Setiap bahasa memiliki rasa. Meski
mengucapkan kata yang sama, rasa bahasa antara penutur asli dengan penutur
“karbitan” bisa jadi tidak sama, bahkan mungkin sangat berbeda. Pedas di
telinga penutur asli, belum tentu pedas di penutur karbitan. Begitu juga manis
di telinga penutur asli, belum tentu manis di penutur karbitan.
Sebagai orang Betawi yang sudah
empat tahun tinggal di Jogja, saya masih belum bisa merasakan pedasnya kata
“asu” yang diucapkan orang lain. Telinga saya lebih sensitif jika kata “anjing”
yang disebutkan. Akan tetapi, bagi orang Jogja (Jawa) asli, mendengar kata
“asu” tak ubahnya mendengar kata yang paling hina dina sedunia. Rendah dan tak
bermartabat.
Begitu pula dengan kata-kata
positif berupa sanjungan. Dipanggil dengan sebutan “panjenengan” mungkin terasa
sangat istimewa bagi orang Jogja (Jawa), tapi belum tentu bagi saya, sang
penutur karbitan.
***
Saya jadi ingat ketika dulu
seorang meneer pernah memaki saya
dengan makian “godverdomme” ketika saya sedang bersepeda. Penyebabnya adalah
karena saya tidak memperhatikan jalan ketika menyeberang, padahal si meneer sedang melaju kencang dengan
sepeda motor dari arah samping kiri.
Saya tau bahwa kata
“godverdomme” itu adalah kata makian yang kasar, tapi karena saya bukan
penutur asli bahasa itu, saya tidak bisa meresapi kekasaran dari kata tersebut.
Saya tidak melewati fase hidup (rangkaian kejadian) yang membimbing saya untuk
menemukan bahwa kata “godverdomme” itu adalah kata yang kasar, yang tabu untuk
diucapkan. Beda halnya ketika orang memaki dengan kata “anjing”.
Di budaya tempat saya
dibesarkan, jika seseorang sudah memaki dengan kata “anjing”, maka berarti dia
sudah siap dengan konsekuensi logis yang akan dihadapi, yaitu berupa sanksi
sosial. Orang lain akan risih bergaul dengan dia*. Jika kata itu diucapkan oleh
anak-anak, maka berarti dia siap mendapatkan jeweran dari orangtuanya atau
teguran dari orangtua-orangtua lain, yang berarti akan membuat malu orangtuanya.
Oleh karena itu, kata makian “anjing” memiliki kredit yang luar biasa buruk di
telinga saya.
Beda dengan kata
“godverdomme”, “asu”, dan sejenisnya. Budaya di tempat tinggal saya tidak
mengenal kata-kata itu sebagai kata makian. Orangtua saya tidak pernah melarang
dan memarahi saya jika saya menyebutkan kata itu karena memang kata itu tidak
dikenal dalam kehidupan kami. Begitu pula masyarakat di tempat tinggal saya. Oleh
karena itu, saya tidak merasa begitu terhina jika orang memaki saya dengan
kata-kata itu dan saya juga tidak berat mengucapkan kata itu. Setidaknya, tidak
seberat ketika saya mengucapkan kata “anjing”.
*Belakangan kata-kata makian semakin familiar di telinga
masyarakat tempat saya tinggal. PR untuk kita bersama untuk membenahinya.
#pojok kamar, wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment