Berdasarkan perhitungan masehi, bulan ini seharusnya menjadi bulan bahagia bagi saya karena di bulan inilah saya dilahirkan. Akan tetapi, rangkaian kejadian yang saya alami membuat Desember ini menjadi terasa begitu sendu.
***
Berakhir sudah. Setelah hampir
dua semester, hubungan saya dengan dosen pembimbing skripsi (DPS, sebutlah Mr.
X) saya akhirnya kandas pada hari Jumat, 21 Desember 2012. Pihak yang
memutuskan memutuskan hubungan itu adalah saya sendiri, bukan dosen saya. Saya
lelah, tapi bukan secara fisik, melainkan batin. Kelelahan batin itu
menggelayuti karena di antara kami selalu terjadi miskomunikasi dan sudah
menjadi rahasia umum bahwa jika terjadi miskomunikasi seperti itu, maka pihak
yang salah adalah mahasiswa, bukan dosen. Ingat, postulat abadi yang berlaku di
kampus adalah: pertama, dosen selalu benar; kedua, jika dosen salah, maka lihat
lagi peraturan pertama.
Kekurangharmonisan hubungan ini
sebenarnya sudah mulai tercium di semester pertama saya mengambil skripsi. Saat
itu, saya sempat berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademik (DPA) saya.
Saya mengatakan ke beliau bahwa saya ingin mengganti DPS karena tidak cocok
dengan DPS yang sekarang. Akan tetapi, DPA saya menyarankan agar saya
mencobanya satu semester lagi, kalau masih menemui masalah, barulah saya
diperkenankan menggantinya.
Kesalahan saya saat
berkonsultasi dengan DPA saya waktu itu adalah alasan yang saya kemukakan
sangat tidak profesional. Saya mengatakan bahwa saya tidak cocok (secara
personal) dengan Mr. X. Alasan ini tentu sangat tidak diterima, apalagi jika
yang mendengarkan alasan itu adalah seorang psikolog sekaligus motivator. Tapi
ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, saya jalani satu semester itu dengan Mr.
X.
Singkat cerita, satu semester
itu hampir saya lalui, tapi ternyata saya masih terkendala dengan permasalahan
serupa. Berhubung saya diminta untuk segera lulus oleh bapak saya karena
kondisi ekonomi keluarga yang sedang kurang baik, maka saya memutuskan untuk
segera mengganti DPS sekaligus penelitian saya.
Alasan
Memilih Mr. X
Mr. X sebenarnya adalah pilihan
saya pribadi. Saat itu, saya yang meminta beliau menjadi DPS karena beliau
sangat menguasai metode penelitian yang akan saya gunakan, yaitu metode
penelitian kualitatif. Keputusan itu (menggunakan metode penelitian kualitatif
dan meminta beliau menjadi DPS) sebenarnya tergolong berani (and a bit
ridiculous) karena pertama, saya sendiri masih awam sekali dengan metode itu
karena saya belum pernah mengambil mata kuliahnya. Kedua, metode itu cenderung
kurang populer di kampus saya. Mayoritas mahasiswa, terlebih S1, lebih sering
menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk penelitian skripsi mereka.
Ketiga, kebanyakan teman kuliah
saya menghindari Mr. X karena cara beliau membimbing memang tidak populis. Suara
beliau yang tinggi dan keras, yang disertai mimik yang tidak bersahabat
seringkali mematikan karakter mahasiswa yang sedang berhadapan dengannya. Ditambah
lagi, beliau juga memiliki standar yang sangat tinggi, yang sering
menyejajarkan skripsi dengan tesis.
Akan tetapi, ketiga alasan itu
bukannya membuat saya ciut dan minder, tapi justru membuat saya tertantang. Ya,
pada dasarnya saya memang suka dengan tantangan. Saya suka menantang diri saya
sendiri dan mencoba menghadapi apa yang ditakutkan oleh orang lain dan diri
saya. Maka dari itu, saya sering mengambil jalan berbeda dengan orang
kebanyakan.
Sayangnya, saya tidak cukup
tangguh untuk menaklukkan Mr. X, sehingga saya harus mengakhiri hubungan saya
dengan beliau. Meski belum bisa ditaklukkan, tapi ada banyak hikmah yang bisa
diambil dari pengalaman ini. Insyaallah.
#pojok kamar, wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment