June 18, 2016

Kereta Hidayah


Beberapa hari sebelum puasa, saya menyempatkan diri ke Jogja. Selain untuk melepas rindu pada kota yang telah saya tinggali tujuh tahun terakhir itu, bertemu dengan orang-orang yang saya hormati dan ta’dhimi di sana, saya juga perlu mengurus ijazah dan transkrip kuliah saya di kampus tercinta yang cintanya tidak saya rasakan ketika sedang menulis skripsi dan tesis.

Dalam perjalanan di atas kereta, saya duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Jika dibandingkan, usia kami mungkin tidak berselisih. Kalaupun tidak dibandingkan, usia kami juga rasanya tetap tidak berselisih karena yang suka berselisih kan politisi partai.

Dua kursi yang sejatinya bisa diduduki oleh empat orang itu, saat itu hanya diduduki oleh kami berdua, saya dan teman perjalanan saya itu. Menyebabkan kami berhadap-hadapan seperti Captain America dan Iron Man dalam poster film Civil War. Bedanya kami tidak pakai topeng. Atau mungkin dia punya topeng, tapi tidak dipakai?

Dari pakaian yang dikenakan, pemikiran heuristik saya langsung menduga bahwa beliau ini adalah anggota dari salah satu jamaah pengajian. Dan dugaan saya ternyata benar. Saya mengetahuinya setelah bercakap-cakap dengan beliau. Lebih dari setengah perjalanan saya habiskan dengan berbincang bersama beliau. Ada banyak hal yang kami bicarakan, tapi yang paling sering jadi topik bahasan adalah kegiatan beliau sebagai juru dakwah.

Mulanya, teman perjalanan saya ini yang pertama kali membuka obrolan. Tunggu, untuk lebih menghemat tenaga, sebutan “teman perjalanan” ini selanjutnya akan saya ganti dengan Rofiq. Itu saya tidak sedang asal memberi nama, karena bahasa Arabnya teman perjalanan adalah memang Rofiq. Nah, sekarang kamu tau.

Di awal perjalanan, Rofiq lah yang membuka obrolan. Dia mulai berbasa-basi dengan menanyakan tujuan perjalanan saya, tapi hanya saya tanggapi tipis-tipis saja karena sayanya lagi fokus melamun saat itu. Baru ketika perjalanan sudah sekitar 3 jam, saya yang inisiatif ajak obrol.

Mas Rofiq ini aslinya warga Kutoarjo. Dia baru dari Jakarta untuk menghadiri sebuah pengajian atau dauroh selama tiga hari di daerah Cikampek. Beliau katanya lulusan universitas di Afrika Selatan. Saya lupa tanya nama universitasnya apa, tapi yang pasti dia tinggal di sana lumayan lama, tujuh tahun. Belajar syariah katanya. Baru lulus berapa bulan yang lalu katanya. Jadi masih seger! Kalau Mas Rofiq berbentuk sebuah jeruk, masih enak dibikin jus.

Pas saya tanya kenapa kok dia memilih kuliah di sana, sesuatu yang agaknya kurang lazim, dia bilang karena di sana bagus.

Iya Mas, bagus, tapi kenapa?

Iya, karena lingkungannya mendukung. Mahasiswanya berasal dari banyak negara. Penduduk lokalnya ramah dan mau menoleransi warga muslim (muslim menjadi minoritas di sana). Apalagi penduduk muslimnya, sangat senang membantu sesama muslim.

Oh, gitu Mas.

Mas Rofiq kadang-kadang juga nanya saya, biar gak dikira seperti sedang main kuis Who Wants to be a Millionaire karena saya terus yang tanya. Dia tanya apa ya. Oh ini, dia tanya apakah saya tau jamaah yang dia maksud dan apakah ada jamaah yang datang ke daerah saya?

Saya bilang, yah sedikit-sedikit saya tau Mas. Tapi tempat tinggal saya itu jarang dimasuki sama jamaah-jamaah yang Mas Rofiq maksudkan karena banyak warga yang khawatir dengan pemahaman-pemahaman yang baru. Jadi kalau ada jamaah lain yang datang, yang mau mengadakan pengajian atau hal semisal, tidak jarang warga menolaknya.

Mendengar jawaban saya itu, Mas Rofiq langsung bereaksi. Dengan gagah perkakas dia mengatakan, “Kalau saya yang kesana, sudah saya debat kyainya. Lah memang kami melakukan apa? Dakwah kok dilarang. Kami kan mengajak orang pada kebaikan, bukan sebaliknya”

Iya, Mas Rofiq.

“Seharusnya yang dilarang itu yang suka mabuk-mabukan, judi, pacaran dan sebagainya. Bukan justru orang yang mengajak pada kebaikan”

Iya, Mas Rofiq.

“Antum tau, berapa banyak orang yang akhirnya dapat hidayah karena usaha dakwah kami? Banyak. Dari mulai preman bertato, penjahat, sampai artis-artis, banyak yang dapat hidayah karena jamaah ini. Tidak ada jamaah lain yang bisa berbuat seperti ini. N*, Muham*******, W*h*b* tidak bisa!” sambung Mas Rofiq dengan bergelora.

Sebenarnya ada banyak sekali percakapan yang saya lakukan bersama beliau. Tadi sudah saya katakan bahwa setengah perjalanan saya, saya habiskan untuk berbincang bersama beliau. Tapi tidak mungkin saya tuliskan semua di sini karena selain saya tidak mau menyusahkan diri sendiri, saya juga sudah tidak ingat semua isi percakapannya.

Saya sungguh bangga dengan perjuangan teman-teman dakwah, baik dari gerakan yang diikuti Mas Rofiq, maupun dari gerakan lainnya yang sesuai dengan sunnah. Biar bagaimanapun, merekalah para pewaris perjuangan para nabi dan ulama. Tapi sangat disayangkan jika hidayah yang merupakan pemberian Allah diklaim sebagai usaha mereka, saya kira ada pemahaman yang perlu diluruskan di sana.

#Home Sweet Home

0 comments:

Post a Comment