Sudah menjadi kodratnya bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Secara fisik, umumnya laki-laki memiliki bentuk tubuh yang lebih kuat dan gagah dibandingkan perempuan. Karena itu, tugas-tugas yang membutuhkan banyak tenaga umumnya dialamatkan kepada lelaki. Adapun perempuan lebih cenderung berkutat pada wilayah domestik, yaitu tugas-tugas yang sifatnya membutuhkan ketelatenan.
Selain pada hal yang zahir (fisik), lelaki dan perempuan juga berbeda
dari sisi kebatinannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lelaki memiliki
karakter sebagai pelindung dan perempuan sebagai pihak yang dilindungi.
Keduanya saling melengkapi dan sama-sama puas dengan karakter bawaan seperti
itu. Yang laki-laki bangga sebagai pelindung. Yang perempuan juga senang
menjadi objek yang dilindungi, meski belakangan para feminis mencoba mengacak
konsep tersebut sehingga tampak kabur pembagian tugas antar keduanya.
Perbedaan yang mencolok antara lelaki dan perempuan menginspirasi John
Gray untuk menulis buku yang sangat terkenal berjudul Men are from Mars,
Women are from Venus. Dia berkelakar bahwa berbedanya lelaki dan perempuan
dikarenakan mereka berasal dari planet berbeda, yang kemudian dipertemukan di
Bumi. Dalam buku itu, dia banyak mengupas perbedaan antara lelaki dan perempuan
dari sisi psikologis.
Satu catatan menarik dari buku tersebut adalah tentang bagaimana
lelaki dan perempuan menghadapi masalah. Mengingat John Gray menganggap kedua
makhluk tersebut datang dari dua planet berbeda, maka cara mereka menghadapi
masalah juga amat sangat berkebalikan. Dari pihak lelaki, jika mereka dirundung
masalah, mereka akan mengasingkan diri seasing-asingnya sampai dia menemukan
solusi yang tepat dari masalah tersebut. Ketika masalah telah kelar, dengan
sendirinya dia akan kembali ke dunianya. Proses pengasingan diri ini oleh John
Gray diistilahkan dengan masuk ke dalam gua.
Ah, saya jadi ingat satu peristiwa ketika dulu belajar Qashashun
Nabiyin di ma’had lughoh. Waktu itu saya sempat ditegur dosen karena
senyum-senyum gak jelas saat beliau menceritakan kisah Nabi Yusuf. Disitu
dikisahkan Nabi Yusuf menghendaki dirinya masuk
ke penjara karena khawatir terjerumus fitnah dunia, sampai al-Qur’an
mengabadikan perkataannya dalam surat yang juga dari nama beliau, Yusuf. Pada
ayat 33 beliau berkata, “as-sijnu ahabbu ilayya”. Penjara lebih aku
sukai. Saya tersenyum karena seketika ingat dengan konsep “laki-laki dan
guanya” dari Syaikh John Gray ini. Kalau merujuk pada konsep ini, jelas bahwa
keinginan Nabi Yusuf masuk penjara adalah manifestasi kebutuhan lelaki akan
guanya saat masalah datang merundung.
Belakangan saya menyadari bahwa ternyata banyak juga dari para anbiya
yang memiliki pola perilaku serupa. Sebut saja Nabi Ibrahim ketika
berkontemplasi memikirkan keberadaan Tuhan disaat masyarakat sekitar menyembah
patung. Atau Nabi Musa yang menyepi 40 hari dari Bani Israil. Bahkan Nabi kita
sendiri, sebelum beliau menerima risalah kerasulan sering ber-tahanuts
di dalam gua (dalam arti sebenarnya).
Perlu dipahami bahwa masuknya lelaki ke dalam guanya bukan manifestasi
kepengecutan atau pelarian diri dari masalahnya. Sekilas dua hal ini tampak
serupa, tapi sesungguhnya tidaklah sama. Lelaki yang mengasingkan diri untuk
lari dari masalah tidak akan pernah berani keluar menghadapi masalahnya.
Sedangkan mereka yang mengasingkan diri karena butuh akan guanya akan segera
keluar ketika mereka merasa cukup.
Pertanyaannya, mengapa mereka harus masuk ke dalam gua? Karena di
dalam gua itulah mereka bisa me-recharge tenaga, berkontemplasi, dan
fokus terhadap permasalahannya. Hal ini sulit mereka lakukan di luar mengingat
banyaknya distraktor, sedangkan sifat alamiah lelaki cenderung kerepotan
melakukan multi tugas (multi tasking).
