June 6, 2017

Ramadhan di Mekkah



Ramadhan di Mekkah mungkin menjadi puncak safari Ramadhan saya selama ini.  
Benar-benar pengalaman yang tak ternilai. Kesempatan saya merasakan bulan Ramadhan di tanah suci Mekkah adalah pengalaman monumental. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Alhamdulillah saya melewati puasa hari pertama sampai hari kelima di sana. Merasakan khusyuknya puasa, semaraknya ifthar (berbuka), serta khidmatnya sholat tarawih bersama jutaan jamaah di Masjid Al-Haram. Meski hanya lima hari, tapi benar-benar syahdu.

Saya memang  sengaja merencanakan kegiatan itu sebelum pulang ke tanah air. Kalau melihat jadwal libur, sebenarnya libur kuliah sudah dimulai sejak sebelum Ramadhan*, tapi saya pikir kapan lagi mendapat kesemptan merasakan I’tikaf di Haram? Tahun depan saya belum tentu masih ada di Saudi. Selain itu, kemarin saya juga sempat ada masalah visa dan baru kelar menjelang Ramadhan. Jadi sayang sekali rasanya melewatkan Ramadhan di Haram yang sudah ada di pelupuk mata.

Saya berangkat ke Haram bersama teman-teman pada malam pertama Ramadhan (tarawih pertama). Jadi otomatis saya tidak dapat tarawih pertama di Haram. Sebisa-bisanya saya usahakan tarawih di bis. Kami baru tiba di Mekkah sekitar pukul 6 pagi dan langsung melaksanakan umrah. Tahukah kamu bahwa pahala umrah Ramadhan setara dengan haji? :)

Teman-teman saya umumnya hanya membawa perlengkapan sedikit karena mereka hanya menetap dua hari di Haram (mereka mau pulang ke Indonesia dua hari setelahnya). Jadi tas mereka bisa dititipkan di penitipan barang. Adapun barang bawaan saya lumayan banyak karena rencananya akan menetap selama seminggu. Agak berat rasanya kalau dititipkan di loker karena lumayan mahal. Untungnya saya punya kenalan TKI yang kontrakannya dekat dengan Haram. Jadi saya bisa menitipkan tas saya di kontrakan dia.

Puasa di Haram, meski secara zahir terlihat berat, tapi nyatanya sangat dapat dinikmati. Bagaimana tidak berat lha wong kita puasa di bawah suhu 47 derajat Celcius dengan durasi puasa mencapai 15 jam? Tapi karena suasana di Haram sangat kondusif, hal itu jadi tidak terlalu terasa. Semua mengalir begitu saja. Tau-tau ashar, tau-tau buka puasa, tau-tau tarawih, tau-tau selesai tarawih, tau-tau sahur, dan seterusnya.

Geliat semarak Ramadhan di Haram biasanya dimulai ba’da ashar. Saat itu orang-orang sudah mulai mempersiapkan takjil. Satu jam menjelang berbuka, halaman Masjidil Haram sudah full dengan jamaah yang berburu ifthar. Di saat-saat seperti ini, fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) para jamaah sangat jelas terlihat. Mereka umumnya memiliki makanan untuk dibagi ke jamaah lain. Jadi rasanya mustahil jika ada orang yang tidak kebagian ifthar. Sangat-sangat mustahil.

Oya, sebenarnya kita bisa memilih mau berbuka di dalam Masjid atau di halamannya. Menu berbuka di halaman masjid biasanya lebih banyak dan bervariasi, sedangkan di dalam masjid biasanya terbatas karena ada askar (penjaga) yang melarang orang membawa terlalu banyak barang, jadi jumlah muhsinin tidak sebanyak di area luar. Menu umum yang biasa dijumpai di Haram (baik di dalam maupun luar masjid) biasanya adalah kurma, zam-zam, kopi, teh, laban (yoghurt), roti, jus, dan buah.

Setelah berbuka dan sholat Maghrib, jamaah bersiap untuk melaksanakan sholat Isya dan tarawih. Kegiatan yang biasanya dilakukan sambal menunggu datangnya waktu Isya adalah tilawah, meski ada juga yang memilih kegiatan lain seperti berbelanja atau cari makan berat. Jadwal sholat Isya di Haram dimundurkan sampai setengah jam. Kalau dilihat di jadwal sholat, semestinya Isya sudah masuk pukul 20.30, tapi adzan baru berkumandang pukul 21.00. Saya juga tidak paham apa alasannya.

Selesai Isya, jamaah langsung melaksanakan tarawih. Satu hal yang perlu diperhatikan jika kamu ingin tarawih di Haram adalah, pastikan kamu tidak sholat di tempat tawaf. Karena askar akan mengusir kamu secara paksa jika kamu ngeyel. Saya dan teman-teman pada malam kedua Ramadhan sebenarnya sudah mendapatkan posisi yang sangat yahud bin ideal, di depan Ka’bah. Tapi sayangnya posisi itu hanya bertahan sampai selesai sholat Isya karena setelah Isya kami disuruh ke bagian belakang (di luar lokasi tawaf) untuk sholat tarawih.

