February 7, 2012

Antara Menjaga Izzah dan Berbasa-basi


Satu pelajaran dari guru saya yang sangat melekat sampai sekarang adalah tentang menjaga izzah. Izzah secara sederhana berarti kemuliaan. Menjaga izzah berarti menjaga kemuliaan diri. Diri bisa mulia dengan menjaganya dari sifat tamak, hasad (dengki), riya’ (suka pamer), ujub, dan berbagai penyakit ruhani lainnya.

Satu bentuk penjagaan izzah lainnya yang sering guru saya sampaikan adalah dengan cara tidak bergantung pada pemberian orang lain. Guru saya menekankan agar kita seharusnya selalu berusaha untuk tidak tergiur dengan pemberian orang lain. “Kalau barang yang diberikan itu sudah kita miliki, lebih baik ditolak dengan cara yang baik” begitu kira-kira nasihat guru saya. Contoh sederhananya begini, saya sudah punya hp, kemudian datang seseorang memberikan hp kepada saya. Maka sebaiknya saya menolak pemberian itu. Toh saya sudah punya hp.

Kalaupun kita tidak bisa menolak pemberian itu karena kita sangat membutuhkan barang/jasa tersebut, maka kita harus membalasnya dengan balasan yang setimpal. Misalnya begini, ketika akan pergi ke kampus, saya selalu diboncengi teman saya karena saya tidak punya motor sendiri, sedangkan kosan saya jauh dari kampus (misalnya). Maka bentuk penjagaan izzah yang bisa saya lakukan, salah satunya adalah dengan cara membelikan bensin.

Mengapa kita harus sebegitu ketatnya menjaga izzah kita? Hal itu dilakukan agar kita bisa berlaku adil (proporsional) kepada setiap orang. Kalau kita sering diberi barang/jasa oleh orang lain (dan kita tidak membalasnya), kita akan digelayuti oleh perasaan hutang budi. Selain itu, kehormatan kita disisi dia pun akan turun jika kita selalu menerima pemberian dia. Semakin banyak barang/jasa yang kita terima, semakin rendah kedudukan kita disisi dia. Perasaan ini akan membuat kita tidak berlaku adil, cenderung selalu membenarkannya sebagai salah satu bentuk balas budi kita terhadapnya.

Masih mending kalau yang memberikan itu adalah orang yang ihsan, yang takut kepada Allah, yang hanya mengaharap ridho Allah ketika memberi. Kita akan lebih terjaga karena ia pasti takut berbuat dosa. Akan tetapi kalau yang memberikan itu adalah orang yang zhalim, yang semena-mena terhadap dirinya dan orang lain, maka siap-siap anda akan terbebani karena sangat mungkin dia akan memanfaatkan anda.

Contoh sederhananya begini, anda sering ditraktir makan siang oleh teman anda. Kemudian saat ujian, teman anda ingin menyontek kepada anda. Apa yang anda lakukan? Pasti anda merasa terbebani dan tidak enak jika tidak memberikan contekan karena dia sering mentraktir makan siang kepada anda. Begitulah, karena kita berhutang budi. Agar hal itu tidak terjadi, maka setiap sekali anda ditraktir, balaslah traktiran tersebut dengan yang setimpal atau lebih.


Menjaga Izzah atau Berbasa-basi

Menjaga izzah tidak sama dengan berbasa-basi. Kalau menjaga izzah, tekad kita sejak dari dalam hati adalah untuk menjaga kemuliaan. Sedangkan orang yang cuma berbasa-basi, biasanya tampak luarnya saja yang menolak, tapi dalam hatinya masih menginginkan (semoga tidak ada yang tersinggung). Tenang saudara-saudara, saya juga masih berjuang untuk terlepas dari ini.

Saat ngekos di Jogja, Ibu kos saya yang sangat baik itu sering kali memberikan saya makanan. Ada dua cara si ibu ini dalam memberikan makanan. Pertama, langsung mengetuk pintu kamar dan membawakan makanan (semoga Allah membalas segala kebaikan beliau dengan balasan terbaik). Kedua, menanyakan “Mas Fajar sudah makan belum?” kalau sedang berpapasan. Sungguh ini adalah salah satu ujian terberat saya dalam menjaga izzah.

Tentu anda sudah paham betul bagaimana nasib anak kost kebanyakan. Duit diirit-irit untuk memanage berbagai keperluan. Makan disederhanakan, bukan karena zuhud, tapi memang uangnya yang pas-pasan. Maka ketika tawaran memperbaiki gizi itu datang, sangat berat sekali (bagi saya) untuk menolaknya.

Well, saya sering menolak juga sih. Tapi saya sadar penolakan saya masih sering cuma sekedar basa-basi, bukan (atau lebih tepatnya belum) upaya menjaga izzah. Dan memang Ibu kos saya ini kekeuh sekali dalam berbuat baik, seolah tidak mau menerima penolakan. Meskipun saya menolak, misal dengan alasan sedang berpuasa (bukan alasan yang dibuat-buat tentunya), beliau akan berkata “Yaudah, ini buat buka puasa aja” atau beliau akan datang lagi sebelum maghrib untuk memberikan makanannya yang tadi saya tolak. Sampai sekarang saya masih bingung bagaimana membalas kebaikan ibu kos saya itu. Apa yang sudah saya berikan untuknya, masih sangat jauh dari apa yang sudah ia berikan untuk saya.

Sedang memikirkan balasan untuk keluarga Mas Izul yang sudah menampung saya di rumahnya selama 10 hari.

0 comments:

Post a Comment