atas cat walk dengan zebra cross menjadi red carpet-nya. Lain cerita kalau saya menyebrang di Jakarta, wajah2 kendaraan sepertinya dengan bengis saling berebut ingin menabrak saya. Berasa seperti maling/koruptor saja.

Transportasi Publik
Belanda juga memiliki sistem transportasi publik yang apik sehingga membuat penumpang nyaman menggunakannya. Semua transportasi publik itu terjadwal dengan sangat baik dan rapi. Jadi kalau mau bepergian kemana2, bisa diestimasikan waktunya karena penumpang dapat mengetahui jam berapa bus akan berangkat atau tiba di suatu halte.

Jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Kalau di Indonesia, sepertinya hanya Allah dan pak supir yang tau kapan kita akan sampai karena memang beliau seolah menyetir atas kehendaknya sendiri. Kadang jalan. Kadang ngetem. Kalau lagi mau ngetem, ya penumpang harus sabar menunggu. Kalau lagi jalan, ya penumpang harus sabar juga, karena tidak lama kemudian pasti ngetem lagi. Itupun masih mending kalau kita diantar sampai ke tempat tujuan. Tidak jarang saya diturunkan di tengah jalan hanya karena penumpangnya sangat sedikit. Hal yang tidak pernah saya alami di Belanda. Setidaknya sampai tulisan ini dibuat.

Di sini, mau penumpangnya banyak atau sedikit, si meneer tetap melajukan kendaraannya. Bahkan kalau sudah kelewat malam, penumpangnya tidak ada sama sekali atau hanya ada satu dua orang, dia tetap saja menyetir dengan penuh keceriaan (maaf, karena terkesan berlebihan, kata “penuh keceriaan” sebaiknya dibaca: biasa). Maka dari itu, jika saya naik bis kelewat malam, saya seperti punya mobil dan supir pribadi.
Hmm..kesannya saya kok jadi menjelek2an Indonesia banget ya dan terlalu mengagungkan Belanda? Kok sepertinya Belanda begitu sempurna? Ah, tentu tidak ada bangsa yang sempurna tanpa celah. Belanda pun punya beberapa kebiasaan yang kurang baik, tapi saya sengaja hanya menampilkan “akhlak” mereka yang baik2 di tulisan ini (itupun baru membahas transportasi, belum yang lain). Semoga dengan begitu kita dapat meniru kebaikan mereka.

Terakhir, mari kita merundukkan kepala seraya berdoa semoga si Bule yang saya ajak ngobrol di atas tidak terpapas PTSD akibat pengalamannya dengan transportasi kita, sehingga suatu saat bisa datang lagi ke Indonesia untuk menyumbang devisa negara.

0 comments:

Post a Comment