Kaku. Semakin kemari rasanya hidup saya semakin kaku pada peraturan. Terlalu takut salah. Terlalu taat pada pihak yang saya anggap berwenang. Terlalu menyanderakan diri pada dogma-dogma. Atau kalau mau diperas dan diambil intinya, saya terlalu berlebihan jadi “anak baik”.
Well, saya bukan sedang menyombongkan
diri karena memang saya tidak bangga dengan itu. Justru menurut saya itu adalah
masalah. Sebuah persoalan yang harus saya selesaikan. Karena ini berkaitan
dengan karir saya sebagai akademisi (haiiss), apalagi akademisi ilmu sosial.
Sebagai akademisi, modal utama
yang harus kita pelihara baik-baik adalah pemikiran kritis. Seolah-olah ada
postulat bahwa setiap pendapat, opini, peraturan, atau hal semisal harus
dikritisi. Tidak peduli siapa pihak yang mengeluarkan opini atau peraturan itu.
Entah itu pemuka agama, pemerintah, dosen, akademisi lain atau sekedar warga
biasa. Selama itu bukan syariat-syariat yang telah jelas hukumnya dari Allah,
maka menjadi wajib hukumnya untuk mengkritisi pendapat mereka. Toh, mereka
bukan utusan yang menerima wahyu dari Jibril.
Nah, kemampuan mengkritisi inilah
yang rasanya pudar dari saya. Belakangan ini saya terlalu mem-beo. Terlalu berlebihan
mengiyakan perkataan orang, apalagi kalau orang itu memiliki otoritas atau
kewenangan. Bisa semakin merunduk saya jadinya.
Saya menduga hal ini bersebab
rasa cinta saya yang berlebih pada harmoni serta kekhawatiran yang terlalu
mendalam pada konflik hingga menjadikannya mental block. Bahkan untuk sekedar
berdebat atau adu argumen pun rasanya sungkan. Padahal hal itu menjadi
keharusan bagi akademisi.
Saya tercenung mendengar
perkataan teman saya yang bilang, “menjadi nakal itu tidak selamanya buruk.
Kadang dengan nakal itulah kita temukan kreativitas, inovasi, dan ide-ide”. Yang
dimaksud nakal oleh teman saya itu bukan nakalnya pengonsumsi narkoba, miras,
dan sebagainya. Kalau itu sudah jelas dosanya. Nakal disini artinya berusaha
mengupayakan jalan lain untuk mencari kebaikan sekaligus juga kesenangan,
selama tidak dosa, hehe.
Sebagai contoh, berapa banyak
anak yang akhirnya bisa berenang karena terbiasa mandi di sungai? Saya yakin banyak
orangtua yang melarang kegiatan itu, tapi karena si anak ingin mengejar
kesenangannya, maka iapun berani menyiasati larangan orangtua dengan
kreativitasnya. Mulanya mungkin dia bertanya kepada orangtuanya mengapa dia
dilarang? Kemudian dia memberikan argumen-argumen untuk meyakinkan orangtuanya
bahwa kekhawatiran mereka terlalu berlebihan. Kalau masih dilarang juga, sedangkan
keinginan mandi di sungai begitu menggebu, mereka lancarkan strategi lain. Dengan
ngumpet-ngumpet atau dengan mencari akses lain menuju ke sungai sehingga
orangtuanya tidak tau. Sesudah mandi, dia harus cari cara agar orangtuanya
tidak tau kalau dia baru mandi. Kalaupun orangtuanya tahu, dia harus mencari
alasan agar dia tidak dimarah. Begitu terus, sehingga terasa begitu hidup otak
si anak nakal itu.
Coba bandingkan dengan anak yang
manut-manut saja, yang sekali dilarang langsung mem-beo, saya yakin mereka akan
kalah kreatif dengan si nakal. Oleh karena itu, rasanya kenakalan itu kadang diperlukan,
selama hal itu bukan perbuatan kriminal dan merugikan orang. Kita yang dewasa
pun rasanya cenderung lebih suka dengan anak nakal daripada anak yang mem-beo.
Mereka yang nakal terlihat lebih menarik dan tidak membosankan serta lebih enak
diajak bercanda.
Oleh karena itu, mari nakal…!!!
#Home Sweet Home
0 comments:
Post a Comment