June 11, 2016

Mari Nakal!!!


Kaku. Semakin kemari rasanya hidup saya semakin kaku pada peraturan. Terlalu takut salah. Terlalu taat pada pihak yang saya anggap berwenang. Terlalu menyanderakan diri pada dogma-dogma. Atau kalau mau diperas dan diambil intinya, saya terlalu berlebihan jadi “anak baik”.

Well, saya bukan sedang menyombongkan diri karena memang saya tidak bangga dengan itu. Justru menurut saya itu adalah masalah. Sebuah persoalan yang harus saya selesaikan. Karena ini berkaitan dengan karir saya sebagai akademisi (haiiss), apalagi akademisi ilmu sosial.

Sebagai akademisi, modal utama yang harus kita pelihara baik-baik adalah pemikiran kritis. Seolah-olah ada postulat bahwa setiap pendapat, opini, peraturan, atau hal semisal harus dikritisi. Tidak peduli siapa pihak yang mengeluarkan opini atau peraturan itu. Entah itu pemuka agama, pemerintah, dosen, akademisi lain atau sekedar warga biasa. Selama itu bukan syariat-syariat yang telah jelas hukumnya dari Allah, maka menjadi wajib hukumnya untuk mengkritisi pendapat mereka. Toh, mereka bukan utusan yang menerima wahyu dari Jibril.

Nah, kemampuan mengkritisi inilah yang rasanya pudar dari saya. Belakangan ini saya terlalu mem-beo. Terlalu berlebihan mengiyakan perkataan orang, apalagi kalau orang itu memiliki otoritas atau kewenangan. Bisa semakin merunduk saya jadinya.

Saya menduga hal ini bersebab rasa cinta saya yang berlebih pada harmoni serta kekhawatiran yang terlalu mendalam pada konflik hingga menjadikannya mental block. Bahkan untuk sekedar berdebat atau adu argumen pun rasanya sungkan. Padahal hal itu menjadi keharusan bagi akademisi.

Saya tercenung mendengar perkataan teman saya yang bilang, “menjadi nakal itu tidak selamanya buruk. Kadang dengan nakal itulah kita temukan kreativitas, inovasi, dan ide-ide”. Yang dimaksud nakal oleh teman saya itu bukan nakalnya pengonsumsi narkoba, miras, dan sebagainya. Kalau itu sudah jelas dosanya. Nakal disini artinya berusaha mengupayakan jalan lain untuk mencari kebaikan sekaligus juga kesenangan, selama tidak dosa, hehe.

Sebagai contoh, berapa banyak anak yang akhirnya bisa berenang karena terbiasa mandi di sungai? Saya yakin banyak orangtua yang melarang kegiatan itu, tapi karena si anak ingin mengejar kesenangannya, maka iapun berani menyiasati larangan orangtua dengan kreativitasnya. Mulanya mungkin dia bertanya kepada orangtuanya mengapa dia dilarang? Kemudian dia memberikan argumen-argumen untuk meyakinkan orangtuanya bahwa kekhawatiran mereka terlalu berlebihan. Kalau masih dilarang juga, sedangkan keinginan mandi di sungai begitu menggebu, mereka lancarkan strategi lain. Dengan ngumpet-ngumpet atau dengan mencari akses lain menuju ke sungai sehingga orangtuanya tidak tau. Sesudah mandi, dia harus cari cara agar orangtuanya tidak tau kalau dia baru mandi. Kalaupun orangtuanya tahu, dia harus mencari alasan agar dia tidak dimarah. Begitu terus, sehingga terasa begitu hidup otak si anak nakal itu.

Coba bandingkan dengan anak yang manut-manut saja, yang sekali dilarang langsung mem-beo, saya yakin mereka akan kalah kreatif dengan si nakal. Oleh karena itu, rasanya kenakalan itu kadang diperlukan, selama hal itu bukan perbuatan kriminal dan merugikan orang. Kita yang dewasa pun rasanya cenderung lebih suka dengan anak nakal daripada anak yang mem-beo. Mereka yang nakal terlihat lebih menarik dan tidak membosankan serta lebih enak diajak bercanda.

Oleh karena itu, mari nakal…!!!

#Home Sweet Home

0 comments:

Post a Comment