June 12, 2017

Tentang Buka Bersama


“Suami sebenarnya sudah mengizinkan saya untuk buka bersama, tapi saya gak tega meninggalkan dia di rumah berbuka seorang diri” (seorang ibu paruh baya)

Kalimat pembuka di atas adalah kutipan percakapan saya dengan seorang ibu paruh baya. Sebuah percakapan singkat yang akhirnya membuat saya lama termenung, betapa orangtua kita dulu begitu memahami arti sebuah kesetiaan. Tidak hanya dipahami, tapi juga diinternalisasi dalam diri mereka sehingga tiap gerak lakunya merupakan ekspresi cinta pada pasangannya.

Dalam percakapan itu, Si Ibu mengaku diajak buka bersama oleh kerabatnya. Sebenarnya yang diajak bukan cuma ibunya, tapi juga seisi keluarganya. Namun Si Ayah berkeberatan untuk menghadirinya, entah karena udzur apa. Karena Si Ayah urung hadir, maka Si Ibu juga berkeberatan untuk hadir. Tidak tega katanya meninggalkan suaminya berbuka sendiri. So sweet. Meski demikian, beliau tetap mengutus anak-anaknya untuk memenuhi undangan tersebut.

Bagi saya, pilihan Si Ibu untuk mendahulukan Si Ayah adalah ekspresi kesetiaan. Bagi saya, pengorbanan Si Ibu untuk tidak menghadiri buka bersama kerabat agar bisa menemani Si Ayah berbuka adalah bentuk tanggung jawab. Bagi saya, ketulusan Si Ibu melayani Si Ayah adalah performa cinta yang sangat mulia. Ibu itu paham betul bagaimana ber-khidmat kepada suami, yang menjadi amanah utamanya di dunia ini, yang dengan khidmat itu beliau berharap ridho dari suaminya sebagai tiket terusan menuju surga.

Hari ini kita hidup di tengah gempuran feminisme yang sangat sadis. Kaum perempuan begitu ingin disejajarkan dengan laki-laki. Meski menolak paham feminisme, toh nyatanya banyak perempuan yang sangat ingin bisa mandiri sehingga menihilkan ketergantungan kepada suaminya. Sekilas, pemikiran ini terlihat normal-normal saja, bahkan dianggap baik oleh beberapa kalangan. Tapi bermula dari pemikiran ini pula, akhirnya banyak kaum istri yang durhaka kepada suaminya. Karena merasa memiliki kekuatan dan sumber daya, sikap ta’dhim mereka kepada suami perlahan memudar. Apalagi kalau ternyata penghasilan si istri lebih besar daripada suami. Bisa sangat berbahaya kalau keduanya tidak memiliki pondasi iman yang kokoh.

Kembali ke masalah buka bersama, dulu ada seorang aktivis dakwah yang sempat cerita kepada saya. Katanya beliau diprotes oleh ibunya karena hampir setiap hari memiliki jadwal buka puasa di luar dan sangat jarang berbuka di rumah bersama keluarga. Hmm…kelihatannya sepele, cuma masalah buka bersama, tapi saya rasa menjadi tidak se-sepele itu ketika ada hak-hak keluarga yang ditelantarkan. Iya, niat beliau memang mulia untuk menuntaskan proyek-proyek akhirat bertema dakwah, tapi bukankah seharusnya keluarga terdekat lah yang menjadi ladang dakwah utama kita? Penelantaran kita terhadap hak-hak keluarga, meski itu hanya sekedar berbuka puasa bersama, dapat mendatangkan kesan negatif dari keluarga kepada dakwah itu sendiri. “Gara-gara kegiatan yang katanya dakwah, anak saya jadi gak mau buka bersama di rumah.” Pikiran semacam itu bukan tidak mungkin mencuat di tengah anggota keluarga kita. 

Lalu apa hubungannya cerita pertama, feminisme, dan buka bersama? 

Hmm…saya mengamati nilai-nilai feminisme hakikatnya sudah sangat kentara, bahkan bermunculan di kalangan aktivis dakwah. Banyak aktivis dakwah (perempuan) yang sangat aktif berkegiatan di luar sehingga hak-hak keluarganya terpinggirkan. Padahal kalau mau dibikin skala prioritas, siapa sih yang menjadi prioritas tanggung jawab kaum perempuan? Bukankah anak-anak dan suaminya? (atau orangtuanya kalau dia belum menikah). Dan sebenarnya siapa yang paling berkewajiban keluar/safar untuk berdakwah? Bukankah justru pihak laki-laki?

Mungkin banyak aktivis dakwah yang berkilah, “Saya sudah menyiapkan semuanya (hidangan berbuka) untuk keluarga kok. Jadi saya tidak melalaikan tanggung jawab saya.” Kalau sekedar menyiapkan hidangan berbuka, saya kira tidak perlu disiapkan juga mereka (suami/anak-anak/orangtua) pasti akan tetap berbuka. Mereka bisa ke warung atau warteg untuk membeli ifthar. Tapi esensinya kan bukan di situ. Pelayanan istri kepada suaminya tidak akan pernah bisa disamakan dengan pelayanan mbak-mbak penjaga warteg. Bakti anak kepada orangtuanya tidak akan serupa rasanya dengan bakti bibi/pembantu di rumah. Ada keterputusan emosi di sana.

Saya di sini bukan sedang menggugat peran perempuan dalam dakwah. Sama sekali bukan. Hanya saja terkadang saya lihat ada ketimpangan antara pemenuhan kewajiban primer dengan sekunder.  Apa-apa yang bersifat sekunder kadang justru lebih diprioriotaskan, mengalahkan kewajiban primer. Hal ini yang sangat disayangkan.

Kita, biar bagaimanapun pahamnya terhadap syariat, kadang penerapannya justru kalah telak dengan orangtua-orangtua kita yang kita anggap “awam” dalam hal agama. Seperti kisah ibu yang saya sampaikan di awal, mungkin kalau ditanya pemahaman agama, beliau masih sangat kurang. Akan tetapi dalam hal praktik, bagaimana khidmat serta ta’dhim beliau kepada suami, lalu memenangkan hati kerabatnya dengan mengutus anak-anaknya, menurut saya sikap beliau sudah sangat excellent. Allahua’lam.

“Allahumma ihdinashshiratal mustaqim”

#Home Sweet Home, Tangsel

0 comments:

Post a Comment