Satu pelajaran dari guru saya yang
sangat melekat sampai sekarang adalah tentang menjaga izzah. Izzah secara
sederhana berarti kemuliaan. Menjaga izzah berarti menjaga kemuliaan diri. Diri
bisa mulia dengan menjaganya dari sifat tamak, hasad (dengki), riya’ (suka
pamer), ujub, dan berbagai penyakit ruhani lainnya.
Satu bentuk penjagaan izzah lainnya
yang sering guru saya sampaikan adalah dengan cara tidak bergantung pada
pemberian orang lain. Guru saya menekankan agar kita seharusnya selalu berusaha
untuk tidak tergiur dengan pemberian orang lain. “Kalau barang yang diberikan
itu sudah kita miliki, lebih baik ditolak dengan cara yang baik” begitu
kira-kira nasihat guru saya. Contoh sederhananya begini, saya sudah punya hp,
kemudian datang seseorang memberikan hp kepada saya. Maka sebaiknya saya
menolak pemberian itu. Toh saya sudah punya hp.
Kalaupun kita tidak bisa menolak
pemberian itu karena kita sangat membutuhkan barang/jasa tersebut, maka kita
harus membalasnya dengan balasan yang setimpal. Misalnya begini, ketika akan
pergi ke kampus, saya selalu diboncengi teman saya karena saya tidak punya
motor sendiri, sedangkan kosan saya jauh dari kampus (misalnya). Maka bentuk
penjagaan izzah yang bisa saya lakukan, salah satunya adalah dengan cara
membelikan bensin.
Mengapa kita harus sebegitu ketatnya
menjaga izzah kita? Hal itu dilakukan agar kita bisa berlaku adil
(proporsional) kepada setiap orang. Kalau kita sering diberi barang/jasa oleh
orang lain (dan kita tidak membalasnya), kita akan digelayuti oleh perasaan
hutang budi. Selain itu, kehormatan kita disisi dia pun akan turun jika kita
selalu menerima pemberian dia. Semakin banyak barang/jasa yang kita terima,
semakin rendah kedudukan kita disisi dia. Perasaan ini akan membuat kita tidak
berlaku adil, cenderung selalu membenarkannya sebagai salah satu bentuk balas
budi kita terhadapnya.
Masih mending kalau yang
memberikan itu adalah orang yang ihsan, yang takut kepada Allah, yang hanya
mengaharap ridho Allah ketika memberi. Kita akan lebih terjaga karena ia pasti
takut berbuat dosa. Akan tetapi kalau yang memberikan itu adalah orang yang
zhalim, yang semena-mena terhadap dirinya dan orang lain, maka siap-siap anda
akan terbebani karena sangat mungkin dia akan memanfaatkan anda.
Contoh sederhananya begini, anda
sering ditraktir makan siang oleh teman anda. Kemudian saat ujian, teman anda
ingin menyontek kepada anda. Apa yang anda lakukan? Pasti anda merasa terbebani
dan tidak enak jika tidak memberikan contekan karena dia sering mentraktir
makan siang kepada anda. Begitulah, karena kita berhutang budi. Agar hal itu
tidak terjadi, maka setiap sekali anda ditraktir, balaslah traktiran tersebut
dengan yang setimpal atau lebih.
Menjaga Izzah atau Berbasa-basi
Menjaga izzah tidak sama dengan
berbasa-basi. Kalau menjaga izzah, tekad kita sejak dari dalam hati adalah
untuk menjaga kemuliaan. Sedangkan orang yang cuma berbasa-basi, biasanya
tampak luarnya saja yang menolak, tapi dalam hatinya masih menginginkan (semoga
tidak ada yang tersinggung). Tenang saudara-saudara, saya juga masih berjuang
untuk terlepas dari ini.
Saat ngekos di Jogja, Ibu kos saya
yang sangat baik itu sering kali memberikan saya makanan. Ada dua cara si ibu
ini dalam memberikan makanan. Pertama, langsung mengetuk pintu kamar dan
membawakan makanan (semoga Allah membalas segala kebaikan beliau dengan balasan
terbaik). Kedua, menanyakan “Mas Fajar sudah makan belum?” kalau sedang
berpapasan. Sungguh ini adalah salah satu ujian terberat saya dalam menjaga
izzah.
Tentu anda sudah paham betul
bagaimana nasib anak kost kebanyakan. Duit diirit-irit untuk memanage berbagai
keperluan. Makan disederhanakan, bukan karena zuhud, tapi memang uangnya yang
pas-pasan. Maka ketika tawaran memperbaiki gizi itu datang, sangat berat sekali
(bagi saya) untuk menolaknya.
Well, saya sering menolak juga sih.
Tapi saya sadar penolakan saya masih sering cuma sekedar basa-basi, bukan (atau
lebih tepatnya belum) upaya menjaga izzah. Dan memang Ibu kos saya ini kekeuh
sekali dalam berbuat baik, seolah tidak mau menerima penolakan. Meskipun saya
menolak, misal dengan alasan sedang berpuasa (bukan alasan yang dibuat-buat
tentunya), beliau akan berkata “Yaudah, ini buat buka puasa aja” atau beliau
akan datang lagi sebelum maghrib untuk memberikan makanannya yang tadi saya
tolak. Sampai sekarang saya masih bingung bagaimana membalas kebaikan ibu kos
saya itu. Apa yang sudah saya berikan untuknya, masih sangat jauh dari apa yang
sudah ia berikan untuk saya.
0 comments:
Post a Comment