Celakanya, perilaku tersebut sering diartikan berbeda oleh pasangannya.
Kaum perempuan kerap menafsirkan diamnya lelaki sebagai bentuk kemarahan,
kekecewaan atau bahkan ketidakpercayaan. Mereka berasumsi bahwa ketidakmauan
lelaki berbagi masalahnya adalah bentuk ketidakpercayaan lelaki tersebut
terhadapnya. Padahal sama sekali bukan begitu maksudnya. Seperti yang sudah
dijelaskan di awal, “persemedian” lelaki di dalam guanya justru merupakan
metode mereka dalam menyelesaikan masalah. Dan berbagi masalah dengan orang
lain bagi lelaki ibarat aib yang harus dihindari. Disana, jauh di dalam diri
lelaki, tersimpan harga diri yang tinggi. Mereka tidak mau dianggap lemah
karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini sangat ma’ruf di
kalangan lelaki
Sayangnya, pemahaman yang berkebalikan justru mendarah daging di
kalangan perempuan. Disana, di planetnya perempuan, berbagi masalah merupakan
hal yang lumrah, wajar, bahkan menjadi suatu kebutuhan. Mereka tercerahkan dari
permasalahannya justru ketika mereka membagi permasalahan itu dengan orang
lain. Meskipun sebenarnya dalam sesi curhat itu mereka seringkali tidak saling
memberikan solusi, hanya saling mendengar dan bicara, tapi hal itu sudah sangat
cukup bagi mereka. Semangat yang mereka bawa adalah semangat kebersamaan. Mereka
senang untuk membersamai dan dibersamai. Beda dengan lelaki, semangatnya adalah
semangat solusi. Maka dari itu banyak istri merasa tidak didengarkan oleh
suaminya, karena ketika istri curhat, pikiran suami seketika pergi mencari
solusi. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Padahal hakikatnya, yang dibicarakan istri seringkali bukanlah masalah dan
tidak membutuhkan solusi. Mereka sekedar menginginkan kebersamaan.
Contoh sederhana ketika istri berkata, “Mas, aku capek hari ini nyuci
banyak sekali”. Mendengar keluhan ini, otak suami langsung menjalankan
sistemnya; 1, menganalisis masalah (nyuci banyak, bikin capek), 2, mencari
solusi (anggaplah solusi yang ditemukan saat itu adalah “membeli mesin cuci”),
3, menawarkan solusi “Yasudah, nanti kita beli mesin cuci”. Bagi suami,
permasalahan berakhir ketika solusi telah ditemukan. Maka mereka tidak merasa
berdosa ketika saat itu meninggalkan istrinya yang sedang mengeluh. Toh
permasalahan sudah kelar. Tapi bagi istri sikap tersebut menunjukkan
ketidakpekaan dan ketidakpedulian suami padanya karena pergi disaat istri
menginginkan kebersamaan.
Aplikasinya dalam Pergaulan?
Meski John Gray menitikberatkan konsep ini pada relasi suami istri,
tapi sebenarnya konsep ini juga bermanfaat dalam relasi sosial, terutama kepada
teman sejenis. Untuk lelaki misalnya, mengingat mereka adalah makhluk dengan
tingkat kepekaan yang rendah, maka mereka seringkali luput akan keberadaan
temannya yang sedang susah. Karena itu, jika sekiranya nanti kita temui seorang
teman sedang memasuki guanya, tidak
perlu kita mengusiknya, apalagi menghakiminya dengan persangkaan yang buruk.
Biarkan dia mengambil waktunya untuk berkontemplasi sambil kita menyisipkan doa
juga untuknya.
Kalaulah kita sudah tidak tahan ingin membantunya, maka jangan gunakan
kata-kata yang dapat mengoyak harga dirinya, misalnya dengan mengatakan “Antum
lagi ada masalah apa? Bisa saya bantu?”. Sekilas tawaran bantuan itu baik, tapi
sesungguhnya di telinga lelaki agak kurang bersahabat. Pilihlah kata-kata yang
tidak membuat lawan bicara seolah-olah lemah dan tidak berdaya, misalnya dengan
mengatakan, “Akhi, saya lihat antum agak berbeda belakangan ini. Seperti ada
ujian yang sedang antum hadapi. Akhi, saya yakin antum bisa menghadapi ujian
antum, tapi sekiranya antum butuh pertolongan, antum bisa menghubungi saya
kapan saja”. Semoga dengan begitu mereka jadi merasa lebih dihargai.
Allahua’lam
Riyadh, 13 Desember 2016