Begitu mudah manusia zaman
sekarang mengakses hiburan. Dengan usap-usap layar hp saja, kita sudah bisa hadir
dalam konser musik musisi kenamaan, menyaksikan film favorit, menonton acara
lawak, bahkan merasakan sensasi berburu.
Smartphone dan paket data bukan
lagi kebutuhan sekunder, apalagi tersier. Keduanya bahkan lebih penting dari
makan. Jika makan hanya dilakukan tiga kali sehari, maka intensitas kita
melongok smartphone tak bisa terhitung jari. Apapun dan dimanapun kegiatannya,
skrol-skrol layar hp selalu menjadi penyerta. Seperti ada rasa lapar yang tak bermuara.
Ilustrasi main gadget (sumber : Pexels) |
Hasil riset Hootsuite dan agensi marketing sosial We Are Social yang dirilis akhir Januari lalu mengungkap bahwa Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara yang paling lama mengakses internet. Durasi akses internet orang Indonesia selama tahun 2019 rata-rata mencapai 7 jam 59 menit. Angka ini berada di atas angka rata-rata penduduk dunia yang “hanya” 6 jam 43 menit dan bisa jadi jauh meningkat selama pandemi corona.
Sayangnya aktivitas kita berselancar
di dunia maya sangat jauh dari kata produktif. Dari nyaris 8 jam yang
dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses internet, 3 jam 26 menitnya
digunakan untuk mengakses media sosial, 1 jam 30 menit untuk steraming musik
dan 1 jam 23 menit untuk menggunakan konsol game. Otak kita dibanjiri dengan
hiburan.
Kondisi otak yang terbiasa mudah
mengakses hiburan membuatnya semakin berat untuk diajak “susah”. Dalam neuroscience,
dikenal istilah neuroplasticity, yaitu kemampuan otak untuk mengorganisasikan
(mengubah) dirinya sendiri, baik struktur maupun fungsinya.
Perubahan tersebut dipengaruhi
oleh rangkaian pengalaman yang kontinu, seperti perilaku, pemikiran, perasaan,
emosi, bahkan imajinasi sekalipun. Ketika satu pengalaman itu diulang
terus-menerus, maka akan terbentuk jaringan sistem saraf yang unik atas
pengalaman tersebut (Gumilar, 2016).
Jika demikian, maka tidak heran
kalau ada orang yang kuat bermain game berjam-jam, karena setiap hari otaknya
dilatih untuk itu. Ketika seseorang sudah berada pada kondisi seperti ini, otak
akan semakin sulit diajak “susah”. Coba saja minta anak yang sudah kecanduan
game untuk belajar, jangankan berjam-jam, sepuluh menit pun dia tak tahan.
Dan kondisi ini bukan hanya
menyasar para pecandu game, tetapi juga pemburu hiburan dari media sosial,
youtube, atau platform lain. Semakin seseorang bergantung pada hiburan dunia
maya, semakin sulit dirinya menoleransi kesusahan.
Coba tanyakan pada dirimu, apakah
kamu mudah marah, uring-uringan, bahkan kompulsif pada hal-hal sepele, seperti
koneksi internet yang lambat saat mengakses media sosial? Jika iya, waspadalah,
mungkin kamu sudah termasuk pecandu.
Candu internet, medsos atau game
sama tidak baiknya dengan candu obat-obatan terlarang. Bedanya, obat-obatan
terlarang lebih cepat merusak otak dibanding candu yang lain. Meski demikian,
bukan berarti candu internet dapat disepelekan.
Selain struktur dan fungsi yang
bisa berubah karena neuroplasticity, otak orang yang selalu mencari hiburan di internet
juga akan dibanjiri oleh dopamin, yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan. Dopamin
ini membuat kita ingin merasakan pengalaman yang serupa berulang-ulang. Karena
itu, ketika kita mendapatkan suatu pengalaman yang menghibur, kita ingin
terus-menerus merasakannya.
Maka tidak heran dalam sekali
duduk, orang bisa menghabiskan berjam-jam dalam bermain game atau menonton
video di youtube. Meski pada awalnya kita hanya ingin menonton satu video
singkat, tapi sensasi dopamin membuat kita tidak beranjak hingga video kesekian.
Celakanya, semakin kita menuruti
keinginan tersebut, semakin kita sulit lepas darinya. Niat awal menggunakan
internet untuk mencari hiburan akan berakhir dengan kondisi mental yang semakin
merasa kesepian dan tidak bermakna. Tidak hanya itu, hubungan interpersonal
kita dengan orang lain juga akan bermasalah dan suasana hati semakin tidak
menentu.
Oleh karena itu, kita perlu
membatasi hiburan dengan kadar yang wajar. Kalaupun harus mencari kesenangan,
carilah kesenangan yang lebih bermakna dengan usaha yang lebih agar jiwa tidak
tersandera dengan hal-hal yang artifisial.
Apalagi di situasi pandemi corona
seperti sekarang ini. Pilihan aktivitas yang semakin terbatas membuat manusia
semakin mudah tergiring untuk lari ke dunia maya. Semoga niat baik untuk
menghindari virus yang menyerang fisik tidak membuat kita abai dari virus yang
menyerang psikis.
Dimuat di The Columnist (https://thecolumnist.id/artikel/catatan-redaksi-hiburan-yang-tidak-menghibur-1017)