December 28, 2012

Postulat Untuk Diingat #1: Ujian



Wahai diri yang masih suka berkeluh kesah, kau perlu ingat baik-baik postulat yang akan disampaikan ini. Postulat ini tidak akan dibahas di bangku-bangku kuliah, tapi lebih berharga daripada kuliah profesor ahli statistik sekalipun.

Ingatlah bahwa segala hal di dunia ini selalu memiliki dua sisi, baik dan buruk. Di satu sisi ada orang yang berakhlak baik. Mereka menjadi “good cop” buat kamu. Kamu akan merasakan kesenangan dan kenyamanan ketika bergaul dengan mereka. Di tengah mereka, kamu merasa terlindungi, diperhatikan, disayang, dan dipenuhi hak-hakmu sebagai seorang manusia.

Akan tetapi, di sisi lain ada juga manusia yang berakhlak buruk. Mereka berperangai buas dan tidak bersahabat. Suka memaki, memarahi, mengejek, menghina, merendahkan, berbohong, memfitnah, dan menyepelekan. Janganlah kamu gentar, ciut, minder, dan berkeluh kesah menghadapi jenis manusia yang seperti itu. Anggaplah mereka sebagai “bad cop”. Anggaplah perilaku mereka itu sebagai ujian buatmu.

Anggaplah hinaan orang lain terhadap dirimu sebagai ujian. Ujian yang akan menaikkan kelasmu ke tingkat yang lebih tinggi. Dan perlu diingat bahwa lulus atau tidaknya kamu bukan ditentukan oleh soal-soal dalam ujian, melainkan dari jawaban kamu atas ujian itu. Ingatlah bahwa dihina itu sama sekali tidak bahaya, yang bahaya adalah salah menyikapi (menjawab) hinaan, bersikap hina, dan menghina orang lain. 

Jika kamu membalas hinaan dengan hinaan pula, maka kedudukan dirimu tidak ada bedanya dengan si penghina. Ingatlah bahwa ucapan merupakan cerminan hati manusia. Hati tak ubahnya teko. Dan teko hanya mengeluarkan isi teko. Jika di dalam teko berisi kopi, maka yang keluar dari mulut teko pasti kopi. Begitu pula hati, jika di dalam hati berisi kebaikan, maka yang keluar sebagai ucapan juga pasti kebaikan. 

Perlu kamu garis bawahi juga bahwa Allah tidak akan terpengaruh dengan hinaan orang lain terhadap dirimu. Berlusin-lusin orang menghinamu, jika Allah berkehendak mengangkat kedudukanmu, maka hinaan lusinan orang itu tidak akan merendahkanmu barang se-inci. Begitu pula sebaliknya, berduyun-duyun orang antri memujimu, jika Allah menghinakanmu, maka pujian mereka tidak akan ada artinya.

Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Terjemah Q.S Ali Imran (3): 26)

Sudahlah, kamu jangan merasa sok suci dengan tidak ingin dihina. Belajarlah dari Rasul saw. Beliau adalah sosok sempurna. Akhlaknya adalah akhlak al-Qur’an. Kata-katanya pun merupakan wahyu Tuhan, tapi ternyata makhluk mulia seperti beliau pun tidak luput dari hinaan orang. 

Akan tetapi, lihatlah bagaimana beliau menyikapi hinaan orang lain. Beliau tidak mengambil hati atas hinaan-hinaan mereka. Beliau justru membalas hinaan dengan amal sholih kepada si penghina. Hasilnya? Kamu bisa lihat sendiri bagaimana kedudukan beliau di hati manusia. 

Pokoknya, kamu jangan berharap bahwa semua manusia di dunia ini berperilaku baik terhadapmu. Memangnya kamu siapa? Ingatlah bahwa setiap kejadian tidak menyenangkan (menurut nafsumu sebagai manusia) yang menimpamu adalah sarana bagimu untuk naik kelas. Dan ingat juga bahwa tidak ada soal ujian yang berbahaya. Yang berbahaya adalah ketika kamu salah dalam menjawab soal-soal itu karena dengan begitu kamu tidak akan naik kelas. Ingat itu. 

