Dengan sangat terpaksa saya harus
mengatakan bahwa saya sangat risih ketika mendengar mahasiswa S1, terutama
mahasiswa tahun pertama-kedua, membicarakan hal pernikahan. Apalagi yang
membicarakan adalah antara ikhwan dengan akhwat, yang dengan gaya-gaya
bercanda, saling mengompori untuk menikah di usia muda.
Sebelum membicarakan hal ini lebih
jauh, agar tidak menjadi perdebatan kedepannya, maka sepertinya kita perlu menyamakan
frame terlebih dahulu mengenai definisi nikah muda. Dalam perspektif saya,
nikah muda adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 25 tahun (bagi
laki-laki) atau yang dilakukan saat mereka masih menempuh pendidikan S1. Kalau anda
memiliki pandangan berbeda, itu sah-sah saja. Tapi dalam tulisan ini, saya akan
memakai definisi dari frame saya sendiri.
Well, mengapa saya risih? Ya,
saya risih karena menurut saya pernikahan aktivis di usia dini akan membuat
potensi kebermanfaatan mereka berkurang.
Hmm..berani benar saya mengatakan
hal itu?
Saya berbicara seperti ini bukan
tanpa alasan. Berdasarkan pengalaman pribadi saya memiliki teman yang menikah
di usia muda, mereka biasanya telah akan disibukkan oleh urusan rumah tangga (pribadi)
sehingga urusan umum (atau dalam kosakata mereka “urusan umat”) termarginalkan.
Padahal seharusnya mereka bisa berkontribusi lebih besar lagi untuk umum.
Seharusnya mereka bisa meng-handle
ini dan itu. Bisa mengkader si anu dan si inu. Tetapi karena sudah disibukkan
oleh urusan pribadi, peran-peran itu terlupakan. Atau kalaupun tidak
terlupakan, peran itu menjadi kerdil. Seharusnya bisa mengkader 10 orang, jadi cuma
3 orang.
Perlu dipahami bahwa masa-masa
mahasiswa (S1) adalah masa-masa krusial. Saya melihat banyak teman-teman mahasiswa
yang menemukan titik balik hidupnya di masa-masa ini. Banyak dari mereka yang
baru ‘ngeh (aware) tentang Islam, idealisme, dan ideologi di bangku
perkuliahan. Nah, biasanya mereka yang baru ‘ngeh tersebut akan banyak bertanya
tentang hal-hal di atas. Mereka butuh banyak berdiskusi tentang hal-hal tersebut.
Butuh banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan curiosity mereka. Kalau rasa ingin tahu itu tidak terfasilitasi,
maka sangat boleh jadi kita kehilangan potensi-potensi besar dari mereka karena
semangat-semangat mereka pupus seiring tersumbatnya aliran curiosity mereka. Atau
bagaimana kalau kemungkinan yang lebih buruk terjadi, yaitu rasa ingiin tahu
mereka justru terfasilitasi oleh pihak yang berlawanan arah dengan ideologi
islam?
Eman toh, kalau kita kehilangan kader walau seorang? Biar
bagaimanapun, kita tidak akan selamanya hidup di dunia kampus. Ada saatnya kita
berpisah dengan dunia ini meski kita begitu mencintainya. Nah, ketika kita
harus berpisah, siapa lagi yang melanjutkan perjuangan kita kalau bukan mereka?
****
Mungkin terdengar sepele ketika
saya mengatakan bahwa kekurangan diskusi (asupan informasi) menyebabkan
semangat-semangat mereka luntur. Mungkin ada yang berpendapat bahwa walaupun
sudah berkeluarga, kita masih bisa melayani mereka kalau permintaan mereka cuma
diskusi. “Ah, cuma diskusi. Sepele” begitu mungkin di benak kita. Ya, possibility
seperti itu memang selalau ada. Tapi yang terjadi di dunia nyata tidaklah
demikian. Saya memperhatikan banyak di antara mereka (high curiosity students)
yang (lagi-lagi) harus memendam curiosity mereka karena terhijab tembok bernama
keluarga. Si high curiosity student ini merasa
tidak enak jika terus-terusan “meneror” orang yang dianggapnya memiliki apa
yang ia cari. Sehingga, tinggallah ia terombang-ambing dalam kebingungan.
Maka dari itu saya berpandangan
bahwa selama kita masih kuliah di jenjang S1 atau berusia di bawah 25 tahun
(bagi laki-laki), lebih baik kita maksimalkan waktu kita untuk adik-adik kita
atau untuk si high curiosity student tadi. Menyedekahkan diri kita untuk “konsumsi”
umum.
“Kan sudah ada masjid yang
menyiapkan kajian-kajian dengan pemateri ustad-ustad handal dan lebih kompeten
dibanding kita?”
Bagi kalian yang biasa mengikuti
kajian dari masjid ke masjid, mungkin akan tampak biasa saja untuk hadir (ikut
serta) di forum-forum tersebut, tapi bagi mereka yang baru ‘ngeh, tidak akan
semudah itu mendatangi forum-forum tersebut. Ada tembok pembatas yang harus
diluruh terlebih dahulu antara mereka dengan forum-forum kajian tersebut. Entah
tembok malu. Entah tembok kepercayaan (karena biar bagaimanapun, saat ini sudah
terbangun opini di masyarakat agar menjauhi forum-forum seperti itu, karena
banyak teroris lahir dari situ). Atau tembok-tembok lain yang menjadi
penghalang.
Di situlah peran kita, yaitu
sebagai mediator antara high curiosity students dengan forum-forum kajian. Kita
hanya memfasilitasi di awal saja, selanjutnya kita serahkan pada para expert (ustadz),
kecuali jika pengetahuan kalian sudah setara atau bahkan melebihi ustad-ustad
tersebut, maka sangat diperbolehkan bagi kalian untuk mendampingi mereka terus
menerus.
****
Perlu dipahami bahwa yang saya
tolak di sini adalah bukan nikah mudanya, tapi subjek/pelaku nikah muda. Saya
setuju dengan menikah muda asal yang menikah itu bukan aktivis, melainkan
mereka yang masih doyan pacaran. Dengan menikah muda, setidaknya dapat
meminimalisir dosa (atau bahkan perzinahan) yang mereka lakukan ketika
berpacaran. Logikanya sederhana: semakin singkat masa pacaran, (semoga) semakin
minimal dosa yang dilakukan.
0 comments:
Post a Comment