April 22, 2017

Inilah Jayakarta, Kemenangan Paripurna


Pilkada DKI Jakarta 2017 baru saja berlalu. Tidak bisa saya pungkiri, saya sangat senang dengan hasil tersebut. Kekhawatiran yang sebelumnya saya rasakan alhamdulillah tidak terjadi. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akhirnya dapat memenangkan pertarungan sengit melawan calon petahana, Ahok dan Djarot.

Saking khawatirnya, bahkan saya sampai bermimpi di malam sebelum pencoblosan. Di mimpi itu si penista Al-Qur’an dapat mengungguli pasangan Anies-Sandi. Sebuah mimpi yang sangat ganjil dan membuat was-was. Bagaimana tidak was-was kalau penista Al-Qur’an dapat memenangkan kontestasi politik di wilayah sekelas Jakarta? Yah, meskipun saya tidak ber-KTP Jakarta, tapi tempat tinggal saya berbatasan langsung dengan ibukota. Apapun kebijakan yang berlaku di Jakarta, sedikit banyak akan berdampak juga bagi kota di sekitarnya. 


Akan tetapi intinya sebenarnya bukan masalah geografis sih. Ada hal yang lebih ideologis daripada sekedar letak tempat tinggal. Ini menyangkut keyakinan. Karena di belahan bumi manapun, entah itu di Jakarta, Bandung, Surabaya, Aceh, atau Kalimantan, kalau ada penista Al-Qur’an yang berani “mendikte” kaum muslimin yang menjadi mayoritas, selamanya saya tidak akan ridho. Maka dari itu, saya sangat bersuka cita dengan kemenangan Anies-Sandi.

Kemenangan umat Islam terhadap penista Al-Qur’an mengingatkan saya tentang kisah pembebasan Jakarta oleh tentara umat Islam dari tangan Portugis. Ketika itu pasukan umat Islam yang dikomandoi Fatahillah berhasil merebut Jakarta (saat itu masih bernama Sunda Kelapa) pada tanggal 22 Juni 1527. Pada saat itu pula Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang diambil dari bahasa Arab, Fathun Mubina, yang bermakna kemenangan paripurna (baca : Api Sejarah). Hingga kini tanggal pembebesan Jakarta dari kuffar Portugis diperingati sebagai HUT Jakarta.

Semakna dengan kemenangan tersebut meski dalam konteks yang berbeda, umat Islam lagi-lagi berhasil membebaskan Ibukota dari “penjajahan” kafir. Pilkada 2017 telah mengakhiri kekuasaan Ahok di Jakarta. Yah, memang pada mulanya bukan Ahok yang memimpin Jakarta, melainkan Jokowi. Tapi ketika Jokowi maju sebagai calon presiden tahun 2014, yang mana dia mengkhianati janjinya untuk tidak meninggalkan Jakarta, tampuk kekuasaan pada akhirnya beralih ke Ahok. Mau tidak mau, suka tidak suka, Jakarta yang mayoritas penduduknya beragama Islam harus dipimpin oleh seorang kafir selama tiga tahun, 2014-2017.

Meskipun calon dari petahana dapat dikalahkan, tapi menurut saya ada catatan yang harus digarisbawahi, terutama tentang sepak terjang si penista agama. Sebagaimana kita ketahui penista agama telah di-bombardir dengan berbagai macam serangan. Entah melalui aksi jutaan umat Islam yang turun ke jalan, khutbah para ulama di tengah masyarakat, jeratan hukum, atau resistensi warga terhadap kampanyenya. Akan tetapi serangan yang sangat masif itu ternyata masih mampu membuatnya menang dalam pilkada putaran pertama dengan perolehan suara di atas 40%. Entah apa jadinya jika ikhtiar para ulama dan umat Islam saat itu tidak maksimal. Entah bagaimana hasilnya jika umat Islam dari seluruh Indonesia tidak ikut serta dalam berbagai aksi di Jakarta dan berpikiran “Ah, itu kan urusan warga Jakarta.” Bukan tidak mungkin dia menang satu putaran sebagaimana grand design-nya di awal.