#pojok kamar, wisma Pakdhe

December 27, 2012

Rasa Bahasa



Setiap bahasa memiliki rasa. Meski mengucapkan kata yang sama, rasa bahasa antara penutur asli dengan penutur “karbitan” bisa jadi tidak sama, bahkan mungkin sangat berbeda. Pedas di telinga penutur asli, belum tentu pedas di penutur karbitan. Begitu juga manis di telinga penutur asli, belum tentu manis di penutur karbitan. 

Sebagai orang Betawi yang sudah empat tahun tinggal di Jogja, saya masih belum bisa merasakan pedasnya kata “asu” yang diucapkan orang lain. Telinga saya lebih sensitif jika kata “anjing” yang disebutkan. Akan tetapi, bagi orang Jogja (Jawa) asli, mendengar kata “asu” tak ubahnya mendengar kata yang paling hina dina sedunia. Rendah dan tak bermartabat.

Begitu pula dengan kata-kata positif berupa sanjungan. Dipanggil dengan sebutan “panjenengan” mungkin terasa sangat istimewa bagi orang Jogja (Jawa), tapi belum tentu bagi saya, sang penutur karbitan.

***

Saya jadi ingat ketika dulu seorang meneer pernah memaki saya dengan makian “godverdomme” ketika saya sedang bersepeda. Penyebabnya adalah karena saya tidak memperhatikan jalan ketika menyeberang, padahal si meneer sedang melaju kencang dengan sepeda motor dari arah samping kiri. 

Saya tau bahwa kata “godverdomme” itu adalah kata makian yang kasar, tapi karena saya bukan penutur asli bahasa itu, saya tidak bisa meresapi kekasaran dari kata tersebut. Saya tidak melewati fase hidup (rangkaian kejadian) yang membimbing saya untuk menemukan bahwa kata “godverdomme” itu adalah kata yang kasar, yang tabu untuk diucapkan. Beda halnya ketika orang memaki dengan kata “anjing”.

Di budaya tempat saya dibesarkan, jika seseorang sudah memaki dengan kata “anjing”, maka berarti dia sudah siap dengan konsekuensi logis yang akan dihadapi, yaitu berupa sanksi sosial. Orang lain akan risih bergaul dengan dia*. Jika kata itu diucapkan oleh anak-anak, maka berarti dia siap mendapatkan jeweran dari orangtuanya atau teguran dari orangtua-orangtua lain, yang berarti akan membuat malu orangtuanya. Oleh karena itu, kata makian “anjing” memiliki kredit yang luar biasa buruk di telinga saya. 

Beda dengan kata “godverdomme”, “asu”, dan sejenisnya. Budaya di tempat tinggal saya tidak mengenal kata-kata itu sebagai kata makian. Orangtua saya tidak pernah melarang dan memarahi saya jika saya menyebutkan kata itu karena memang kata itu tidak dikenal dalam kehidupan kami. Begitu pula masyarakat di tempat tinggal saya. Oleh karena itu, saya tidak merasa begitu terhina jika orang memaki saya dengan kata-kata itu dan saya juga tidak berat mengucapkan kata itu. Setidaknya, tidak seberat ketika saya mengucapkan kata “anjing”.

