Beberapa hari sebelum puasa, saya menyempatkan diri ke Jogja. Selain untuk melepas rindu pada kota yang telah saya tinggali tujuh tahun terakhir itu, bertemu dengan orang-orang yang saya hormati dan ta’dhimi di sana, saya juga perlu mengurus ijazah dan transkrip kuliah saya di kampus tercinta yang cintanya tidak saya rasakan ketika sedang menulis skripsi dan tesis.
Dalam perjalanan di atas kereta,
saya duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Jika dibandingkan, usia kami mungkin
tidak berselisih. Kalaupun tidak dibandingkan, usia kami juga rasanya tetap
tidak berselisih karena yang suka berselisih kan politisi partai.
Dua kursi yang sejatinya bisa diduduki
oleh empat orang itu, saat itu hanya diduduki oleh kami berdua, saya dan teman
perjalanan saya itu. Menyebabkan kami berhadap-hadapan seperti Captain America
dan Iron Man dalam poster film Civil War. Bedanya kami tidak pakai topeng. Atau
mungkin dia punya topeng, tapi tidak dipakai?
Dari pakaian yang dikenakan,
pemikiran heuristik saya langsung menduga bahwa beliau ini adalah anggota dari salah
satu jamaah pengajian. Dan dugaan saya ternyata benar. Saya mengetahuinya
setelah bercakap-cakap dengan beliau. Lebih dari setengah perjalanan saya
habiskan dengan berbincang bersama beliau. Ada banyak hal yang kami bicarakan,
tapi yang paling sering jadi topik bahasan adalah kegiatan beliau sebagai juru
dakwah.
Mulanya, teman perjalanan saya
ini yang pertama kali membuka obrolan. Tunggu, untuk lebih menghemat tenaga, sebutan
“teman perjalanan” ini selanjutnya akan saya ganti dengan Rofiq. Itu saya tidak
sedang asal memberi nama, karena bahasa Arabnya teman perjalanan adalah memang
Rofiq. Nah, sekarang kamu tau.
Di awal perjalanan, Rofiq lah
yang membuka obrolan. Dia mulai berbasa-basi dengan menanyakan tujuan perjalanan
saya, tapi hanya saya tanggapi tipis-tipis saja karena sayanya lagi fokus melamun
saat itu. Baru ketika perjalanan sudah sekitar 3 jam, saya yang inisiatif ajak
obrol.
Mas Rofiq ini aslinya warga
Kutoarjo. Dia baru dari Jakarta untuk menghadiri sebuah pengajian atau dauroh
selama tiga hari di daerah Cikampek. Beliau katanya lulusan universitas di
Afrika Selatan. Saya lupa tanya nama universitasnya apa, tapi yang pasti dia
tinggal di sana lumayan lama, tujuh tahun. Belajar syariah katanya. Baru lulus
berapa bulan yang lalu katanya. Jadi masih seger! Kalau Mas Rofiq berbentuk
sebuah jeruk, masih enak dibikin jus.
Pas saya tanya kenapa kok dia
memilih kuliah di sana, sesuatu yang agaknya kurang lazim, dia bilang karena di
sana bagus.
Iya Mas, bagus, tapi kenapa?
Iya, karena lingkungannya
mendukung. Mahasiswanya berasal dari banyak negara. Penduduk lokalnya ramah dan
mau menoleransi warga muslim (muslim menjadi minoritas di sana). Apalagi
penduduk muslimnya, sangat senang membantu sesama muslim.
Oh, gitu Mas.
Mas Rofiq kadang-kadang juga
nanya saya, biar gak dikira seperti sedang main kuis Who Wants to be a
Millionaire karena saya terus yang tanya. Dia tanya apa ya. Oh ini, dia tanya
apakah saya tau jamaah yang dia maksud dan apakah ada jamaah yang datang ke
daerah saya?
Saya bilang, yah sedikit-sedikit
saya tau Mas. Tapi tempat tinggal saya itu jarang dimasuki sama jamaah-jamaah
yang Mas Rofiq maksudkan karena banyak warga yang khawatir dengan
pemahaman-pemahaman yang baru. Jadi kalau ada jamaah lain yang datang, yang mau
mengadakan pengajian atau hal semisal, tidak jarang warga menolaknya.
Mendengar jawaban saya itu, Mas
Rofiq langsung bereaksi. Dengan gagah perkakas dia mengatakan, “Kalau saya yang kesana, sudah saya debat
kyainya. Lah memang kami melakukan apa? Dakwah kok dilarang. Kami kan mengajak
orang pada kebaikan, bukan sebaliknya”
Iya, Mas Rofiq.
“Seharusnya yang dilarang itu yang suka mabuk-mabukan, judi, pacaran
dan sebagainya. Bukan justru orang yang mengajak pada kebaikan”
Iya, Mas Rofiq.
“Antum tau, berapa banyak orang yang akhirnya dapat hidayah karena
usaha dakwah kami? Banyak. Dari mulai preman bertato, penjahat, sampai
artis-artis, banyak yang dapat hidayah karena jamaah ini. Tidak ada jamaah lain
yang bisa berbuat seperti ini. N*, Muham*******, W*h*b* tidak bisa!”
sambung Mas Rofiq dengan bergelora.
Sebenarnya ada banyak sekali
percakapan yang saya lakukan bersama beliau. Tadi sudah saya katakan bahwa
setengah perjalanan saya, saya habiskan untuk berbincang bersama beliau. Tapi tidak
mungkin saya tuliskan semua di sini karena selain saya tidak mau menyusahkan
diri sendiri, saya juga sudah tidak ingat semua isi percakapannya.
Saya sungguh bangga dengan
perjuangan teman-teman dakwah, baik dari gerakan yang diikuti Mas Rofiq, maupun
dari gerakan lainnya yang sesuai dengan sunnah. Biar bagaimanapun, merekalah
para pewaris perjuangan para nabi dan ulama. Tapi sangat disayangkan jika
hidayah yang merupakan pemberian Allah diklaim sebagai usaha mereka, saya kira
ada pemahaman yang perlu diluruskan di sana.
#Home Sweet Home
0 comments:
Post a Comment