Mengingat dia masih muda dan karir politiknya masih panjang, maka sepak terjangnya harus selalu diwaspadai. Apalagi sekarang dia digadang-gadang menjadi salah satu menteri dalam kabinet Jokowi. Bukan tidak mungkin grand design menjadikannya calon wakil presiden tahun 2019 akan tetap berjalan.

Tangisan Sandi
Pada hari pencoblosan sebenarnya saya tidak bisa mengikuti hasil quick count karena ada kuliah. Saya baru tau hasilnya ketika quick count sudah memasuki angka 80% lebih. Di saat itulah saya benar-benar senang. Yang menarik, ada satu artikel yang memberitakan tentang Sandiaga yang menangis usai hasil quick count keluar.

Kenapa saya tertarik? Karena saya paham betul apa yang dia rasakan. Yah, saya memang belum pernah ikut kontestasi politik sekelas Pilkada, apalagi Pilkada Jakarta, tapi setidaknya saya pernah merasakan jadi calon ketua Lembaga Mahasiswa. Saat itu sebenarnya saya tidak ingin maju sebagai calon ketua. Boleh dibilang saya ini manusia plegmatis yang mencandu kedamaian. Politik praktis rasanya bukan alam natural saya. Tapi karena saat itu teman-teman telah mengumpulkan KTM nya untuk saya dan mendorong saya untuk maju sebagai calon ketua, akhirnya saya maju juga.

Kalau ditanya daftar kejadian yang pernah mengguncangkan hati saya, dapatlah momen Pemira (Pemilihan Raya Mahasiswa) itu dimasukan dalam daftar tersebut. Dalam masa-masa itu, saya merasa sangat tidak nyaman. Entah berapa kali saya menangis karena tekanan yang dihadapi (haha, ketauan deh). Tentu bukan menangis di depan orang lain, apalagi di depan umum. Di hadapan orang saya berusaha tampil normal. Proses Pemira pun saya hadapi senormal mungkin. Debat kandidat, kampanye, sampai pemungutan suara pada akhirnya berjalan lancar. Meski saya tidak menang dalam Pemira tersebut, tapi saya bersyukur dapat melewati momen itu dengan waras, haha.

Nah, dalam pandangan saya, Sandiaga Uno itu orang yang plegmatis. Suka dengan harmoni dan kedamaian. Meskipun di alam naturalnya (dunia bisnis) juga ada kompetisi dan persaingan yang bersifat menekan, tapi tekanan di dunia politik tentu berbeda. Dalam dunia politik, segala cara dihalalkan untuk menjatuhkan lawan. Entah bagaimana hebatnya tekanan yang dia rasakan ketika pilkada kemarin. Dan tangisan di hari kemenangannya menurut saya adalah luapan ekspresi dari berbagai tekanan yang dia terima.

Masih dalam pandangan saya, Sandiaga Uno adalah orang baik dan cerdas, tapi masih belum bisa berdiri di kaki sendiri. Dia membutuhkan mentor. Maka dari itu, langkah dia memilih Anies Baswedan sebagai rekan juangnya menurut saya sangat tepat. Dia tidak memaksakan kehendak partai yang ingin mengusungnya sebagai calon gubernur dan memilih “hanya” menjadi wakilnya saja. Dia memahami betul kapabilitas dirinya. Sebagai kader partai, dia termasuk langka karena berhaluan rasionalis dan bukan ideologis. Untungnya partai pengusungnya dapat memahami situasi tersebut sehingga mengubah kehendak mereka.

Hmm… Saya jadi tidak sabar menunggu bagaimana jadinya Sandiaga Uno dalam sepuluh tahun kedepan. Saya ingin segera melihat bagaimana jadinya Indonesia dalam 20 tahun kedepan. Perkembangan negara ini sangat menjanjikan. Kalau Indonesia dapat menghindari berbagai jegalan dari negara lain, tentu Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama di kancah internasional.

Ah, saya jadi teringat perkataan dosen saya yang entah berapa kali dia bilang, “Di masa mendatang, negara kamulah yang akan memimpin umat Islam, bukan lagi negara Arab.”

#Asrama Mahasiswa KSU

0 comments:

Post a Comment