*Belakangan kata-kata makian semakin familiar di telinga masyarakat tempat saya tinggal. PR untuk kita bersama untuk membenahinya.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

Desember Sendu


Berdasarkan perhitungan masehi, bulan ini seharusnya menjadi bulan bahagia bagi saya karena di bulan inilah saya dilahirkan. Akan tetapi, rangkaian kejadian yang saya alami membuat Desember ini menjadi terasa begitu sendu.
***
Berakhir sudah. Setelah hampir dua semester, hubungan saya dengan dosen pembimbing skripsi (DPS, sebutlah Mr. X) saya akhirnya kandas pada hari Jumat, 21 Desember 2012. Pihak yang memutuskan memutuskan hubungan itu adalah saya sendiri, bukan dosen saya. Saya lelah, tapi bukan secara fisik, melainkan batin. Kelelahan batin itu menggelayuti karena di antara kami selalu terjadi miskomunikasi dan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika terjadi miskomunikasi seperti itu, maka pihak yang salah adalah mahasiswa, bukan dosen. Ingat, postulat abadi yang berlaku di kampus adalah: pertama, dosen selalu benar; kedua, jika dosen salah, maka lihat lagi peraturan pertama.

Kekurangharmonisan hubungan ini sebenarnya sudah mulai tercium di semester pertama saya mengambil skripsi. Saat itu, saya sempat berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademik (DPA) saya. Saya mengatakan ke beliau bahwa saya ingin mengganti DPS karena tidak cocok dengan DPS yang sekarang. Akan tetapi, DPA saya menyarankan agar saya mencobanya satu semester lagi, kalau masih menemui masalah, barulah saya diperkenankan menggantinya.

Kesalahan saya saat berkonsultasi dengan DPA saya waktu itu adalah alasan yang saya kemukakan sangat tidak profesional. Saya mengatakan bahwa saya tidak cocok (secara personal) dengan Mr. X. Alasan ini tentu sangat tidak diterima, apalagi jika yang mendengarkan alasan itu adalah seorang psikolog sekaligus motivator. Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, saya jalani satu semester itu dengan Mr. X.

Singkat cerita, satu semester itu hampir saya lalui, tapi ternyata saya masih terkendala dengan permasalahan serupa. Berhubung saya diminta untuk segera lulus oleh bapak saya karena kondisi ekonomi keluarga yang sedang kurang baik, maka saya memutuskan untuk segera mengganti DPS sekaligus penelitian saya.

Alasan Memilih Mr. X

Mr. X sebenarnya adalah pilihan saya pribadi. Saat itu, saya yang meminta beliau menjadi DPS karena beliau sangat menguasai metode penelitian yang akan saya gunakan, yaitu metode penelitian kualitatif. Keputusan itu (menggunakan metode penelitian kualitatif dan meminta beliau menjadi DPS) sebenarnya tergolong berani (and a bit ridiculous) karena pertama, saya sendiri masih awam sekali dengan metode itu karena saya belum pernah mengambil mata kuliahnya. Kedua, metode itu cenderung kurang populer di kampus saya. Mayoritas mahasiswa, terlebih S1, lebih sering menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk penelitian skripsi mereka.

Ketiga, kebanyakan teman kuliah saya menghindari Mr. X karena cara beliau membimbing memang tidak populis. Suara beliau yang tinggi dan keras, yang disertai mimik yang tidak bersahabat seringkali mematikan karakter mahasiswa yang sedang berhadapan dengannya. Ditambah lagi, beliau juga memiliki standar yang sangat tinggi, yang sering menyejajarkan skripsi dengan tesis.

Akan tetapi, ketiga alasan itu bukannya membuat saya ciut dan minder, tapi justru membuat saya tertantang. Ya, pada dasarnya saya memang suka dengan tantangan. Saya suka menantang diri saya sendiri dan mencoba menghadapi apa yang ditakutkan oleh orang lain dan diri saya. Maka dari itu, saya sering mengambil jalan berbeda dengan orang kebanyakan.
Sayangnya, saya tidak cukup tangguh untuk menaklukkan Mr. X, sehingga saya harus mengakhiri hubungan saya dengan beliau. Meski belum bisa ditaklukkan, tapi ada banyak hikmah yang bisa diambil dari pengalaman ini. Insyaallah.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

November 29, 2012

A Treasure from Old MMC

Beberapa hari yang lalu, saya iseng membuka file MMC dari hp saya sewaktu SMA.  Entah kenapa tiba-tiba saya teringat dengan MMC ini. File di MMC ini sudah lama sekali tidak dibuka, mungkin lebih dari empat tahun.

