July 9, 2009

Mahasiswa Event Organizer


-->
Mahasiswa yang sejatinya menisbatkan dirinya sebagai agent of change, kini telah mulai berbelok arah. Kegiatan-kegiatan yang sering mereka lakukan bukan lagi mengarah kepada idealisme yang selalu mereka teriakkan. Mahasiswa kini tak ubahnya seperti event organizer yang sibuk dengan event mereka sendiri. Kegiatan-kegiatan seperti seminar, talkshow, workshop, ataupun training, berlomba-lomba mereka adakan untuk menunjukkan eksistensi mereka. Sayangnya, indikator keberhasilan kegiatan mereka bukan terletak pada ilmu apa yang mereka dapatkan setelah kegiatan itu, tapi lebih mengarah kepada terlaksana atau tidaknya kegiatan mereka. Dana yang relatif tidak sedikit dalam pelaksanaan satu kali seminar membuat mereka harus memutar otak untuk membiayai seminar tersebut. Berbagai cara dilakukan, ada yang membuat proposal, berdagang, mencari donatur, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela mengamen demi terselenggaranya acara itu. Kesibukan mereka mengurus permasalahan pra-kegiatan, membuat mereka lupa akan esensi dari kegiatan yang mereka lakukan. Padahal, jika ditilik dari ide pelaksanaan acara tersebut, semangat idealisme memancar dari sana.

Orientasi yang berubah sejak pra-kegiatan menjadikan kegiatan tersebut sebagai barang dagangan yang harus habis terjual agar tidak mengalami kerugian. Disini, muncul lagi masalah lainnya, yaitu kehadiran peserta saat acara. Banyak cara juga untuk menarik peserta mengikuti kegiatan mereka, salah satu strategi yang dianggap paling ampuh adalah pemberian sertifikat kepada peserta. Mereka mengetahui bahwa dunia kerja saat ini sangat membutuhkan sertifikat sebagai salah satu cara untuk mengukur kompetensi para pekerja. Para pekerja atau para pencari kerja pun tidak menyangkal hal itu. Banyak dari mereka yang mengikuti peserta hanya untuk mencari sertifikatnya saja. Sampai sejauh ini, antara peserta dan mahasiswa sebagai penyelenggara telah memiliki orientasi yang tidak sesuai dengan esensi penyelenggaraan acara.

Kecenderungan mahasiswa sekarang untuk menggelar event-event mengindikasikan bahwa mahasiswa kini masih merasa kurang dengan ilmu-ilmu yang mereka dapatkan di kelas. Berita baiknya, mereka sadar akan hal itu dan mandiri untuk menambal kekurangan dari kuliah di kelas. Akan tetapi, idealnya pemenuhan kebutuhan itu tidak lantas mengurangi perhatian mereka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat dan tidak menjadikannya sebagai golongan yang sibuk sendiri dengan kepentingannya. Sayangnya, mahasiswa kini lebih sibuk dengan kepentingannya itu. Kesibukan mahasiswa mengurusi kegiatannya membuat mereka lupa dengan kepentingan rakyat yang sering dibelanya. Disini terlihat jelas egosentrisme mahasiswa semakin menonjol, padahal tanpa hal itupun mahasiswa seringkali dinilai memiliki egosentris yang cukup tinggi.

Parahnya lagi, kini mulai timbul persaingan antar mahasiswa untuk menggelar acara-acara seperti yang disebutkan di atas. Mereka berlomba-lomba untuk mengemas acara semenarik mungkin agar banyak peserta yang hadir dalam acara itu. Padahal, bukanlah suatu kesalahan jika segelintir dari mahasiswa saja yang menyelenggarakan suatu event dan mahasiswa lain mengurusi hal lainnya. Jika semua perhatian mahasiswa tertuju pada event saja, maka sektor-sektor lain yang potensial menjadi tidak terurus. Sekali lagi, konsentrasi mahasiswa terpecah dan mulai berbelok arah. Kepentingan rakyat bukan lagi jadi prioritas utama, kini prioritas mereka beralih ke kegiatan-kegiatan di kampus. Tidak heran mengapa banyak lulusan sarjana yang terlihat begitu egosentris dan individualis, karena hal ini sudah dijadikan budaya semenjak mereka berkuliah.

Kalau hal ini terus berlanjut, maka siapa lagi yang akan berperan menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah? Siapa yang akan mengkritisi kebijakan pemerintah dan siapa yang akan membela kepentingan rakyat?

Related Posts:

  • Kesenangan yang Menipu Banyak mahasiswa menganggap skripsi sebagai momok. Hal itu tidak saya pungkiri karena saya adalah salah satunya. Dulu saya sempat stres waktu mengerjakan skripsi. Permasalahan dengan dosen pembimbing, urusan pribadi yang jug… Read More
  • Buat Yang Mau Studi Di Luar Negeri Belakangan ini saya memperhatikan animo mahasiswa untuk melanjutkan studinya di luar negeri semakin meninggi. Wajar sih, karena peluangnya memang semakin terbuka lebar. Beasiswa yang pemerintah tawarkan untuk st… Read More
  • Ketika Belanda Berbicara Indonesia Saya tersentil. Telinga saya yang “made in Indonesia” ini tersentil selepas mengikuti kursus Bahasa Belanda tadi malam. Sentilan itu membuat kegundahan di hati saya dan saya merasa perlu mengatarsiskannya di tulisan ini. … Read More
  • Proses Pendewasaan Setiap fase kehidupan memiliki batas-batasnya. Sebelum beralih ke fase yang lain, manusia wajib melewati batas tersebut. Di tiap tapal batasnya, berlaku ujian dari setiap pelajaran yang sudah diperoleh selama manusi… Read More
  • Tenang dengan Ujian Seorang guru yang sangat saya kagumi keshalihannya sering berkata : “Beruntunglah orang-orang yang didera kesempitan, karena dengan kesempitan itu akan didatangkan kelapangan bagi mereka, dihapuskan dosa-dosanya, dan dinaikk… Read More

1 comment:

  1. Assalamualikum saya azwar, saya suka gaya menyampaikan tulisan dalam blog ini apa adanya dan jujur, tapi ada sedikit pandangan saya rentang "egosentris dan individualis" saya merupan orang yang selama kuliah masuk menjadi pengurus sebuah organisa kampus "UKM" setiap ukm memiliki cara tersendiri dalam hal bersentuhan dengan masyarakat bukan tidak peduli masyarakat hanya saja kami memiliki cara yang bebeda sesuai dengan pola organisasi
    Contoh bem dengan ukm kesehatan, yang 1 mengkritisi pemerintah tidak salah, yang 1 memberikan penyuluhan tidak salah hanya pola pengabdian saja yang berbeda begitu pun ukm lain seperti itu, sebelumnya terimakasih

    ReplyDelete