July 6, 2009

Drama di Kereta Api

Ada drama menarik dalam perjalananku di kereta saat aku pulang ke Tangerang beberapa hari kemarin. Saat itu kereta penuh sesak dengan penumpang karena bertepatan dengan momen libur panjang sekolah, sehingga tidak sedikit orang yang tidak kebagian tempat duduk. Kereta penuh sesak, sehingga udara terasa cukup panas di dalam. Keadaan semakin panas ketika aku mendengar suara teriakan marah2 beserta umpatan dari bangku belakang yang membuat banyak orang menoleh ke arah sana. Aku pun menoleh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sumber suaranya tidak jauh dari tempatku duduk, hanya kurang lebih berjarak tiga bangku di belakang ku. Ternyata di sana sedang ada pemeriksaan karcis oleh petugas.

Seorang ibu diinterogasi oleh petugas karena tidak dapat menunjukkan karcis. Anehnya, ibu tersebut malah justru memarahi petugas, entah dengan alasan apa ia bisa memarahi, aku sendiri kurang mendengarnya. Setelah ditekan oleh beberapa pertanyaan, ternyata ibu tersebut memang tidak membeli karcis. Aku tambah bingung, ketika petugas meminta ibu itu untuk beranjak dari kursinya, ibu itu malah menyerangnya dengan umpatan dan makian tanpa mau pindah dari kursinya. Petugas itu akhirnya menyerah, karena mungkin merasa “tidak enak” mendengar teriakan ibu tersebut yang mengganggu orang lain. Tidak berselang lama, datanglah mahasiswa yang seharusnya duduk di kursi yang ditempati ibu tadi, untuk meminta ibu tersebut agar pindah. Tindakan dan bahasa yang digunakan oleh mahsiswa sudah diusahakan sehalus mungkin (aku mendengar dan melihatnya) agar tidak menyinggung ibu tersebut, tapi apa yang mereka dapat? Tidak jauh berbeda dengan petugas tadi, mahasiswa tersebut juga mendapatkan umpatan2 dan makian yang sangat menyakitkan. Aku sendiri sebagai mahasiswa merasa geram juga, karena ibu tersebut menjelek2an nama mahasiswa di depan umum. Dengan perilaku yang sopan juga, mahasiswa tersebut menyerah “melawan” ibu itu.

Selang beberapa jam, “penyakit” ibu tersebut kumat lagi. Dia kembali menyerang dengan makian dan umpatan, kali ini orang2 Jawa pedesaan yang menjadi sasarannya. Seperti tidak punya perasaan, ibu itu berteriak2 memaki orang2 Jawa dengan sebutan wedus (kambing), gembel, tengik, dan segala macam. Entah apa maksud penyerangannya, padahal orang2 yg berada di gerbong itu tidak melakukan hal yang macam2. Untunglah tidak ada orang yang meladeni ibu tersebut, sehingga keributan tidak terjadi.

Kejadian ini menurutku sangat menarik untuk dikaji, karena kita dapat melihat representasi mental orang Indonesia ketika menghadapi suatu masalah. Si ibu yang sudah jelas2 salah karena tidak membeli karcis, tidak mau disalahkan. Dia justru menyerang orang lain yang notabene di kejadian ini tidak memiliki kesalahan. Seharusnya, dengan kondisi seperti itu (tidak beli karcis dan mengambil jatah kursi orang lain) ibu tersebut malu, bukan justru menyerang. Mental2 seperti ini (tidak mau mengakuki kesalahan) memang banyak menjangkiti masyarakat kita, padahal mengakui kesalahan bukanlah perbuatan yang rendah. Akan tetapi apa yang kita dapati di kehidupan bermasyarakat ini justru sebaliknya. Mengkui kesalahan seolah perbuatan yang sangat hina, sehingga banyak orang yang menjauhinya. Jika mental2 yang seperti ini yang terus dibangun di masyarakat kita, bukan tidak mungkin negara ini yang justru menjadi negara yang rendah di mata dunia.

NB : Ibu tersebut bukanlah nenek yang tua renta, dia masih sangat muda, sehingga tidak pantas untuk didahulukan.

0 comments:

Post a Comment