Ketika pertama kali ke Jogja dulu, saya sengaja membawa MMC ini agar suatu saat saya bisa mengenang masa-masa “muda”, tapi karena sampai akhir tahun ketiga saya di Jogja, saya belum punya laptop dan atau komputer, maka saya tidak pernah membuka file di MMC ini. Saya sendiri sudah lupa apa saja yang ada di dalamnya.

Well, let’s check it out.
Ilustrasi harta karun (sumber: wikiclipart.com)

Setelah saya buka, file yang ada di dalam MMC itu ternyata kebanyakan adalah foto-foto saya dan teman-teman sewaktu SMA. Tidak saya sangka ternyata saya lumayan narsis waktu SMA dulu, hehe.

Selain itu, ada juga beberapa tulisan yang dulu diupload di blog saya yang lama (saya lupa alamat blognya apa). Sejak SMA saya memang lumayan suka menulis, tapi bukan menulis yang berat-berat, melainkan cuma menulis pengalaman hidup aja.

Hmm… Saya jadi ingat bagaimana cara saya meng-upload tulisan di blog dulu. Kalian tau bagaimana caranya? (I’m swear, it was the most stupid duty) Caranya adalah, saya ketik tulisan-tulisan itu di hp saya, kemudian saya upload melalui gprs.

Bayangkan! Betapa dahsyatnya saya! Saya menggunakan keypad hp untuk menulis dua halaman! Gak ada kerjaan banget ya?

Kenapa saya tidak menulis di komputer? Pertama, saya baru punya komputer ketika lulus SMA. Kedua, saya juga jarang ke warnet karena jaraknya lumayan jauh. Jadilah saya memanfaatkan sumber daya yang ada. (Gak usah tepuk tangan)

By the way, tulisan saya zaman dulu ternyata alay banget >.< Jadi malu sendiri membacanya (*blush)

Anyway, di MMC itu, saya juga menemukan beberapa file yang berhubungan dengan Fahri (my youngest brother). Di situ, ada foto dan video Fahri sewaktu masih berumur satu hingga dua tahun. Tidak banyak sih, tapi lumayan menghibur.

Sayangnya, dalam foto itu, Fahri selalu sendiri, padahal saya berharap dapat menemukan Umi juga di situ. Ada juga sih foto yang ada Umi nya, tapi wajahnya gak kelihatan, cuma badannya aja.

Satu file yang sangat menghibur adalah video Fahri ketika berulang tahun kedua (tahun 2007). Saya rekam video itu menggunakan kamera hp Nokia 6600. Di video itu, Fahri terlihat sedang dalam prosesi meniup lilin. Dia kelihatan malu-malu karena ditonton banyak orang. Awalnya dia tidak mau meniup lilin itu, tapi setelah dibujuk akhirnya dia mau juga.

Hal yang menarik di situ adalah, terlihat ada umi di sebelah Fahri. Sayangnya, lagi-lagi umi hanya terlihat setengah badan. Wajahnya tidak kelihatan. But it doesn’t matter because I could hear her voice. 


Update 27/12/2018: Videonya tidak saya tayangkan karena ummi gak pakai hijab

November 28, 2012

Kualitas Pendidikan Kita


Entah saya yang terlalu naïf atau memang modus-modus kecurangan dalam dunia pendidikan ini yang sudah terorgnisir dengan rapi? Selama ini saya menaruh respect yang tinggi terhadap PTN karena ketatnya ujian masuk ke sana, tapi respect itu mulai menguap karena kualitas (mental) mahasiswanya yang keropos
***
Beberapa bulan yang lalu, saya meminta beberapa teman untuk membantu mencarikan subjek untuk penelitian saya. Subjek yang saya butuhkan itu memang agak sulit dicari karena banyak kriteria “tidak lazim” yang harus terpenuhi. Oleh karena itu, saya meminta bantuan mereka.

Singkat cerita, setelah beberapa waktu berlalu, saya tanyakan lagi perkembangannya kepada teman-teman saya itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria.

Well, sebenarnya saya agak kecewa dengan jawaban itu karena sudah lama sekali saya mencari, tapi belum juga mendapatkannya. Akan tetapi, bagi saya kekecewaan itu tidak seberapa dibanding dengan kekecewaan mendengar saran mereka.

Memangnya apa yang mereka sarankan sampai begitu mengecewakan?

Sebagian besar dari mereka dengan ringan menyarankan agar saya memalsukan saja data penelitiannya. Toh, dosen saya tidak tahu!

Hmm… Meski batin menolak, tapi izinkan saya memikirkan sisi positifnya dulu dari saran tersebut. Sisi positif yang dapat saya ambil adalah, saya mengetahui bahwa perhatian mereka begitu besar terhadap saya sehingga mereka tidak mau melihat saya sulit. Sudah! Itu saja! (Yes, I know that it was the worst conclusion)

Oke, kita tinggalkan sisi positif dan masuk ke fase kecewa.

Ada beberapa hal yang membuat saya sangat kecewa dengan saran tersebut. Pertama, hampir semua teman yang saya tanya adalah mahasiswa dan beberapa dari mereka kuliah di PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Dengan kapabilitas mereka sebagai mahasiswa (lebih-lebih kuliah di PTN), bagaimana mungkin mereka bisa berpikir selicik itu? (Dalam ilmu psikologi, pola pikir seperti ini disebut dengan “berpikir heuristik”).

Mereka tega menumbangkan pilar-pilar penelitian demi tujuan pribadi. Padahal, penelitian yang mereka kerjakan sangat mungkin dijadikan acuan oleh peneliti lain. Bayangkan bagaimana efek dari kecurangan ini bagi masa depan kehidupan manusia, terlebih bagi dunia penelitian dan pendidikan?

Inilah akibat dari salah kaprah dalam memahami pendidikan. Pendidikan yang dianggap sebagai komoditas (barang dagangan) akan sangat rentan menghasilkan mental yang keropos, ingin cepat meraih gelar agar uang yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan segera tergantikan.

Bukan saya menyalahkan orang yang ingin cepat lulus, cepat dapat kerja, dan bergaji tinggi. Bukan. Akan tetapi, jika hal-hal itu dijadikan tujuan utama, maka pendidikan tidak akan mencapai esensinya sehingga tujuan dari pendidikan, yaitu proses memanusiakan  manusia, akan ikut tereduksi. Pendidikan tidak lagi menghasilkan “manusia” yang “semakin manusia”, tapi justru membuatnya semakin terasing dari populasi “manusia”.

November 27, 2012

For My Beloved Mom: The Last “Present” from My Mom

For the first time after has been living alone for more than 3 years in Yogyakarta, I feel so difficult to leave my hometown, South Tangerang. It is too easy for me to get homesick when I am in Yogyakarta. I miss my father, my brothers, and also my close family in South Tangerang.

I guess it happened because I didn’t get enough support here. Well, for the truth, I still need support to go through the tragedy of my mom’s passed away. It makes me down to the lowermost level moreover I am on progress to finish my thesis.

In South Tangerang, when I miss my mom, I used to go to my close family houses or visit to her resting place. Seriously, I feel better when I meet with her brothers and sisters (my uncles and aunts). I don’t know why this happen, but I think it caused they are the closest people with my mom, after my father and my brothers. So, they can be a representative of my mom. They also frequently tell me about her goodness and I am delighted to hear that.

In addition, I commonly visit her cemetery once in two weeks. Surely, it has a big impact for me. After visiting her cemetery, my miss is reduced. Besides, the Messenger of Allah (pbuh) said we have to frequently visit a sacred place in order to make us remember about our die. Therefore, I am pleased to go to her resting place.

