June 11, 2017

Akhir Cerita Sebuah Kelas Bahasa


Selasa 16 Mei 2017 menjadi hari terakhir saya berada di Ma’had Lughoh. Tidak terasa sudah dua tahun saya investasikan waktu saya di sana. Terasa begitu singkat jika mengenangnya saat ini, tapi tampak sangat lambat ketika menjalaninya dulu.

Kuliah di Ma’had Lughoh bisa dibilang susah-susah gampang (susahnya dua kali lho). Susah karena saya menjalani aktivitas yang repetitif seperti layaknya anak sekolah. Pergi pagi, pulang siang plus dibekeli PR hampir setiap hari. Susah karena saya tidak punya background Bahasa Arab sama sekali, bahkan sekedar angka pun dulu saya tidak tau. Lalu gampang karena para assatidzah di Ma’had yang begitu pengertian (semoga Allah menjaga mereka).

Dari empat semester yang saya lalui di Ma’had, bisa dibilang semester empat lah yang paling menyulitkan saya. Di semester itu saya ditempatkan bersama orang-orang yang sebenarnya sudah expert dalam Bahasa Arab. Total jumlah mahasiswa di kelas saya ada 6 orang, 2 dari China, 1 dari Jepang, 1 dari Afganistan, dan 1 lagi dari Somalia. 

Dua orang China itu adalah lulusan S1 Bahasa Arab di negaranya. Mereka datang ke Saudi hanya untuk memperbaiki kompetensi bahasa mereka. Satu orang Jepang adalah lulusan Ma’had Lughoh di Jepang dan pernah satu tahun belajar di Mesir. Dia menjadi mahasiswa terpandai di kelas dengan kosakata yang sudah sangat kaya. Mereka (orang China dan Jepang) itu baru bergabung di Ma’had pada semester ketiga. Lalu satu orang dari Afganistan juga pernah belajar Bahasa Arab di negaranya. Selain itu, bahasa nasional dia, Persia, merupakan bahasa yang masih serumpun dengan Bahasa Arab, bahkan hurufnya pun serupa. Lalu terakhir, satu orang Somalia, meski mengaku baru belajar Bahasa Arab di Saudi, tapi dia adalah lulusan madrasah diniyah. Tentu sudah tidak asing dengan istilah-istilah dalam Bahasa Arab.

Konsekuensi negatif dari penempatan yang tidak strategis itu adalah, saya menjadi mahasiswa yang tampak paling lemah di kelas. Celakanya, beberapa matakuliah seperti ta’bir syafawi (speaking), istima’ (listening) dan qiro’ah muwassa’ah (extensive reading) menggunakan sistem penilaian berdasarkan performa di kelas. Otomatis norma pembandingnya adalah teman-teman sekelas saya yang expert-expert itu. Dibandingkan dengan mereka tentu membuat saya kerdil. Bahkan saya sempat mengalami degradasi percaya diri akibat ketimpangan skill diantara kami.

Meski ada konsekuensi negatif dalam hal nilai (IPK), tapi saya tak menampik konsekuensi positif yang juga menjamur dari sistem penempatan itu. Ditempatkan bersama mereka yang sudah pandai membuat saya memiliki kemajuan yang pesat dalam bahasa. Istilah-istilah dan kosakata yang mereka gunakan umumnya sudah lebih maju dari mahasiswa kelas sebelah yang juga semester empat. Bahkan beberapa dosen kami juga sempat mengutarakan hal itu, bahwa kelas kami memiliki skill yang lebih advance daripada kelas sebelah (ehem).

Farewell Party
Dan penutup perjalanan kami selama di Ma’had adalah sebuah farewell party pada Selasa malam, 23 Mei 2017. Malam itu adalah malam terakhir duo China di Saudi. Esoknya mereka akan terbang ke China untuk final exit. Sedangkan teman-teman yang lain masih menunggu pemberkasan untuk masuk ke tingkat universitas. 

Well, meski agak ganjil, tapi saya akui saya sedih dengan perpisahan ini (apakah perpisahan selalu menyedihkan?). Kami baru saja akrab satu sama lain, menemukan chemistry untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Tapi kami harus segera berpisah dan menjalani hidup kami masing-masing. Duo China akan kembali bekerja sebagai PNS di negaranya. Si Jepang akan masuk ke kuliah (S1, meski dia sudah punya gelar S1) untuk mengejar cita-citanya sebagai sastrawan Bahasa Arab. Si Afganistan akan terbang ke Amerika untuk berkumpul bersama keluarganya. Dan Si Somalia juga akan masuk ke kuliah untuk merasakan pendidikan tinggi yang merupakan barang langka di negaranya. Lalau bagaimana dengan saya? Hmm…pertanyaan sulit. Tidak bisa saya jawab sekarang.

Kembali ke farewell party, “pesta” itu dibagi menjadi dua shift. Shift pertama kami makan malam di sebuah mall di Riyadh. Sejujurnya ini adalah pertama kali saya masuk mall di Arab Saudi, haha. Saat itu hampir semua tagihan dibayar oleh Si Jepang. Luar biasa memang orang ini. Yang menarik, saat itu Si Jepang memakai kimono (pakaian khas Jepang) lengkap dengan sandal bakyak-nya, dan akibat pakaiannya itu, dia sempat beberapa kali berurusan dengan security mall. Maklum, Saudi termasuk negara yang “kolot” sehingga cara berpakaian pun sangat diperhatikan. Beruntung, meski sempat dilarang, Si Jepang pada akhirnya diperbolehkan masuk mall. 

Kalau Si Jepang memakai kimono yang sangat menarik (terbukti beberapa orang minta foto sama dia), maka Si Somalia memakai kemeja dan dasi, lengkap dengan jasnya agar tidak kalah menarik. Alih-alih membuat orang tertarik, menurut saya justru terlihat sangat norak, haha. FYI, Si Somalia ini adalah sasaran bully di kelas. Dia seringkali membuat orang tertawa dengan tingkahnya. Kalau sudah berdebat dengan Si Afganistan, tidak ada yang bisa memisahkan kecuali jam pulang. Meski Si Somalia seringkali di-bully, tapi dia tidak pernah marah. Itu yang sangat saya suka darinya.

Shift pertama selesai sekitar jam sepuluh malam. Kami langsung kembali ke kampus untuk melanjutkan farewell party shift kedua karena pada shift pertama tadi Si Afganistan urung bergabung. Shift kedua berlokasi di kafe kampus. Kami ngobrol lama sekali di sana. Hampir jam dua dinihari kami baru bubar. Sejujurnya saya tidak pernah bergadang selama di Saudi dan sangat rentan ngantuk, tapi pada malam itu selalu ada bahan cerita untuk kami obrolkan sehingga tak terasa waktu sudah sangat larut. 

Di kesempatan itu pula kami bertukar cindera mata sebagai kenang-kenangan sebelum berpisah. Mengingat saya tidak menyiapkan apa-apa dari Indonesia, maka gantungan kunci dari Mesir saya jadikan cindera mata untuk mereka. Saya sendiri dapat beberapa cindera mata dari Duo China dan Jepang. 

Setelah benar-benar kehabisan bahan obrolan, ditambah energi yang sudah melemah, kami pulang ke mabna (asrama) masing-masing dengan kepala berat. Berat karena perpisahan, juga berat karena ngantuk.

#Home Sweet Home, Tangsel
#Perdana ngetik pake iPad dan eksternal keyboard-nya, enak juga

0 comments:

Post a Comment