Menariknya, dalam hal ini (pembubaran jamaah) askar tidak memberikan toleransi sama sekali. Biasanya, jika membubarkan jamaah yang sholat tidak pada tempatnya, askar akan menunggu sampai jamaah selesai sholatnya, tapi pada pelaksanaan tarawih ini mereka memaksa dan mendorong jamaah untuk pindah ke lokasi lain selain lokasi tawaf tanpa menunggu selesainya sholat. Jadi jamaah dipaksa membatalkan sholatnya. Lucunya, saat itu saya sudah terlanjur sholat di lokasi tawaf bersama jamaah lain. Ketika tarawih sudah masuk satu rakaat, datang askar untuk membubarkan kami. Seorang askar sudah memegang saya dan bersiap mendorong, tapi kemudian ada seorang syaikh (penjaga Haram juga) yang memakai misylah (gamis beserta jubah hitamnya) mengomando askar itu, “Sudah, tidak apa-apa, mereka sudah dapat satu rakaat. Dibubarkannya nanti saja setelah selesai salam”. Akhirnya selamat lah kami dari relokasi paksa si askar, wkwk.

Jumlah rakaat sholat tarawih di Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) adalah sebanyak 23 rakaat. Selain di dua tempat itu, hampir semua masjid di Saudi melaksanakan tarawih 11 rakaat. Di Masjidil Haram, biasanya sholat tarawih dilaksanakan selama dua jam, dimulai sekitar pukul 21.15 dan berakhir pukul 23.15. Tidak perlu ditanya bagaimana kualitas bacaan imam-imamnya. Duh, subhanallah banget deh. Bacaan yang biasanya cuma kita dengar lewat murattal mp3, saat itu hadir langsung memanjakan telinga kita. Sehingga dua jam pelaksanaan tarawih rasanya mengalir begitu saja.

Satu hal penting yang saya catat dari para imam di Haram adalah tentang “profesionalitas” mereka. Begini, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan shalat jamaah, apalagi qiyamul lail, selalu mengundang syahdu. Tidak jarang para imam menangis ketika membaca surat-surat Al-Qur’an, terlebih imam Masjidil Haram. Nah, yang saya kagumi dari para imam Haram adalah, meskipun tidak jarang mereka menangis, tapi mereka mampu mengontrol tangis dan emosi mereka sehingga tidak berlarut-larut. Sekedarnya saja. Dan hebatnya lagi, mereka mampu menjaga bacaan mereka tetap baik sesuai dengan tajwidnya meski membaca sambal menangis. Hal berbeda sering saya dapati di Indonesia. Imam di masjid-masjid Indonesia sering kali tidak mampu mengontrol emosi dan tangis mereka sehingga larut dalam tangisnya. Saya tidak mengatakan hal itu sebagai suatu keburukan, tapi menurut saya itu sangat berbahaya. Bahaya jika ternyata kita justru lebih menikmati tangis kita daripada mengingat pesan dari ayat tersebut. Allahua’lam.

Selesai tarawih, sebagian besar orang keluar untuk mencari makan atau kembali ke hotel. Oya, qiiyamul lail di Haram baru dilaksanakan mulai malam ke 16 (kata teman saya). Jadi pada malam kesatu sampai ke lima belas, tidak ada kegiatan lagi selepas tarawih. Kegiatan berjamaah baru dimulai lagi ketika masuk waktu subuh.

Well, i’tikaf di Haram adalah sesuatu yang sangat spesial. Kalau ada kesempatan, jangan sampai disia-siakan. Beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk I’tikaf di Haram diantaranya adalah:

  • Sebisa mungkin kerjakan sholat di dalam area masjid, bukan di halaman depan karena sangat tidak kondusif, banyak orang lalu lalang
  • Jangan sholat tarawih di area tawaf kalau tidak mau diusir paksa oleh askar
  • Jangan membawa barang berlebih ke area dalam masjid (bisa dilarang masuk)
  • Kalau mau ikut buka bersama atau cari ifthar, usahakan datang paling telat satu jam sebelum berbuka agar dapat tempat yang kondusif
  • Kalau mau menginap, usahakan bawa sajadah/sarung/ihram untuk dijadikan selimut karena di dalam cukup dingin

 * note : seharusnya libur kuliah dimulai di pertengahan Ramadhan, tapi kemudian Raja Salman memajukan jadwal ujian di seluruh lembaga pendidikan sampai sebelum Ramadhan.

#Home Sweet Home, Indonesia

0 comments:

Post a Comment