Alhamdulillah, setelah 5 bulan
lebih menjalani program student exchange, akhirnya saya bisa menapaki kembali
bumi pertiwi pada Sabtu, 11 Februari 2012 pukul 16.00 WIB. Di hari-hari
menjelang kepulangan, saya merasakan antusiasme yang menggebu. Saya senang
bukan kepalang. Saya tidak sabar menunggu hari kepulangan itu. Akan tetapi,
saat saya sudah pulang, seketika antusiasme itu berubah menjadi kelesuan.
Sekonyong-konyong saya mengalami demotivasi. Dua hal yang membuat saya terkejut,
yang kemudian men-demotivasikan diri saya adalah; pertama cuaca.
Beberapa hari menjelang
kepulangan, Belanda sedang dihantam cuaca minus (bergerak dari 0 sampai -15
derajat celcius). Mau tidak mau tubuh saya pun harus beradaptasi untuk
menyesuaikan. Nah, ketika tubuh saya sudah mampu menyesuaikan cuaca minus
tersebut, ia harus kembali bekerja keras
karena saya beralih dari cuaca minus ke cuaca dengan suhu di atas 25 derajat.
Sungguh, peralihan suhu secepat dan se-ekstrem ini membuat saya kelabakan
(baca: kepanasan). Bayangkan, ketika suhu di Belanda berubah dari -8 ke 0
derajat saja saya sudah cukup merasa hangat, bagaimana jika berubah ke 30
derajat?
Teror kedua setelah cuaca adalah kedisiplinan
dalam berlalu lintas. Tentang hal ini, saya merasa benar-benar merasa kehilangan.
Begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, saya langsung melihat lagi kesemerawutan
lalu lintas. Orang berkendara sekehendak hatinya. Tidak ada etika. Tidak ada
tata krama. Ah, Jakarta begitu hopeless.
Begitu diteror oleh dua hal
tersebut, saya rasanya ingin langsung buru-buru kembali ke Belanda. Kembali
menikmati harmoni yang sudah tercipta. Tapi saya tahu bahwa hal itu hanyalah
angan-angan (pada saat itu). Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus
menghadapi kehidupan Jakarta. Setidaknya untuk beberapa saat. Sampai saya
kembali ke Jogja. Semoga Jogja tidak seperti Jakarta.
0 comments:
Post a Comment