For those reasons, I feel better to live in South Tangerang than Yogyakarta for this moment. But then, the strongest reason why I feel more comfort to live in South Tangerang is my father and my brother, especially my youngest brother (Fahri-7 years old). There is no hesitates to say that I’m really happy when I through my life time with him. He is the last “present” from my mom.
Sumber: dokumentasi pribadi

When I interact with him, I get some pleasure. I enjoy when I teach him to do his homework. I’m happy when I teach him read Koran. I’m happy when we pray together at the mosque. I’m happy when we play soccer in the afternoon. And also I’m happy when I bike him to his TPA (a place to learn Koran).

Interact many times with him makes me enjoy, though sometimes also annoyed because he asked me for many things. But overall, his attitude often makes my miss of mom healed. Formerly, my mom put so much love to him. He often gets special treat from her. It caused he is the youngest among us. Nevertheless I didn’t feel any envy at all to him. The truth is I feel so sorry for him.

I think Fahri is the unluckiest son among us (me and my 2 young brothers). Why? Well, he just turned into 7 and lost the main source of affection in that age. I think everyone agree that mother is the best people to take care of her child. Until the end of the world, there is no father has an ability to take care of his child as good as mother. Therefore, Fahri may be lack of affection.

I wonder the lack of affection impacting his future. What if he has a psychological problem? Indeed, there is no sign about it till now and I hope the sign never come to him. In consequence, I want to do my best to take care of him in order to prevent it.

When I was going home from Yogyakarta for the first time after my mom’s passed away, I looked he seriously careless. He looked thin sadly. After few days at home, I know it caused by the lack of nutrition. His mainly dishes was only either fried egg or noodle. Although he was still fun and enjoy with that, but I have a duty to be more responsible to him. Therefore, I feed him with more nutritiously food.

His appearance was also not good. He has long and dirty fingernail. His skin also looked dusty. In general, his appearance made me so sad. I was so sad because I knew it would never happen when my mom still alive. My father can’t take care of him at all times because he should work. The person who most care to Fahri is my neighbor whom also the closest friend of my mom.

She had a heart of gold. She always pays her attention to us (my family) and often cooks for Fahri and gives him special attention. I hope Allah bless her and give her a healthy and long life, happiness, also good ending. 

#room corner, Pakdhe's dorm

November 24, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #3 - End


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Ahad, 08 Ramadhan 1433 H (29 Juli 2012)
Malam itu menjadi malam yang paling sendu dalam hidup saya. Saya menangis dan berduka ditinggal pergi oleh umi. Para tetangga berdatangan. Saudara-saudara juga mulai berdatangan. Encing (bibi) saya berusaha menenangkan saya. Saya tenang, tapi tetap menangis. Walaupun sudah berusaha saya menahan air mata, tapi nyatanya tetap keluar juga.

Beberapa saat setelah meninggal, umi dipindahkan dari kamarnya menuju ruang tamu. Orang-orang mulai membaca al-qur’an di sebelah jasad umi. Saya masih tetap menangis di kamar. Kaki saya lemas untuk diajak berdiri. Saya hanya bisa duduk sambil memegang kepala. Satu jam setelahnya, saya mulai tenang tanpa tangisan.

Sekitar jam dua dini hari, saya keluar kamar, tapi masih belum mampu melihat dan mendampingi jasad umi. Saudara-saudara sudah banyak yang datang. Melihat saya duduk termenung di depan ruang tv, mereka kembali mendekati saya. Kata “sabar” menjadi kata yang paling populer pada hari itu.

Beberapa saat setelah itu, saya menghampiri jasad umi. Jasad umi seluruhnya ditutupi kain sehingga saya tidak bisa melihatnya langsung. Saya pun tidak ingin air mata saya meledak lagi ketika melihat jasad beliau. Saya duduk di sebelahnya dan mulai membaca al-qur’an.

