June 30, 2016

Pintu Pemeriksaan


Alhamdulillah liburan musim panas sudah tiba. Saya sudah bisa mudik ke Indonesia. Bahkan sudah sebulan lebih saya berada di negeri tercinta. Sudah bisa menikmati sayur asem, ikan asin, mie ayam, ketoprak, bakso, nasi goreng, sate, dan berbagai kuliner lain yang menggoda. Sudah bisa merasakan hangatnya matahari dan sejuknya semilir angin sore yang memanja. Alhamdulillah.

Meski semua itu sudah kembali saya dapati, tapi ada proses yang menegangkan yang harus saya lalui sebelum saya benar-benar bisa menginjakkan kaki di tanah air. Proses yang membuat saya cemas, khawatir, serta ketakutan karena hampir saja saya batal pulang ke Indonesia.

Kisah bermula ketika saya mendengar omongan teman saya yang mengatakan bahwa kita bisa membawa dua tas ke dalam kabin pesawat. Jadi menurut beliau, agar bisa membawa oleh-oleh lebih banyak, maka sebaiknya masukkan baju ke dalam tas kabin sehingga koper bagasi bisa dikhususkan untuk membawa oleh-oleh. Mengingat ini adalah kepulangan pertama saya dan ada banyak oleh-oleh yang dibeli, maka saya ikuti trik beliau.

Singkat cerita, ketika ingin loading koper di counter Oman Air, maskapai yang saya gunakan saat itu, saya ditegur karena membawa dua tas ke dalam kabin sedangkan yang diperbolehkan hanya satu tas. Itupun berat maksimalnya hanya 7 kg sedangkan dua tas saya itu sekitar 15 kg. Sungguh saya tidak tau kalau ternyata kami hanya diperbolehkan membawa satu tas saja. Saya sudah berusaha meminta pengecualian dengan alasan bahwa saya mahasiswa dan membawa buku dan laptop (dan saya memang benar-benar membawa keduanya), jadi tidak mungkin barang-barang itu saya tinggalkan, tapi mereka tetap tidak mengizinkan. Akhirnya, sibuklah saya me-repacking tas saya.

Satu jam lebih saya repacking dua tas saya agar bisa jadi satu tas dengan berat 7 kg. Hal yang agak mustahil kalau saya tidak mengorbankan barang-barang di dalamnya. Maka dengan sangat disayangkan, banyak pakaian saya buang. Beberapa barang yang bisa diberikan ke orang lain, saya berikan ke mereka agar tidak mubazir, misalnya oleh-oleh. Berulang kali saya datangi counter Oman Air untuk menimbang ulang, berulang kali juga mereka menolak karena rupanya masih kelebihan. Sampai akhirnya saya diizinkan membawa tas saya itu ketika waktu keberangkatan hampir tiba, kurang lebih 30 menit lagi.

Masalah kedua muncul di counter imigrasi. Sidik jari saya tidak terbaca sehingga saya tertahan di imigrasi. Berulang kali saya coba, yang artinya berulang kali pula saya mengulang antrian karena begitu sidik jari saya tidak terbaca mereka menyuruh saya mengantri lagi dari belakang, tapi berulang kali pula saya gagal. Sampai akhirnya saya cemas luar biasa karena waktu keberangkatan yang segera tiba. Seorang penumpang lain berasal dari Jordan sempat menasihati saya agar meminta didahulukan karena waktu saya yang sangat mepet. Saya meminta bantuan beliau untuk meyakinkan petugas imigrasi.

Awalnya petugas imigrasi itu tetap tidak peduli dengan urusan saya. Dengan tampang sangar dia menyuruh saya tetap pada antrian. Tapi setelah saya tunjukkan tiket dan meyakinkan dia bahwa waktu yang saya miliki sangat sedikit, akhirnya petugas itu berbaik hati meminta temannya yang lain untuk meng-handle saya.

Meski ada petugas lain yang meng-handle urusan saya, bukan berarti semuanya langsung selesai. Saya masih tidak bisa melakukan cek sidik jari. Paspor saya dibolak-balik oleh petugas itu, kemudian dia menanyai beberapa hal sampai pada satu pertanyaan yang bikin saya kaget. “Kamu punya masalah apa di sini?” tanya dia. Saya jawab, “Saya mahasiswa. Baru satu tahun disini dan tidak punya masalah apa-apa”.

Setelah proses yang menegangkan itu, akhirnya saya diperbolehkan masuk. Saya langsung cari tempat boarding Oman Air. Untunglah masih belum tutup, walaupun sudah tidak ada lagi penumpang di ruangan itu karena semua sudah masuk pesawat. Saya bersyukur bisa ikut penerbangan malam itu.

***
Satu hal yang belakangan terpikirkan oleh saya dan menjadi hikmah serta refleksi saya dari kejadian itu adalah tentang keadaan manusia di akhirat kelak.

Saya membayangkan, pemeriksaan di dunia yang dilakukan oleh manusia saja begitu ketatnya, lalu bagaimana pemeriksaan nanti di akhirat yang dilaksanakan oleh para malaikat? Tidak terbayangkan ketatnya pemeriksaan yang harus dilalui manusia untuk menentukan tempatnya di akhirat, Surga atau Neraka. Saking ketat dan mencemaskannya, pemeriksaan itu bahkan menyebabkan sebagian golongan harus merutuki diri sendiri, “Celakalah aku! Celakalah aku!” disaat sebagian lagi tersenyum menunggu datangnya kenikmatan abadi.

Saya membayangkan, menghadapi pertanyaan “punya masalah apa kamu disini?” dari petugas imigrasi saja sudah begitu menegangkannya. Padahal itu hanya pertanyaan dunia. Kalaupun kita salah, masih bisa kita perbaiki kemudian. Tapi jika yang bertanya malaikat, “punya masalah apa kamu di dunia?”. Duh, itu sudah pertanyaan final. Tidak ada waktu lagi untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan kita.

Saya membayangkan, kalau pada saat pemeriksaan imigrasi saya masih bisa dibantu oleh orang Jordan yang baik. Yang mau membantu saya meyakinkan petugas imigrasi. Hal serupa sudah tidak mungkin saya dapati lagi di akhirat karena setiap orang akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Kita pun tidak bisa meminta belas kasihan para penjaga (malaikat) seperti saya meminta belas kasihan petugas imigrasi, karena para malaikat selalu tunduk dengan perintah Allah. Tidak bisa disuap. Tidak bisa dikelabui. Dan tidak peduli dengan ratap manusia yang memelas.

Sepayah apapun kita memelas, sekuat apapun kita memohon, kalau dokumen-dokumen penunjang kita tidak lengkap, maka kita tidak akan diizinkan mengikuti “penerbangan” ke Surga. Begitu juga sebaliknya, kalau paspor sudah di tangan, visa sudah didapat, dan tidak ada masalah yang berarti, Insya Allah kita akan mudah masuk Surga. Oleh karena itu mumpung masih di dunia, selagi masih ada waktu untuk bertobat, mari perbaiki diri dan lengkapi dokumen-dokumen penunjang ke Surga dengan perbanyak amal baik.

#Home Sweet Home

0 comments:

Post a Comment