Pilkada DKI Jakarta 2017 baru
saja berlalu. Tidak bisa saya pungkiri, saya sangat senang dengan hasil
tersebut. Kekhawatiran yang sebelumnya saya rasakan alhamdulillah tidak terjadi.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akhirnya dapat memenangkan pertarungan sengit
melawan calon petahana, Ahok dan Djarot.
Saking khawatirnya, bahkan saya
sampai bermimpi di malam sebelum pencoblosan. Di mimpi itu si penista Al-Qur’an
dapat mengungguli pasangan Anies-Sandi. Sebuah mimpi yang sangat ganjil dan
membuat was-was. Bagaimana tidak was-was kalau penista Al-Qur’an dapat
memenangkan kontestasi politik di wilayah sekelas Jakarta? Yah, meskipun saya tidak
ber-KTP Jakarta, tapi tempat tinggal saya berbatasan langsung dengan ibukota. Apapun
kebijakan yang berlaku di Jakarta, sedikit banyak akan berdampak juga bagi kota
di sekitarnya.
Akan tetapi intinya sebenarnya
bukan masalah geografis sih. Ada hal yang lebih ideologis daripada
sekedar letak tempat tinggal. Ini menyangkut keyakinan. Karena di belahan bumi
manapun, entah itu di Jakarta, Bandung, Surabaya, Aceh, atau Kalimantan, kalau
ada penista Al-Qur’an yang berani “mendikte” kaum muslimin yang menjadi
mayoritas, selamanya saya tidak akan ridho. Maka dari itu, saya sangat bersuka cita dengan kemenangan Anies-Sandi.
Kemenangan umat Islam terhadap
penista Al-Qur’an mengingatkan saya tentang kisah pembebasan Jakarta oleh
tentara umat Islam dari tangan Portugis. Ketika itu pasukan umat Islam yang dikomandoi
Fatahillah berhasil merebut Jakarta (saat itu masih bernama Sunda Kelapa) pada
tanggal 22 Juni 1527. Pada saat itu pula Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, yang diambil dari bahasa Arab, Fathun Mubina, yang
bermakna kemenangan paripurna (baca : Api Sejarah). Hingga kini tanggal pembebesan Jakarta dari
kuffar Portugis diperingati sebagai HUT Jakarta.
Semakna dengan kemenangan
tersebut meski dalam konteks yang berbeda, umat Islam lagi-lagi berhasil membebaskan
Ibukota dari “penjajahan” kafir. Pilkada 2017 telah mengakhiri kekuasaan Ahok
di Jakarta. Yah, memang pada mulanya bukan Ahok yang memimpin Jakarta,
melainkan Jokowi. Tapi ketika Jokowi maju sebagai calon presiden tahun 2014,
yang mana dia mengkhianati janjinya untuk tidak meninggalkan Jakarta, tampuk
kekuasaan pada akhirnya beralih ke Ahok. Mau tidak mau, suka tidak suka,
Jakarta yang mayoritas penduduknya beragama Islam harus dipimpin oleh seorang
kafir selama tiga tahun, 2014-2017.
Meskipun calon dari petahana
dapat dikalahkan, tapi menurut saya ada catatan yang harus digarisbawahi,
terutama tentang sepak terjang si penista agama. Sebagaimana kita ketahui
penista agama telah di-bombardir dengan berbagai macam serangan. Entah melalui
aksi jutaan umat Islam yang turun ke jalan, khutbah para ulama di tengah
masyarakat, jeratan hukum, atau resistensi warga terhadap kampanyenya. Akan tetapi
serangan yang sangat masif itu ternyata masih mampu membuatnya menang dalam pilkada
putaran pertama dengan perolehan suara di atas 40%. Entah apa jadinya jika
ikhtiar para ulama dan umat Islam saat itu tidak maksimal. Entah bagaimana
hasilnya jika umat Islam dari seluruh Indonesia tidak ikut serta dalam berbagai
aksi di Jakarta dan berpikiran “Ah, itu kan urusan warga Jakarta.” Bukan
tidak mungkin dia menang satu putaran sebagaimana grand design-nya di
awal.
Mengingat dia masih muda dan
karir politiknya masih panjang, maka sepak terjangnya harus selalu diwaspadai.