Memasuki waktu subuh, kami sholat subuh berjamaah di rumah. Setelah sholat, banyak tetangga berdatangan. Kerabat-kerabat umi banyak yang menyalami saya sambil menangis. Saya sendiri tidak mau terprovokasi untuk kembali menangis. Saya tahan kuat-kuat mata saya agar tidak merembes lagi.

Sejak sholat subuh saya masih berada di dalam rumah. Tidak kemana-mana. Akan tetapi, karena semakin banyak pelayat wanita di dalam rumah saya memutuskan keluar, bergabung bersama pelayat pria. Di luar ternyata banyak teman-teman saya yang berdatangan. Mereka berbela sungkawa kepada saya.

Sampai saat jenazah umi akan dimandikan, tidak ada lagi tetesan air mata yang keluar dari mata saya. Walaupun para pelayat banyak yang menangis, saya tidak menangis. Akan tetapi, ketika umi dimandikan, sontak air mata itu meleleh lagi. Air mata itu meleleh ketika saya membantu memandikan jenazah umi. Sosok yang dulu selalu memandikan saya ketika kecil, kini saya mandikan, tapi dengan kondisi kaku. Kaki saya kembali lemas. Saya tidak kuat berlama-lama di situ. Akhirnya, saya kembali ke kamar.

Setelah beberapa saat di kamar, saudara saya mengabari bahwa umi akan dikafani. Saya diajak keluar agar bisa melihat umi untuk terakhir kalinya. Saya pun keluar, menyaksikan proses pengkafanan umi. Lagi-lagi air mata tumpah tanpa diperintah. Di hadapan saya, umi yang dulu selalu memakaikan saya pakaian ketika saya kecil, kini sedang dikafani oleh petugas pengurus jenazah. Tangisan membuat saya tidak berdaya memakaikan pakaian terakhir untuk umi.

Jam sembilan pagi, seusai dikafani, beliau dibawa ke mushala dekat rumah untuk disholati. Lalu di bawa ke pemakaman.

Ya Allah… begitu cepatnya Engkau memanggil beliau.

Di pemakaman, liang lahat sudah dipersiapkan. Saya dengar, liang itu sudah digali sejak tadi malam sebelum sahur. Mereka yang menggali adalah warga sekitar rumah. Teman-teman saya juga banyak yang ikut membantu. Mereka sengaja mempersiapkan liang sebelum sahur karena khawatir kelelahan dan berdampak pada puasa mereka jika dilakukan pagi hari, mengingat saat itu adalah bulan puasa.

Qodarullah, jenazah umi mendapat liang persis di sebelah liang lahat (almh) ibunya (nenek saya). Hal ini sangat jarang terjadi, karena: pertama, pemakaman itu adalah pemakaman umum. Kedua, nenek saya sudah meninggal sejak satu setengah tahun yang lalu. Dalam waktu satu setengah tahun itu, pasti sudah ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang meninggal, tapi nyatanya tidak ada yang menggali liang di situ sehingga kini ditempati jasad umi.

Detik-detik menjelang dimakamkannya umi, saya menjadi semakin lemas. Saya berharap bisa menjadi salah satu orang yang menanggapi jenazah umi ketika akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Saya juga berharap bisa mengadzani beliau. Akan tetapi, karena tangis kembali meleleh, dua tugas itu diwakilkan oleh saudara saya.

Jenazah umi dibaringkan di permukaan tanah yang sudah dipersiapkan. Permukaan itu mirip dengan lekuk tubuh manusia. Sekepal demi sekepal, tanah menutupi rongga-rongga yang tersisa dari tempat itu. Kemudian, jenazahnya dihimpit dengan papan-papan sampai tertutupi semua bagiannya. Lalu, tanah mulai dijatuhkan. Perlahan-lahan, tanah memenuhi liang, bersamaan dengan penuhnya hati ini oleh duka. Duka ditinggal oleh orang yang tercinta.

Tak lama kemudian, makam umi telah padat dengan tanah. Umi benar-benar telah tiada. 

#pojok kamar, wisma Pakdhe