July 12, 2009

Saat Esensi Sebuah Organisasi Kehilangan Arah

Setahun yang lalu, saat aku hendak berkuliah di Jogja, Karang Taruna di tempat tinggalku resmi terbentuk. Memang terlalu lambat, tapi setidaknya kini pemuda di daerah ku lebih serius dan profesional dalam berorganisasi, karena selama ini mereka hanya tergabung dalam majelis ta’lim mushola. Walaupun seolah masih terikat dan berhubungan dekat dengan majelis ta’lim mushola, tapi Karang Taruna ini sebenarnya memilik kepengurusan sendiri. Aku ibaratkan jika dalam suatu kepanitiaan ada Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC), maka Karang Taruna ini bertindak sebagai SC-nya, dan pengurus majelis ta’lim sebagai OC. Sedikit aneh memang, organisasi yang baru lahir kok bisa jadi kakak dari organisasi yang lebih dulu ada? Aku juga kurang mengerti, karena terlalu banyak kepentingan politik bermain di sana. Untuk informasi, Karang Taruna yang baru terbentuk ini tidak main-main lho, karena nama Karang Taruna ini langsung dan sudah didaftarkan di kepolisian sektor daerah tempat tinggalku, sehingga menjadikannya lebih legal dan formal.

Jumat kemarin, untuk pertama kalinya aku mengikuti rapat mereka. Ya, pertama kali, bukan karena malas atau segan, tapi karena kondisiku yang saat ini sedang kuliah di Jogja tidak memungkinkan untuk mengikuti rapat-rapat mereka (tapi aku dengar dari salah satu temanku bahwa mereka memang jarang rapat. Mereka baru akan rapat ketika ada event khusus yang terjadi, misalnya Isra Mi’raj, 17 Agustusan, dll). Aku sama sekali tidak menduga akan ada kejutan di rapat perdanaku di Karang Taruna itu. Aku berpikir rapatnya akan sama seperti yang sering aku dan teman-temanku lakukan di kampus, ternyata jauh berbeda. Kesanku dari rapat yang aku ikuti tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Aku menamakan rapat itu sebagai rapat Rock n’ Roll. Kenapa? Karena sebagian dari orang-orang yang hadir disitu, dari cara berpakaian, bertingkah laku, dan berbicara tidak mencerminkan bahwa mereka juga adalah anggota dan pengurus majelis ta’lim mushola. Ada yang cara berpakaiannya seperti Adebayor mau main bola, seperti bassis grup band Radja, bahkan ada cowok yang terlihat cantik seperti Aming. Aku benar-benar kecewa dengan mereka, karena kami rapat di dalam Mushola, tempat yang sering kami pakai untuk beribadah. Mengapa perilaku mereka tidak mencerminkan muslim yang tahu agama dengan berpakaian seperti itu? Padahal sudah jelas Mushola itu untuk ibadah, kenapa sampai-sampai pakaian main bola dipakai di sana? Edan kan?
  2. Aku tidak merasa ikut rapat di sana, melainkan ikut aksi, karena tidak jarang teriakan-teriakan keluar di tengah rapat berlangsung, seperti mahasiswa yang sedang berorasi saja. Seharusnya mereka sadar bahwa mereka sedang berada dalam forum yang formal, di Mushola pula, mengapa tindakan mereka menjadi seakan abnormal? Kalau perilakunya saja masih informal, percuma saja Karang Taruna ini diformalkan dengan mendaftarkannya ke polsek.
  3. Akan tetapi aku berhasil menemukan satu hal positif di sana, yaitu kemeja yang mereka kenakan semuanya sama, jadi seolah-olah mereka seperti pegawai kantor (ini nih yang bikin aku kecewa terhadap cara berpakaian salah seorang teman. Sudah tahu atasannya kemeja, masa bawahannya pakai kolor? Edan kan?). Mereka berinisiatif memesan kemeja itu kepada tukang jahit dan mengenakannya sebagai seragam. Aku seperti makhluk asing dari planet di luar galaksi yang mampir di sana karena aku memakai baju yang berbeda (mereka membuat kemeja itu belum lama, saat aku masih di Jogja - sekarang aku lagi libur).

Itulah beberapa catatanku mengenai rapat pertamaku di Karang Taruna. Aku menyimpulkan organisasi yang didirikan teman-temanku itu masih jauh dari profesional, tapi aku juga tidak berani mengintervensi mereka dalam hal itu. Aku sadar aku sekarang menjadi ‘makhluk asing’ disana. Sangat sombong jika aku baru datang lalu tiba-tiba protes dengan hal itu. Semuanya ada proses, biar aku saksikan saja dulu dinamikanya. Aku tidak mau dikatakan ‘mentang-mentang anak kuliah, sehingga sok tahu dalam segala urusan’. Memang seperti itulah pandangan orang kebanyakan terhadap mahasiswa sekarang. Akan tetapi, aku masih kebingungan dalam menghadapi hal ini, darimana aku harus memulainya? Siapa yang akan membantu perjuanganku? Huh, kuatkah tubuh ini menanggung banyak beban?

Related Posts:

  • Pergiliran Senang dan Sedih “Dari dulu beginilah dunia, senang dan sedih selalu dipergilirkan. Agar tidak euforia ketika senang tiba. Supaya tidak melankolis saat sedih tertulis. Karena keduanya akan selalu saling menggantikan.” Dalam suat… Read More
  • Proses Pendewasaan Setiap fase kehidupan memiliki batas-batasnya. Sebelum beralih ke fase yang lain, manusia wajib melewati batas tersebut. Di tiap tapal batasnya, berlaku ujian dari setiap pelajaran yang sudah diperoleh selama manusi… Read More
  • Buat Yang Mau Studi Di Luar Negeri Belakangan ini saya memperhatikan animo mahasiswa untuk melanjutkan studinya di luar negeri semakin meninggi. Wajar sih, karena peluangnya memang semakin terbuka lebar. Beasiswa yang pemerintah tawarkan untuk st… Read More
  • A Magnificent Psychological State Seorang sahabat pernah mengisahkan pengalaman ruhaninya kepada saya. Beliau menuturkan bahwa kondisi ruhani terhebat yang pernah dirasakannya adalah ketika beliau mengerjakan skripsi. Menurut beliau, stressor yang b… Read More
  • Ketika Belanda Berbicara Indonesia Saya tersentil. Telinga saya yang “made in Indonesia” ini tersentil selepas mengikuti kursus Bahasa Belanda tadi malam. Sentilan itu membuat kegundahan di hati saya dan saya merasa perlu mengatarsiskannya di tulisan ini. … Read More

0 comments:

Post a Comment