Apalagi sekarang dia digadang-gadang menjadi salah satu menteri dalam kabinet Jokowi.
Bukan tidak mungkin grand design menjadikannya calon wakil presiden tahun 2019
akan tetap berjalan.
Tangisan Sandi
Pada hari pencoblosan sebenarnya
saya tidak bisa mengikuti hasil quick count karena ada kuliah. Saya baru
tau hasilnya ketika quick count sudah memasuki angka 80% lebih. Di saat
itulah saya benar-benar senang. Yang menarik, ada satu artikel yang memberitakan
tentang Sandiaga yang menangis usai hasil quick count keluar.
Kenapa saya tertarik? Karena saya
paham betul apa yang dia rasakan. Yah, saya memang belum pernah ikut kontestasi
politik sekelas Pilkada, apalagi Pilkada Jakarta, tapi setidaknya saya pernah merasakan
jadi calon ketua Lembaga Mahasiswa. Saat itu sebenarnya saya tidak ingin maju
sebagai calon ketua. Boleh dibilang saya ini manusia plegmatis yang mencandu
kedamaian. Politik praktis rasanya bukan alam natural saya. Tapi karena saat
itu teman-teman telah mengumpulkan KTM nya untuk saya dan mendorong saya untuk
maju sebagai calon ketua, akhirnya saya maju juga.
Kalau ditanya daftar kejadian
yang pernah mengguncangkan hati saya, dapatlah momen Pemira (Pemilihan Raya Mahasiswa)
itu dimasukan dalam daftar tersebut. Dalam masa-masa itu, saya merasa sangat
tidak nyaman. Entah berapa kali saya menangis karena tekanan yang dihadapi (haha, ketauan deh). Tentu bukan
menangis di depan orang lain, apalagi di depan umum. Di hadapan orang saya
berusaha tampil normal. Proses Pemira pun saya hadapi senormal mungkin. Debat
kandidat, kampanye, sampai pemungutan suara pada akhirnya berjalan lancar. Meski
saya tidak menang dalam Pemira tersebut, tapi saya bersyukur dapat melewati
momen itu dengan waras, haha.
Nah, dalam pandangan saya,
Sandiaga Uno itu orang yang plegmatis. Suka dengan harmoni dan kedamaian. Meskipun
di alam naturalnya (dunia bisnis) juga ada kompetisi dan persaingan yang
bersifat menekan, tapi tekanan di dunia politik tentu berbeda. Dalam dunia
politik, segala cara dihalalkan untuk menjatuhkan lawan. Entah bagaimana hebatnya
tekanan yang dia rasakan ketika pilkada kemarin. Dan tangisan di hari
kemenangannya menurut saya adalah luapan ekspresi dari berbagai tekanan yang
dia terima.
Masih dalam pandangan saya,
Sandiaga Uno adalah orang baik dan cerdas, tapi masih belum bisa berdiri di
kaki sendiri. Dia membutuhkan mentor. Maka dari itu, langkah dia memilih Anies
Baswedan sebagai rekan juangnya menurut saya sangat tepat. Dia tidak memaksakan
kehendak partai yang ingin mengusungnya sebagai calon gubernur dan memilih “hanya”
menjadi wakilnya saja. Dia memahami betul kapabilitas dirinya. Sebagai kader
partai, dia termasuk langka karena berhaluan rasionalis dan bukan ideologis.
Untungnya partai pengusungnya dapat memahami situasi tersebut sehingga mengubah
kehendak mereka.
Hmm… Saya jadi tidak sabar
menunggu bagaimana jadinya Sandiaga Uno dalam sepuluh tahun kedepan. Saya ingin
segera melihat bagaimana jadinya Indonesia dalam 20 tahun kedepan. Perkembangan
negara ini sangat menjanjikan. Kalau Indonesia dapat menghindari berbagai jegalan
dari negara lain, tentu Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama di
kancah internasional.
Ah, saya jadi teringat perkataan
dosen saya yang entah berapa kali dia bilang, “Di masa mendatang, negara
kamulah yang akan memimpin umat Islam, bukan lagi negara Arab.”
#Asrama Mahasiswa KSU
0 comments:
Post a Comment